Kewajiban Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

كِتَابُ الصَّلَاةِ

KITAB SHALAT

 

Secara umum shalat itu terbagi kepada dua macam, fardhu dan sunnah.

Pokok-pokok pembahasan ini secara umum terbagi kepada empat bagian:

 

Kewajiban Shalat

Bahasan ini terbagi kepada empat masalah pokok:

Masalah pertama: Penjelasan wajibnya shalat.

Kewajiban shalat telah jelas berdasarkan al-Qur’ān, hadits dan ijma‘, karena sudah masyhur maka tidak mesti diuraikan.

Masalah kedua: Jumlah shalat wajib.

Ada dua pendapat mengenai jumlah shalat wajib:

  1. Pendapat Imām Mālik, Syāfi‘ī dan kebanyakan para ‘ulamā’, bahwa shalat wajib hanyalah lima.
  2. Pendapat Abū Ḥanīfah dan pengikutnya, bahwa shalat witir termasuk shalat wajib seperti yang lima (dan perbedaan mereka apakah yang tetap dengan hadits dinamakan fardhu atau wajib adalah perbedaan yang tidak berarti).

Sebab perbedaan pendapat: Adanya berbagai hadits yang bertentangan.

Hadits-hadits yang memberikan pemahaman bahkan secara jelas menerangkan lima shalat wajib adalah masyhūr dan shaḥīḥ, di antaranya adalah hadits yang menjelaskan isrā’-nya Nabi s.a.w.:

إِنَّهُ لَمَّا بَلَغَ الْفَرْضُ إِلَى خَمْسٍ، قَالَ مُوْسَى: اِرْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تَطِيْقُ ذلِكَ، قَالَ: فَرَاجَعْتُهُ، فَقَالَ تَعَالَى: هِيَ خَمْسٌ وَ هِيَ خَمْسُوْنَ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ.

Ketika kewajiban itu mencapai lima (waktu), nabi Mūsā berkata: “Kembalilah kepada Rabbmu, karena sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya,” Nabi s.a.w. bersabda: “Akhirnya aku kembali kepada-Nya,” Allah firman: “Shalat itu lima waktu (yang sebanding dengan) lima puluh (waktu), ketetapan yang ada pada diri-Ku tidak bisa dirubah lagi.” (1621).

Demikian pula hadits seorang Badui yang datang kepada Nabi s.a.w. untuk bertanya tentang rukun Islam, lalu beliau bersabda:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَ اللَّيْلَةِ، قَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ.

Shalat lima waktu dalam sehari semalam,” dia bertanya: “Apakah ada kewajiban lain atasku?” Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak, kecuali jika kamu mau melaksanakan yang sunnah.” (1632).

Adapun hadits-hadits yang memiliki makna wajibnya shalat witir, di antaranya adalah hadits ‘Amru bin Syu‘aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

إِنَّ اللهَ قَدْ زَادَكُمْ صَلَاةً، وَ هِيَ الْوِتْرُ فَحَافِظُوْا عَلَيْهَا.

Sesungguhnya Allah telah menambahkan kewajiban shalat kepada kalian, yaitu shalat witir, maka jagalah!” (1643).

Demikian pula hadits Ḥāritsah bin Ḥudzaifah, beliau berkata:

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ (ص) فَقَالَ: إِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِصَلَاةٍ هِيَ خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ حُمْرِ النِّعَمِ، وَ هِيَ الْوِتْرُ وَ جَعَلَهَا لَكُمْ فِيْمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى طُلُوْعِ الْفَجْرِ.

Rasūlullāh s.a.w. datang kepada kami, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk melakukan shalat yang lebih baik bagi kalian daripada unta merah (harta yang berharga), ia adalah witir, yang dijadikannya di antara shalat ‘Isyā’ sampai terbit fajar”.” (1654).

Juga hadits Buraidah al-Aslamī, sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوْتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا.

(shalat) witir itu adalah hak, barang siapa tidak melakukan shalat witir, maka ia bukan golongan kami.” (1665).

‘Ulamā’ yang berpandangan bahwa tambahan (shalat sunnah) adalah dihapus, menganggap hadits-hadits ini tidak memiliki derajat untuk menghapus hadits-hadits masyhur yang membatasi kewajiban shalat pada lima waktu, mereka mengunggulkan hadits-hadits tersebut, demikian pula telah jelas bahwa di antara firman Allah dalam kisah isrā’ adalah:

لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ.

Ketetapan-Ku tidak bisa dirubah.

Jumlah shalat wajib tidak bisa dikurangi dan tidak bisa ditambahkan, sekalipun dikurangi lebih jelas memungkinkan, sementara khabar ini sama sekali tidak bisa dimasuki naskh (penghapusan hukum).

Sementara ‘ulamā’ yang memahami kuatnya dalil yang menyatakan tambahan sehingga wajib diamalkan, maka mereka tetap mengambil tambahan tersebut, terutama bagi ‘ulamā’ yang menyatakan sesungguhnya tambahan bukanlah naskh, akan tetapi kaidah ini bukanlah pendapat Abū Ḥanīfah.

Masalah ketiga: Orang-orang yang wajib menunaikan shalat.

Para ‘ulamā’ sepakat bahwa shalat diwajibkan kepada seorang muslim yang sudah baligh.

Masalah keempat: Hukum meninggalkan shalat.

Mengenai orang yang meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, para ‘ulamā’ berbeda pendapat:

  1. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat dia harus dibunuh.
  2. Sebagian yang lainnya berpendapat diberikan hukuman dan dipenjara.

‘Ulamā’ yang menetapkan hukum mati berbeda pendapat, di antara mereka ada yang menetapkan hukum mati karena kufur, ini adalah pendapat Aḥmad, Isḥāq, dan Ibn-ul-Mubārak, ada juga yang menyatakan wajib dibunuh sebagai hukuman, ini adalah pendapat Imām Mālik, Syāfi‘ī, Abū Ḥanīfah dan para pengikutnya, sementara ahlu Zhāhir berpendapat mesti dita‘dzīr dan dipenjara sehingga dia melakukan shalat.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan atsar, Nabi s.a.w. bersabda dalam hadits Shaḥīḥ:

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ، كُفْرٌ بَعْدَ إِيْمَانٍ، أَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ، أَوْ قَتْلِ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ.

Darah seorang muslim tidak halal, kecuali dengan salah satu dari tiga hal, kafir setelah beriman, zina setelah ihshān (menikah), dan membunuh jiwa tanpa hak.” (1676).

Diriwayatkan pula darinya dalam hadits Buraidah (1687), sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

Ikatan perjanjian di antara kita dengan mereka (orang kafir) adalah shalat, barang siapa meninggalkannya maka dia telah kafir.

Dan hadits Jābir dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:

لَيْسَ بَيْنَ الْعَبْدِ وَ بَيْنَ الْكُفْرِ – أَوْ قَالَ – الشِّرْكِ – إِلَّا تَرْكُ الصَّلَاةِ.

Tidaklah di antara seorang hamba dan kekufuran – atau beliau bersabda antara kemusyrikan – kecuali meninggalkan shalat.” (1698).

‘Ulamā’ yang memahami kekufuran dalam hadits tentang shalat dengan kufur hakiki, mereka menjadikan hadits ini sebagai penafsiran untuk hadits yang menyatakan kekufuran setelah keimanan.

Sementara ‘ulamā’ yang memahaminya sebagai celaan keras, menjelaskan dengan kata lain perbuatannya adalah perbuatan seorang kafir, dan dia ada dalam gambaran sosok yang kafir seperti sabda beliau s.a.w.:

لَا يَزْنِي الزَّانِيْ حِيْنَ يَزْنِيْ وَ هُوَ مُؤْمِنٌ، وَ لَا يَسْرِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَ هُوَ مُؤْمِنٌ.

Tidaklah seseorang itu berzina ketika berzina dia beriman, tidak pula seseorang mencuri ketika mencuri dia beriman.” (1709).

Dengan argumentasi ini mereka tidak berpendapat bahwa hukuman mati ditetapkan karena kekufuran. Adapun ‘ulamā’ yang menyatakan dibunuh karena had, sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat kecuali sebuah qiyas syabah (kemiripan), yaitu menyerupakan shalat dengan pembunuhan, sebab shalat adalah pokok segala perintah, sementara pembunuhan adalah pokok segala larangan.

Secara umum kata kufur ditetapkan untuk perbuatan yang mengandung unsur mendustakan, sementara meninggalkan shalat tidak demikian kecuali jika ia meninggalkannya karena mengingkari kewajibannya.

Dengan demikian kita hanya ada di antara dua pilihan:

  1. Memahami kata kufur dalam hadits secara hakiki, artinya menafsirkan hadits tersebut kepada orang yang meninggalkan shalat dengan meyakini bahwa shalat tidak wajib.
  2. Memahami kata kufur bukan kepada tema utamanya, hal ini menunjukkan pada salah satu kemungkinan dari dua kemungkinan yang ada:
  3. Hukum orang tersebut seperti hukum orang kafir (yaitu dihukum mati, dan hukum-hukum orang kafir lainnya), walaupun dia tidak mendustakan kewajibannya.
  4. Atau menyatakan bahwa perbuatannya adalah perbuatan orang kafir, dengan tujuan memberikan celaan yang sangat keras, dengan kata lain perbuatannya ini menyerupai perbuatan orang kafir, karena seorang kafir itu tidak melakukan shalat, sebagaimana Nabi s.a.w. bersabda:

لَا يَزْنِي الزَّانِيْ حِيْنَ يَزْنِيْ وَ هُوَ مُؤْمِنٌ

Tidaklah seseorang itu berzina ketika berzina dia beriman.

Ketetapan yang menyamakannya dengan hukum orang kafir adalah sebuah pendapat yang tidak bisa dipegang, kecuali jika ada dalil yang menjadi sandaran, karena ketetapan tersebut sama sekali tidak memiliki dasar yang bisa dirujuk.

Jika kata kufur tersebut tidak dapat difahami secara hakiki, maka memahaminya dengan majazī adalah sebuah solusi, bukan dengan mengambil sebuah hukum yang sama sekali tidak ditetapkan dalam syara‘, bahkan sebaliknya tiga golongan yang diungkapkan dalam nash, renungkanlah hal ini, hanya Allah-lah yang Maha Mengetahui.

Ringkasnya, kita mesti mengambil dua jalan: “Memperkirakan adanya redaksi yang dibuang jika kita akan memahami makna hakiki dari kata kufur, atau memahaminya secara kiasan, adapun memahami bahwa hukumnya sama dengan hukum orang kafir dalam segala hukumnya, padahal ia adalah seorang mu’min, ini adalah pendapat yang bertentangan dengan ushūl, padahal secara tegas hadits menjelaskan orang-orang yang mesti dibunuh sebagai hukuman (qishāsh) atau kekufuran, jadi, pendapatnya sama dengan orang yang mengafirkan karena perbuatan dosa.”

Catatan:

  1. 162). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (249, 1636, 3342), Muslim (163), Abū ‘Awānah (1/133), dan Ibnu Mundih dalam al-Īmān (714).
  2. 163). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (46) (1891, 2678, 6956), Muslim (11), Abū Dāūd (392), an-Nasā’ī (1/226) (8/118), dan Aḥmad (1/162).
  3. 164). HR. Aḥmad (2/180, 205, 208) (6/7, 397), ath-Thayālisī (2263), ath-Thabrānī (2/279) (2167).
  4. 165). Shaḥīḥ selain sabda beliau:

    هِيَ لَكُمْ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ.

    Ia termasuk harta yang berharga bagi kalian.

    Abū Dāūd (1418), Ibnu Mājah (1168), ad-Dārimī (1/446), ad-Dāruquthnī (2/30), ath-Thabrānī (6/200) (4236, 4237), dan al-Baihaqī (2/30).

  5. 166). Dha‘īf. HR. Abū Dāūd (1419), Aḥmad (5/357), dan al-Baihaqī (2/469) dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īf Abū Dāūd.
  6. 167). Shaḥīḥ li ghairihi. HR. Abū Dāūd (4502), an-Nasā’ī (7/103) dan dalam al-Kubrā (3520, 3521), at-Tirmidzī (2158), Ibnu Mājah (2533), Aḥmad (1/61, 65, 70), ath-Thayālisī (72), Ibn-ul-Jārud (836). Syaikh al-Albānī berkata dalam Irwā’ (7/255): “Sanadnya shaḥīḥ dengan syarat asy-Syaikhāni, keadaannya yang mauqūf tidak mengakibatkan jelek, apalagi adanya jalur periwayatan yang marfū‘ pada riwayat yang lain.
  7. 168). Shaḥīḥ. HR. at-Tirmidzī (2621), an-Nasā’ī (1/230) dan dalam Kubrā (329), Ibnu Mājah (1079), Aḥmad (5/346, 355), Ibnu Abī Syaibah dalam al-Īmān (46), ad-Dāruquthnī (2/52) dinilai shaḥīḥ oleh al-Ḥākim (1/6, 7) dan disetujui oleh adz-Dzahabī dan diriwayatkan pula oleh al-Baihaqī (2/52), al-Lalakā’ī dalam Syarḥ Ushūl-il-I‘tiqād (1520) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥ at-Tirmidzī.
  8. 169). Shaḥīḥ. HR. Muslim (82), Abū Dāūd (4678), at-Tirmidzī (2618, 2619, 2620), an-Nasā’ī (1/232), Ibnu Mājah (1078), Aḥmad (3/370, 389), Ibnu Mundih dalam al-Īmān (217, 218, 219), ad-Dārimī (1/307), ‘Abd Ibn-ul-Ḥumaid dalam al-Muntakhab (1022, 1043), Ibn-ul-Ja‘d (2634), dan ad-Dāruquthnī (2/53).
  9. 170). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (3475, 5578, 6810), Muslim (57), Abū Dāūd (4689), at-Tirmidzī (2625), an-Nasā’ī (8/64, 65, 313), Ibnu Mājah (3936), Aḥmad (2/376, 317), al-Ḥumaidī (1128), al-Ajurī dalam asy-Syarī‘ah (hal. 113), Abū ‘Awānah (1/19, 20) yang semuanya dari hadits Abū Hurairah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *