Kemuliaan Orang yang Murah Hati – Al-Hilm – Ibnu Abid-Dunya

MENJINAKKAN MARAH DAN BENCI
NASIHAT-NASIHAT TENTANG KESABARAN DAN MURAH HATI

 
Diterjemahkan dari al-Hilm
Karya Ibnu Abid-Dunya
 
Penerjemah: Nani Ratnasari
Penyunting: Toto Edidarmo
 
Penerbit: AL-BAYAN MIZAN

ستر زلة الكريم من الحلم

Kemuliaan Orang yang Murah Hati

117 – حدثنا أبو حذيفة الفزاري، عن أبيه قال أسماء بن خارجة: «ما شتمت أحدا قط؛ لأن الذي يشتمني أحد رجلين كريم كانت منه ذلة وهفوة فأنا أحق من غفرها وأخذ الفضل فيها أو لئيم فلم أكن لأجعل عرضي . . . وكان يتمثل: وأغفر عوراء الكريم ادخاره وأعرض عن شتم اللئيم تكرما»

Abū Ḥudzaifat-il-Fazzārī menceritakan dari ayahnya, Asmā’ ibn Khārijah yang berkata: “Aku tidak pernah mencaci seorang pun karena orang yang mencaciku ada dua macam: Pertama, orang mulia yang memiliki sifat rendah hati dan merasa banyak salah. Untuk orang itu, aku berhak memaafkannya dan mengambil keutamaan darinya. Kedua, orang tercela tidak pernah aku layani, (11) sebagaimana yang tergambar dalam syair berikut:

Aku akan memaafkan kata-kata keji
Yang diucapkan oleh orang baik
Dan, berpaling dari cacian orang tercela
Karena menginginkan kemuliaan.

118 – حدثني أبو جعفر القرشي قال: كان يقال: «سلاح اللئام قبيح الكلام»

Abū Ja‘far-il-Qurasyī berkata: “Senjata orang yang tercela adalah perkataan jelek.” (22)

 

119 – وحدثني مياس بن هشام، عن أبيه قال: قال سعيد بن العاص: «ما شتمت رجلا منذ كنت رجلا، ولا زاحمت ركبتي ركبته، وإذا أنا لم أصل زائري حتى يرشح جبينه كما يرشح السقاء فوالله ما وصلته»

Dari Mayyās ibn Hisyām, dari ayahnya, Sa‘īd ibn al-‘Āsh yang berkata: “Aku tidak pernah mencaci seseorang semenjak aku dewasa dan aku tidak akan mendekatkan lututku kepada lututnya. Jika aku berniat untuk tidak berhubungan dengan ia sampai keningnya berkeringat sebagaimana mengalirnya tempat air, demi Allah, aku tidak berhubungan dengannya lagi.”

 

120 – حدثني أبو عبد الرحمن الأزدي، عن قتيبة بن سعيد قال: مر رجل بقوم فشتمه سفيههم (1) فقال: «يا أم عمرو ألا تنهوا سفيهكم إن السفيه إذا لم ينه مأمور»
__________
(1) السَّفَه: الخفّة والطيشُ، وسَفِه رأيُه إذا كان مَضْطربا لا اسِتقامَةَ له، والسفيه: الجاهلُ

Dari Abū ‘Abd-ir-Raḥman-il-Azdī, Qutaibah ibn Sa‘īd berkata: “Seorang laki-laki melewati suatu kaum, lalu orang bodoh di antara mereka mencaci lelaki tersebut. Laki-laki itu berkata: “Wahai Umm ‘Amr, apakah kalian tidak melarang perbuatan orang-orang bodoh (safīh) di antara kalian? Padahal, orang safīh cukup tahu jika ia tidak dilarang, berarti ia diperintah.” (33)

 

121 – قال عباس بن الوليد بن يزيد: ذكر أبي، نا الأوزاعي قال: سمعت يحيى بن أبي كثير يقول: «يقال يوم القيامة للعبد: قم إلى فلان فخذ حقك منه، فيقول: يا رب، ما أعرف لي عنده من حق فيقال: بلى إنه ذكرك يوم كذا بكذا ويوم كذا بكذا، قال الأوزاعي: أفناصح لنفسه من يقضي من حسناته غدا وهو ينظر إلى ذل خاشع يود لو كان بينه وبين أخلائه أمدا بعيدا»

Dari ‘Abbās ibn Walīd ibn Yazīd, dari ayahnya, dari al-Auzā‘ī, dari Yaḥyā ibn Abī Katsīr yang berkata: “Pada hari kiamat, seorang hamba diperintah: “Berdirilah! Temuilah si fulan dan ambillah hakmu darinya!” Orang itu bertanya: “Wahai Tuhanku, dari mana aku tahu bahwa diriku mempunyai hak darinya.” Dikatakan kepadanya: “Benar, tetapi pada suatu hari ia menyebutmu begini, begini, dan begini. Di hari lain ia juga menyebutmu begini, begini.

Al-Auzā‘ī berkata: “Abī Katsīr menasihati dirinya bahwa orang yang menangguhkan perbuatan baiknya untuk hari esok – padahal ia tahu bahwa sikap itu salah dan hina – berarti ia mengharapkan masa yang lama untuk menemui para kekasihnya.” (44)

Catatan:

  1. (1). Melayani cacian sama dengan “mendekati cacian”.
  2. (2). Orang yang tercela tahu bahwa yang ia hadapi adalah orang yang berakhlāq. Oleh karena itu, ia mencari cara untuk dapat mengalahkan orang berakhlāq. Ia tidak menemukan cara lain kecuali mengucapkan kata-kata jelek kepadanya.
  3. (3). Ahli fiqih mengatakan: “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan melakukan yang sebaliknya.” Jika orang safīh dilarang berbuat ketololan, berarti ia diperintah menjaga lisan dan, pada setiap detik yang ia lalui, ia dilarang mengatakan kata-kata kotor dan buruk.
  4. (4). Hal itu sebagaimana yang telah saya kemukakan sebelumnya tentang akibat dari perbuatan ghībah (menceritakan keburukan orang lain). Disebabkan oleh sifat ghībah, seorang hamba tidak mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikannya, sebagaimana api yang membakar kayu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *