Firman Allah s.w.t.:
فَبَعَثَ اللهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِيْ سَوْءَةَ أَخِيْهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُوْنَ مِثْلَ هذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِيْ فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِيْنَ
Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak menggali tanah untuk diperlihatkan kepadanya (Qābīl) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Qābīl berkata: “Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, sehingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Maka jadilah dia termasuk orang yang menyesal.” (QS. al-Mā’idah [5]: 31).
Sebagian ulama menyebutkan: “Setelah Qābīl membunuh Hābīl, (sebagai bentuk penyesalan) dia memanggulnya di atas punggung selama satu tahun.” Ada juga yang berpendapat selama seratus tahun. Kondisinya terus begitu hingga Allah mengutus burung-burung gagak. As-Suddī berkata dengan sanad yang diriwayatkan dari golongan shahabat: “Ada dua ekor gagak yang saling menyerang, sehingga salah satu dari mereka membunuh saudaranya. Setelah saudaranya meninggal, dia menelentangkan jasad saudaranya di atas tanah, lalu membuatkan lubang untuknya, kemudian mengubur dan menimbunnya. Tatkala dia (Qābīl) menyaksikan burung gagak melakukan hal itu untuk saudaranya, dia pun berkata: “Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, sehingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Kemudian dia melakukan seperti yang dilakukan oleh burung gagak tersebut; mengubur dan menimbun jasad saudaranya.” (1481).
Ahli sejarah Islam menyebutkan bahwa Ādam sangat mengkhawatirkan putranya (Hābīl), dalam keadaan seperti itu ia melantunkan sebuah syair, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jarīr dari Ibnu Ḥumaid (1492):
Bumi pun berubah dan orang-orang yang berada di atasnya,
Hingga permukaan bumi berdebu dan tampak buruk.
Seluruh yang mempunyai rasa dan warna berubah,
Hingga sedikit sekali orang yang ceria.
Adam pun menjawab:
Wahai ayah Qābīl, sesungguhnya kedua putramu telah saling membunuh,
Sehingga orang hidup bagaikan orang mati disembelih.
Orang yang telah membunuhnya itu datang dengan membawa keburukan,
Yang telah dilakukannya dengan penuh rasa takut diapun berteriak.
Syair ini perlu dikaji ulang, karena bisa jadi Ādam mengatakan sebuah perkaraan yang membuat dirinya gelisah karena gaya bahasanya, namun sebagian ulama menisbatkannya kepada kata-kata yang ada dalam syair tersebut, juga di dalamnya mengandung perubahan harakat (iqwā’). Wallāhu a‘lam.
Mujāhid menyebutkan bahwa Qābīl langsung menerima adzab pada hari di mana ia membunuh saudaranya, berupa betisnya berpindah ke tempat pahanya, dan kepalanya menengadah ke matahari ke mana saja matahari tersebut bergerak. Hal itu sebagai balasan atas dosa yang dilakukannya, dan adzab yang disegerakan karena kesombongan dan kedengkiannya terhadap saudara kandungnya. (1503).
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukumannya bagi pelakunya di dunia bersama dengan adzab yang ditangguhkan (tersimpan) baginya di Akhirat, selain dosa kezhaliman dan memutus tali silaturrahim.” (1514).
Namun saya (penulis) membaca di dalam kitab Taurāt yang dimiliki oleh Ahli Kitāb, sebagaimana yang mereka klaim, bahwasanya Allah ‘azza wa jalla menunda dan menangguhkan adzab tersebut. Dan Qābīl tinggal di sebuah tempat yang bernamu Nūd, sebelah timur ‘Adn. Orang-orang menyebut tempat tersebut dengan sebutan Qatnīn. Di situlah dia melahirkan seorang anak yang bernama Khanūkh, kemudian Khanūkh mempunyai anak yang bernama Andar, ‘Andar mempunyai anak yang bernama Maḥwā’il mempunyai anak yang bernama MuttūSyalak, dan MuttūSyalak mempunyai anak yang bernama Lāmak.
Kemudian Qābīl menikahi dua orang wanita yang bernama ‘Adā dan Shalā. ‘Adā melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Abil, dan dialah orang yang pertama kali tinggal di Qubāb dan mengumpulkan harta untuk dirinya. ‘Adā juga melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Naubil, dan dialah orang yang pertama kali menabuh alat musik. Demikian juga Shalā, dia melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Tūblaqīn, dialah orang yang pertama kali membuat peralatan dari kuningan dan besi. Shalā juga melahirkan seorang anak perempuan yang bernama Nu‘mā.
Disebutkan juga bahwa Ādam kemudian menggauli istrinya, sehingga dia melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Syīts. Istrinya berkata: “Sungguh, Allah telah memberi ganti kepadaku atas kematian Hābīl yang telah dibunuh oleh Qābīl.” Kemudian Syīts mempunyai putra yang bernama Unūsy.
Beberapa ulama mengatakan: “Sesungguhnya usia Ādam ketika Syīts dilahirkan adalah seratus tiga puluh (130) tahun, dan setelah itu dia hidup selama delapan ratus (800) tahun. Pada saat Unūsy dilahirkan, Syīts berusia seratus enam puluh lima (165) tahun, dan hidup setelah kelahiran Unūsy selama delapan ratus tujuh (807) tahun. Syīts juga mempunyai anak laki-laki dan perempuan selain Unūsy. Kemudian Unūsy mempunyai seorang anak yang bernama Qainān pada saat ia berusia Sembilan puluh (90) tahun dan hidup setelah itu selama delapan ratus lima belas (815) tahun. Dia juga mempunyai banyak anak laki-laki dan perempuan. Tatkala Qainān berusia tujuh puluh (70) tahun, dia mempunyai anak yang bernama Mahlāyīl dan hidup setelah itu selama delapan ratus empat puluh (840) tahun. Dan dia mempunyai banyak anak laki-laki dan perempuan. Tatkala usia Mahlāyīl mencapai enam puluh lima (65) tahun, lahirlah Yard dan dia hidup setelah itu selama delapan ratus tiga puluh (830) tahun. Dia juga mempunyai banyak anak laki-laki dan perempuan. Tatkala usia Yard mencapai seratus enam puluh dua (162) tahun, lahirlah putranya yang bernama Khanūkh, dan setelah itu dia hidup selama delapan ratus (800) tahun. Dia juga mempunyai banyak anak laki-laki dan perempuan. Ketika Khanūkh berusia enam puluh lima (65), lahirlah MattūSyalikh, dan setelah itu dia hidup selama delapan ratus (800) tahun. Dia memiliki banyak anak laki-laki dan perempuan. Tatkala usia MattūSyalikh mencapai seratus delapan puluh tujuh (187) tahun, lahirlah putranya yang bernama Lāmak, dan setelah itu dia hidup selama tujuh ratus delapan puluh dua (782) tahun. Dia juga mempunyai banyak anak laki-laki dan perempuan. Tatkala usia Lāmak mencapai seratus delapan puluh dua (182) tahun, lahirlah putranya yang bernama Nūḥ, dan setelah itu dia hidup selama lima ratus sembilan puluh lima (595) tahun. Ia juga mempunyai banyak anak laki-laki dan perempuan. Tatkala Nūḥ berusia lima ratus (500) tahun, lahirlah putranya yang bernama Sām, Ḥām, dan Yāfits. Demikianlah yang disebutkan di dalam kitab mereka (Ahl-ul-Kitāb) secara jelas.
Ungkapan bahwa sejarah itu mendapatkan perlindungan dari langit, nampaknya perlu dikaji ulang, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama’ yang mencela mereka. Sebenarnya, kisah di atas banyak mengandung kelemahan. Sebagian mereka menceritakannya dengan cara menambah dan menafsirkan. Di samping itu, kisah tersebut banyak mengandung kejanggalan, sebagaimana yang akan kami (penulis) sampaikan pada bab-bab berikutnya, In syā’ Allāh.
Di dalam Tārīkh-nya, Imām Abū Ja‘far Ibnu Jarīr (1525) meriwayatkan dari sebagian mereka bahwasanya ibunda Ḥawwā’ melahirkan empat puluh anak selama dua puluh kali kelahiran. Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Isḥāq, Wallāhu a‘lam.
Ada yang mengatakan bahwa Ḥawwā’ mengalami seratus dua puluh kali persalinan. Dan setiap kali proses persalinan, dia melahirkan anak laki-laki dan perempuan. Yang pertama kali dilahirkan adalah Qābīl dan saudarinya yang bernama Qilīmā, sedangkan yang paling terakhir adalah ‘Abd-ul-Mughīts dan saudarinya yang bernama Umm-ul-Mughīts. (1536).
Setelah itu bangsa manusia terus berkembang biak, sehingga jumlahnya bertambah banyak dan semakin menyebar ke seluruh penjuru bumi. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَ خَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَ بَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَ نِسَاءً
“Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari nafsu (jiwa) yang satu (Ādam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Ḥawwā’) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak….” (QS. an-Nisa’ [4]: 1).
Para sejarawan Islam menyebutkan bahwa Ādam a.s. belum meninggal dunia, hingga dia menyaksikan anak keturunannya berjumlah empat ratus ribu orang. Wallāhu a‘lam.