Jumlah Waktu Yang Dilarang Melakukan Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Pasal Kedua: Waktu wajib yang dilarang melakukan shalat.

 

Mengenai waktu ini para ‘ulamā’ berbeda pendapat dalam dua masalah:

Masalah pertama: Jumlah waktu yang dilarang melakukan shalat.

Para ‘ulamā’ sepakat adanya tiga waktu yang dilarang melakukan shalat saat itu; saat terbitnya matahari, terbenam, dan setelah shalat Shubuḥ sampai terbitnya matahari.

Lalu mereka berbeda pendapat mengenai dua waktu, saat tergelincirnya matahari, dan setelah shalat ‘Ashar.

  1. Imām Mālik dan pengikutnya berpendapat bahwa waktu yang dilarang melakukan shalat ada empat, ketika terbit matahari dan terbenam, setelah Shubuḥ dan ‘Ashar, dan Mālik membolehkan shalat ketika tergelincirnya matahari.
  2. Syāfi‘ī berpendapat bahwa waktu-waktu tersebut ada lima semuanya dilarang kecuali ketika tergelincirnya matahari pada hari Jum‘at.
  3. ‘Ulamā’ yang lainnya mengecualikan setelah shalat ‘Ashar.

Sebab perbedaan pendapat: Adalah salah satu dari dua hal:

  1. Kontradiksi antara berbagai atsar.
  2. Kontradiksi antara atsar dengan pengamalan penduduk Madīnah bagi pendapat yang menilai bahwa pengamalan penduduk Madīnah merupakan ḥujjah, yaitu pendapat Imām Mālik.

Selama ada larangan dan tidak ada yang menentang baik ucapan maupun perbuatan, mereka sepakat, tetapi jika ada penentang maka mereka pun berbeda pendapat.

Adapun perbedaan mereka tentang waktu tergelincirnya matahari disebabkan oleh kontradiksi antara pengamalan (ahli Madīnah) dengan atsar.

Hal ini telah tetap dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Āmir al-Juhānī, bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُوْلُ اللهُ (ص) يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا، حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَ حِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ، وَ حِيْنَ تَضَيَّفُ الشَّمْس لِلْغُرُوْبِ.

Ada tiga waktu di mana Rasūlullāh s.a.w. melarang kita melakukan shalat atau menguburkan mayit, ketika matahari terbit sehingga meninggi, ketika matahari tergelincir hingga matahari condong, dan ketika matahari condong untuk terbenam.” (1961) (HR. Muslim).

Dan hadits Abū ‘Abdillāh ash-Shunabihī yang semakna dengannya, akan tetapi munqathi‘ yang diriwayatkan oleh Mālik dalam al-Muwaththa’.

Sebagian ‘ulamā’ ada yang melarang shalat pada semua waktu-waktu di atas.

Di antara mereka juga ada yang memberikan pengecualian jika matahari tergelincir, secara mutlak seperti Imām Mālik, atau pun khusus pada hari Jum‘at seperti Imām Syāfi‘ī.

Imām Mālik berdalil dengan amal penduduk Madīnah yang hanya mengambil dua waktu saja, sementara untuk yang ketiga (yaitu, ketika tergelincir matahari) beliau membolehkannya, dengan meyakini sesungguhnya hadits tersebut dinaskh untuk pengamalan penduduk Madīnah.

Sementara ‘ulamā’ yang melihat tidak adanya pengaruh bagi pengamalan ahli Madīnah, mereka mengembalikan masalah kepada hukum asal, yakni larangan. Kami telah membahas masalah amal ahli Madīnah dan kekuatannya dalam kitab kami tentang ushul fiqih.

Sementara Imām Syāfi‘ī berdalil dengan sebuah riwayat shaḥīḥ menurutnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihāb dari Tsa‘labah bin Abī Mālik al-Qarzhī: “Bahwa orang-orang melakukan shalat Jum‘at pada zaman ‘Umar, hingga ‘Umar keluar, dan ma‘lūm adanya bahwa keluarnya ‘Umar ketika matahari tergelincir berdasarkan hadits tentang sebuah permadani yang diletakkan di dinding masjid, saat bayangan dinding menutupi semua permadani, saat itu pula ‘Umar keluar.”

Demikian pula berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abū Hurairah:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) نَهَى الصَّلَاةَ نِصْفَ النَّهَارِ حَتَّى تَزُوْلَ الشَّمْسُ إِلَّا يَوْمَ الْجُمُعَةِ.

Bahwa Rasūlullāh s.a.w. melarang shalat di pertengahan siang hingga matahari condong, kecuali hari Jum‘at.” (1972).

Hadits tersebut memberikan pengecualian hari Jum‘at, pendapat ini diperkuat dengan pengamalan pada zaman ‘Umar, walaupun atsar tersebut lemah.

Adapun ‘ulamā’ yang menguatkan atsar tsābit, menurutnya hal ini kembali kepada hukum asal yaitu larangan.

Kemudian perdebatan mereka tentang shalat setelah shalat ‘Ashar, sebabnya adalah adanya kontradiksi antara beberapa atsar yang tsābit, jelasnya dalam hal ini ada dua hadits yang saling bertentangan:

Pertama, hadits Abū Hurairah yang disepakati ke-shaḥīḥ-annya:

أَنَّ النَّبِيَّ (ص) نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسَ وَ عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسِ.

Bahwa Nabi s.a.w. melarang shalat setelah ‘Ashar hingga matahari terbenam, dan shalat setelah Shubuḥ hingga matahari terbit.” (1983).

Kedua, hadits ‘Ā’isyah, dia berkata:

مَا تَرَكَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) صَلَاتَيْنِ فِيْ بَيْتِيْ قَطُّ سِرًّا وَ لَا عَلَانِيَةً رَكَعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ وَ رَكَعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ.

Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah meninggalkan dua shalat sama sekali di rumahku, secara sembunyi atau terang-terangan, dua rakaat sebelum fajar, dan dua rakaat setelah ‘Ashar.” (1994).

‘Ulamā’ yang menguatkan hadits Abū Hurairah berpendapat tidak boleh. Sementara ‘ulamā’ yang menguatkan hadits ‘Ā’isyah atau menganggapnya sebagai nāsikh (penghapus), karena itu yang diamalkan oleh Rasūlullāh s.a.w. sebelum wafat, mereka berpendapat bahwa shalat tersebut boleh, sayangnya hadits ‘Ā’isyah bertentangan dengan hadits Ummu Salamah, di dalamnya diungkapkan:

أَنَّهَا رَأَتْ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يُصَلِّيْ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَسَأَلَتْهُ عَنْ ذلِكَ، فَقَالَ: إنَّهُ أَتَانِيْ نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ فَشَغَلُوْنِيْ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ وَ هُمَا هَاتَانِ.

Sesungguhnya dia (Ummu Salamah) melihat Rasūlullāh s.a.w. melakukan shalat dua rakaat setelah ‘Ashar, lalu dia bertanya kepadanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Sesungguhnya telah datang kepadaku orang-orang dari suku ‘Abd-ul-Qais, mereka telah menyibukkanku hingga tidak melakukan dua rakaat setelah Zhuhur, dan (yang aku lakukan) ini adalah dua rakaat itu.” (2005).

Catatan:

  1. 196). Shaḥīḥ. HR. Muslim (831), Abū Dāūd (3192), at-Tirmidzī (1030), an-Nasā’ī (1/275, 277), Ibnu Mājah (1519), Aḥmad (4/152), ath-Thayālisī (1001), al-Baihaqī (2/454) (4/32) dari hadits ‘Uqdah bin ‘Āmir.
  2. 197). Dha‘īf, diriwayatkan.
  3. 198). Telah dijelaskan takhrīj-nya.
  4. 199). Muttafaq ‘alaihi. HR. al-Bukhārī (591, 592, 593, 1631), Muslim (835), Abū Dāūd (1279), an-Nasā’ī (1/275, 277) (4/82), Ibnu Mājah (1519), Aḥmad (4/152), ath-Thayālisī (1001), al-Baihaqī (2/454) (4/32) dari hadits ‘Uqdah bin ‘Āmir.
  5. 200). Sanadnya shaḥīḥ. HR. an-Nasā’ī (1/281, 282), Aḥmad (6/293, 306, 315), ‘Abd-ur-Razzāq (3970), ath-Thayālisī (1597) dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (1276). Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrānī (23/534, 584), al-Baihaqī (2/457) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥ an-Nasā’ī.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *