Kemuliaan Sifat Hilm (Kehaliman) di Hari Kiamat – Al-Hilm – Ibnu Abid-Dunya

MENJINAKKAN MARAH DAN BENCI
NASIHAT-NASIHAT TENTANG KESABARAN DAN MURAH HATI

 
Diterjemahkan dari al-Hilm
Karya Ibnu Abid-Dunya
 
Penerjemah: Nani Ratnasari
Penyunting: Toto Edidarmo
 
Penerbit: AL-BAYAN MIZAN

شرف الحلم في يوم القيامة

Kemuliaan Sifat Ḥilm (Kehaliman) di Hari Kiamat

7 – وقال عمر بن محمد الأسلمي: نا عبد الله بن شبيب المديني، ذكر إبراهيم بن عبد الرحمن الشامي، ذكر حاتم بن إسماعيل، عن عبد الله بن أبي يحيى، عن سعيد بن أبي المنذر، عن أبي هريرة، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «أربع يشرف بهن الإنسان يوم القيامة أن تصل من قطعك، وتعطي من حرمك، وتعفو عمن ظلمك، وتحلم عمن جهل عليك»

‘Umar ibn Muḥammad al-Aslamī meriwayatkan dari ‘Abdullāh ibn Syabīb-il-Madinī, dari Ibrāhīm ‘Abd-ur-Raḥmān-isy-Syāmī, dari Ḥātim ibn Ismā‘īl, dari ‘Abdullāh ibn Abī Yaḥyā, dari Sa‘īd ibn Abī Mundzir, dari Abū Hurairah, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Empat hal yang akan memuliakan manusia pada hari kiamat, yaitu menjalin silaturahmi dengan orang yang memutuskannya denganmu, (1) membagi kepada orang yang pernah menyakitimu, memaafkan orang yang menzhālimimu, dan murah hati (ḥilm) kepada orang yang jahil (2) kepadamu.

 

8 – وحدثنا عن محمد بن عبد الله بن عمار الموصلي، نا المعافى بن عمران، عن إسماعيل بن عياش، عن عبد الله بن عبيد الله، عن محمد بن علي، عن علي، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إن الرجل المسلم ليدرك بالحلم درجة الصائم القائم، وإنه ليكتب جارا وما يملك إلا أهل بيته»

Dari Muḥammad ibn ‘Abdullāh ibn ‘Ammār al-Maushilī, dari al-Mu‘āfī ibn ‘Imrān, dari Ismā‘īl ibn ‘Ayyāsy, dari ‘Abdullāh ibn ‘Ubaidillāh, dari Muḥammad ibn ‘Alī, dari ‘Alī r.a. Nabi Muḥammad s.a.w. bersabda: “Dengan murah hati (ḥilm), seorang Muslim dapat mencapai derajat ahli shaum dan shalat, jika ia memperlakukan tetangga berikut miliknya seperti ia memperlakukan keluarganya sendiri.” (3)

9 – حدثنا خلف بن هشام، نا أبو شهاب، عن سفيان، عن منصور، عن أبي رزين، في قوله «(كونوا ربانيين (1) ) قال: حلماء علماء»
__________
(1) سورة : آل عمران آية رقم : 79

Dari Khalaf ibn Hisyām, dari Abū Syihāb, dari Sufyān, dari Manshūr, dari Abū Rizīn, tentang firman Allah s.w.t.: Hendaklah kamu menjadi rabbāniyyīn (Āli ‘Imrān [3]: 79). Abū Rizīn menafsirkan kata rabbāniyyīn sebagai orang-orang yang murah hati (ḥulamā’) dan orang-orang yang ber‘ilmu (‘ulamā’). (4)

 

10 – حدثنا علي بن الجعد، أنا أبو الأشهب، عن الحسن، « (وإذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلاما (1) ) قال: حلماء وإن جهل عليهم لم يجهلوا»
__________
(1) سورة: الفرقان آية رقم: 63

Dari ‘Alī ibn al-Ja‘d, dari Abul-Asyhab, dari al-Ḥasan (5) tentang firman Allah: Jika orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengatakan salāma (ungkapan yang mengandung keselamatan). (al-Furqān [25]: 63). Al-Ḥasan berkata: “Ḥulamā’ adalah orang yang mampu menerima kejahilan dengan lapang dada dan tidak membalas perbuatan jahil dengan kejahilan yang serupa.” (6)

11 – حدثنا إسحاق بن إبراهيم، أنا أبو زيد الجزار، نا معقل بن عبيد الله، عن عطاء بن أبي رباح، «(يمشون على الأرض هونا (1) ) قال: حلماء علماء»
__________
(1) سورة: الفرقان آية رقم: 63

Dari Isḥāq ibn Ibrāhīm, dari Abū Zaid al-Jazzār, dari Ma‘qal ibn ‘Ubaidillāh, dari ‘Athā’ ibn Rabāḥ, tentang firman Allah s.w.t.: Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati (al-Furqān [25]: 63). (7). ‘Athā’ mengatakan: “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang sabar (ḥulamā’) dan orang-orang yang ber‘ilmu (‘ulamā’).”

Penjelasan:

(1). Maksudnya, jika kerabatmu atau orang lain memutuskan hubungan denganmu, engkau tidak perlu membalas seperti yang mereka lakukan kepadamu, tetapi tenangkanlah dirimu dan bersikaplah murah hati, lalu kunjungilah mereka yang telah menyakitimu untuk menyambung silaturahmi.

(2). Orang jahil adalah orang bodoh yang bermulut kotor dan tidak punya tata krama, disebut juga safīh.

(3). Ada hadits lain ya‘ni dari ‘Ubādah ibn Shāmit sebagai berikut: “Maukah kuberi tahukan kepada kalian dengan apa Allah memuliakan bangunan?” Mereka menjawab: “Tentu, wahai Rasūlullāh.” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau bersikap sabar dan murah hati (ḥilm) terhadap orang yang jahil kepadamu, memaafkan orang yang berbuat zhālim kepadamu, memberi kepada orang yang tidak pernah memberimu, dan menghubungkan tali persaudaraan dengan orang yang telah memutuskannya denganmu.” (H.R. Ath-Thabrānī dan Al-Bazzār, sebagaimana disebutkan al-Mundzirī dalam Targhīb, juz 3 h. 419).

Hadits di atas terdapat pada Jam‘-ul-Jawāmi‘ juz 1, h. 198, dinisbatkan kepada as-Suyūthī, Abū Na‘im, dalam Ḥilyat-ul-Auliyā’, dari ‘Alī; Tadzkirat-ul-Maudhū‘āt, h. 190; at-Targhīb wat-Tarhīb, juz 3, h. 665, yang dinisbatkan kepada Abū Syaikh dalam kitab ats-Tsawāb. Syaikh al-Albānī menyebutkan hadis tersebut Dha‘īf, lihat Dha‘īf-ul-Jāmi‘, juz 2, h. 46, no. 1453; Silsilat-udh-Dha‘īfah, no. 3002.

(4). Ibn Katsīr menyandarkan pendapat ini kepada Abū Rizīn dan Ibn ‘Abbās. Adapun sebab turunnya ayat ini, sebagaimana dituturkan oleh Ibn ‘Abbās, Abū Rāfi‘-il-Qarazhī berkata kepada para pendeta Yahudi dan Nashrani dari penduduk Najrān yang sedang menghadap Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Muḥammad, apakah engkau ingin agar kami menyembahmu sebagaimana orang Nasrani menyembah ‘Īsā ibn Maryam?” Seorang laki-laki Nashrani dari penduduk Najrān yang disebut sebagai kepala mereka bertanya: “Apakah itu yang engkau inginkan dari kami dan untuk itu engkau mengundang kami?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Aku berlindung kepada Allah dari menyembah selain Allah atau menyuruh untuk menyembah selain Allah, bukan untuk itu Allah mengutus dan menyuruhku.

Maka, Allah s.w.t. menurunkan ayat: Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitāb, ḥikmah, dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata):Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbānī (yang sempurna ke‘ilmuan dan ketaqwāan) karena kamu selalu mengajarkan al-Kitāb dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Āli ‘Imrān [3]: 79).

(5). Ḥasan adalah seorang tābi‘īn terkemuka yang dikenal kezuhudan dan ketawādhu‘annya. Biografi Ḥasan dapat dilihat dalam kitab Ḥilyat-ul-Auliyā’, juz 2, h. 131; Shifat-ush-Shafwah, juz 3, h. 233; dan Aḥāsin-ul-Maḥāsin, h. 331.

(6). Saudaraku, sifat menerima perbuatan jahil dengan lapang dada adalah salah satu sifat hamba-hamba Tuhan Pemurah (‘Ibād-ur-Raḥmān) yang akan dicapai dengan kesungguhan dan usaha yang maksimal. Ḥasan-ul-Bashrī menggambarkan sifat ‘Ibād-ur-Raḥmān sebagai berikut:

“Orang-orang Mu’min adalah mereka yang rendah hati dan tingkah lakunya sopan sehingga orang jahil mengira bahwa mereka sakit. Demi Allah, mereka sehat, hanya saja mereka selalu diliputi kekhawatiran berbuat dosa yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dunia menjadi perenungan mereka dan akhirat menjadi peringatan bagi mereka. Mereka selalu memuji Allah untuk menghilangkan kesedihan dalam bāthin mereka. Mereka tidak mencari surga dengan cara mengagung-agungkan sesuatu yang ada dalam diri mereka. Mereka menangis karena takut oleh siksa neraka. Siapa saja yang mencari kemuliaan bukan dengan kemuliaan dari Allah, niscaya dirinya akan menemukan kerugian-kerugian di dunia. Dan, siapa saja yang tidak meyakini bahwa segala ni‘mat adalah milik Allah, ‘ilmunya sungguh sedikit.”

(7). Ibnu Katsīr berkata: “Di antara sifat hamba Allah Yang Pemurah adalah rendah hati, tenang, mantap, tidak ujub, dan tidak takabur, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman-Nya: Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong. (al-Isrā’ [17]: 37). Nabi s.a.w. berjalan seperti melewati tanah yang turun seolah-olah tanah itu akan melintasnya. Sebagian ‘ulamā’ salaf membenci cara berjalan dengan dilemah-lemahkan dan dibuat-buat. Ketika ‘Umar al-Khaththāb melihat seorang pemuda yang berjalan dengan lemah gemulai, dia bertanya: “Apakah engkau sakit?” pemuda itu menjawab: “Tidak, wahai Amīr-ul-Mu’minīn.” Maka, ‘Umar menyuruh dia untuk segera mengubah cara berjalannya dan menyuruh agar dia berjalan dengan tegap dan gagah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *