Istafti Qalbak! – Biarkan Hatimu Bicara!

Biarkan Hatimu Bicara!
MENCERDASKAN DADA, HATI, FU’AD, DAN LUBB

Oleh: Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn ‘Alī al-Ḥakīm at-Tirmidzī
 
Judul Asli:
بيان الفرق بين الصدر و القلب و الفؤاد و اللب
للحاكم التلمذي

 
Penerjemah: Fauzi Faisal Bahreisy
Penerbit: PT SERAMBI ILMU SEMESTA

Istafti Qalbak!

Lembar Pengantar

 

Ceritanya. Nasruddin menjadi hakim. Saat dia sedang mencatat perkara yang masuk, dua orang lelaki datang mengadu. Masing-masing mengaku sebagai pemilik sehelai jubah dan tidak ada yang mau mengalah.

Nasruddin menyuruh mereka memegang ujung jubah itu. Lalu dengan cuek, dia kembali bekerja. Asyik sekali dia bekerja, seolah tak hirau dengan dua orang lelaki yang berdiri di depan mejanya sambil memegang ujung jubah.

Sekian menit kemudian, Nasruddin dengan keras membentak, “Hai maling! Serahkan jubah itu pada yang punya!”

Secara spontan, salah seorang dari mereka melepaskan ujung jubah yang dia pegang. Dengan demikian, tahulah Nasruddin milik siapa jubah itu.

Begitulah. Orang yang bersalah memang sulit membohongi dirinya sendiri. Seribu orang bisa dikelabui dengan mimik wajah atau kepiawaian berakting. Tapi, hati kecilnya sendiri tidak mungkin dikelabui. Hatilah, menurut ‘ulamā’ shūfī, pusat motivasi dan pengetahuan kita. Hati bahkan bisa mengetahui apa yang diingkari oleh pikiran rasional (11). Karena itulah Nabi s.a.w. berpesan, “Istafti qalbaka, mintalah fatwa pada hatimu, kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah.” (22) Di sini hati menjadi tempat bertanya bagi kita kala harus memutuskan sesuatu yang penting. Ia sumber cahaya batiniah, inspirasi, kreativitas, dan belas kasih. (33)

Dalam hadits lain, hati pulalah penentu kualitas seseorang: “Hati bagaikan raja, dan hati memiliki bala tentara. Bila raja itu baik, maka baiklah seluruh bala tentaranya. Dan, kalau hati itu rusak, maka rusaklah seluruh bala tentaranya.” (Kanz-ul-‘Ummāl, hadis ke 1205)

Pembaca tercinta! Lantas apa hati itu sendiri? Di manakah ia berada? Apa bedanya dengan emosi, perasaan, dan akal?

Hati janganlah disalahartikan sebagai emosi. Emosi, seperti amarah, rasa takut, dan serakah, berasal dari nafs. Ketika orang berbicara mengenai “keinginan hati”, mereka biasanya merujuk pada keinginan nafs. Nafs tertarik pada kenikmatan duniawi dan tidak peduli akan Tuhan; sedangkan hati tertarik kepada Tuhan dan hanya mencari kenikmatan di dalam Tuhan. Bukan tempatnya mengulas emosi dan akal secara mendalam di sini. Cukuplah kita simak penjelasan Imām al-Ghazālī berikut ini:

“Tubuh laksana negara. Tangan, kaki, dan beragam anggota tubuh laksana pekerja ahli. Nafs bagaikan pemungut pajak. Amarah ibarat polisi. Hati adalah rajanya. Akal adalah perdana menterinya. Nafs – layaknya pemungut pajak – senantiasa berusaha menarik segala sesuatu untuk kepentingannya sendiri. Sementara amarah bersifat keras dan kasar, dan cenderung menghukum dan ingin menghancurkan. Raja harus mengendalikan bukan hanya nafs dan amarah, melainkan juga akal. Ia harus menjaga keseimbangan di antara semua kekuatan ini. ” (44)

Di manakah hati berada? Biasanya orang menjawab, hati terdapat di dalam dada. Jawaban semacam itu tidaklah salah. Sebab, menurut shūfī mutakhir Inayat Khan, ada pusat saraf di dalam dada manusia yang begitu sensitif terhadap perasaan-perasaan, sehingga selalu dianggap sebagai hati. Bilamana seseorang merasakan kenikmatan hebat, kenikmatan itu berada di pusat saraf tersebut. Dia merasakan sesuatu bersinar dalam dadanya, dan melalui pusat cahaya itu seluruh wujudnya tampak bersinar; dia merasa seperti sedang terbang. Pun kala seseorang dilanda depresi atau frustrasi, perasaan tersebut memengaruhi pusat saraf tersebut. Dadanya terasa sempit dan sesak, seperti tertindih beban berat. (55)

Itulah barangkali makna hati dalam bentuk fisik dari hadis terkenal ihwal posisi sentral hati dalam diri manusia. (66) Rasyīd Ridhā, musāfir terkemuka dari Mesir, menyebut ada dua macam hati (qalb): sepotong organ tubuh yang menjadi pusat peredaran darah (qalb-ul-badan) (77) dan suatu subsistem jiwa yang menjadi pusat perasaan (qalb-un-nafs). Dimensi pertama berpengaruh besar terhadap kesehatan badan dan dimensi kedua menentukan kesehatan ruhaniah. (88)

Hati dalam makna nonfisiklah yang menyimpan kecerdasan dan kearifan kita yang terdalam. Ia lokus makrifat atau pengetahuan spiritual. Ia adalah titik tengah antara nafs dan rūḥ. Ia disebut al-Ghazālī sebagai lathīfah rabbāniyyah rūḥāniyyah, sesuatu yang lembut yang berasal dari Tuhan dan bersifat ruhaniah. Ia adalah hologram alam lahir dan ghaib, sebuah organ yang merefleksikan kesempurnaan:

“ Pancaindra manusia bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap ke dunia luar. Tetapi, yang lebih menakjubkan lagi, hatinya memiliki jendela yang terbuka ke arah dunia ruh yang tak kasatmata; kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat tentang masa depan. Hatinya ibarat cermin yang memantulkan segala sesuatu yang tergambar di lau-ul-mafūzh ” (99)

Manusia yang terasing dari pusatnya sendiri – hati – akan terasing dari segala sesuatu. Ia tak hanya asing bagi dirinya sendiri, tapi juga menjadi asing di alam semesta.

Catatan:

  1. 1). Kabir Helminski, Hati Yang Bermakrifat, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, hal. 101.
  2. 2). HR. Aḥmad dan ad-Dārimī. Lengkapnya: Istafti Qalbak, al-birru mā ithma’anna ilayh-in-nafsu wathma’anna ilayh-il-qalbu wal-itsmu mā ḥāka fin-nafsi wa taraddadu fish-shudūr.
  3. 3). Syaikh Ragip Frager, Heart, Self, and Soul, Wheaton: TPH, 1999, hal. 53.
  4. 4). Al-Ghazālī, Meramu Kebahagiaan, Jakarta: Hikmah, 2002, hal. 4-5.
  5. 5). Inayat Khan, Dimensi Spiritual Psikologi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, hal. 94.
  6. 6). “Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat mudhghah. Jika ia bagus, akan baguslah seluruh anggota tubuh. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, itu adalah qalb.” (HR. Bukhārī dan Muslim).
  7. 7). Hemat saya, qalb di sini lebih tepat diberi arti jantung, salah satu dari ma‘na qalb dalam bahasa ‘Arab selain inti, akal, semangat keberanian, bagian dalam, bagian tengah, atau sesuatu yang murni. Dan untuk hati (liver) biasanya digunakan term al-kābid. (Lihat Lisān-ul-‘Arab, jil. V, hal. 3713-3715 atau al-Munawwir, hal. 1232).
  8. 8). Rasyīd Ridhā, Syarḥ-ul-Arba‘īna Ḥadīts-in-Nabawiyyah, Kairo: Markaz al-Salaf, t.t., hal. 30.
  9. 9). Al-Ghazālī, Meramu Kebahagiaan, Jakarta: Hikmah, 2002, hal. 7.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *