Iqamah – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Pasal kedua: Iqāmah.

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat dalam hal ini pada dua masalah; tentang hukum dan tata caranya.

Mengenai masalah hukum:

  1. ‘Ulamā’ fiqih di berbagai negeri berpendapat bahwa iqāmah hukumnya sunnah mu’akkad bagi orang yang melakukan shalat sendirian atau berjamā‘ah, bahkan lebih kuat daripada hukum adzān.
  2. Menurut ahlu Zhāhir iqāmah adalah fardhu, akan tetapi saya tidak mengetahui apakah kefardhuan secara mutlak, atau salah satu fardhu shalat, bedanya adalah jika termasuk pendapat pertama maka shalat tidak batal karena meninggalkannya, sedangkan menurut pendapat kedua maka shalat batal karena meninggalkannya.
  3. Ibnu Kinānah salah seorang pengikut Mālik berkata: “Jika seseorang meninggalkannya secara sengaja maka shalatnya batal.”

 

Sebab perbedaan pendapat: Apakah iqāmah itu termasuk amalan yang menjelaskan keumuman perintah melakukan shalat dalam sabda Nabi s.a.w.:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُوْنِيْ أُصَلَّى

Lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat.” (2201).

Ataukah iqāmah itu termasuk amalan yang dibawa kepada hukum sunnah? Sementara zhāhir hadits Mālik bin Ḥuwairits menunjukkan fardhu, terlepas apakah untuk shalat berjamā‘ah atau shalat fardhu (sendirian).

Tentang tata cara iqāmah:

  1. Imām Mālik dan Syāfi‘ī berpendapat takbīr di permulaan diucapkan dua kali, dan yang setelahnya satu kali-satu kali kecuali ucapan qad qāmat-ish-shalāh, Mālik menyatakan satu kali, sementara Syāfi‘ī menyatakan dua kali.
  2. Abū Ḥanīfah menyatakan bahwa iqāmah itu diucapkan dua kali-dua kali.
  3. Adapun riwayat dari Aḥmad bin Ḥanbal boleh melakukan satu kali atau dua kali-dua kali.

 

Sebab perbedaan pendapat: Adanya kontradiksi antara hadits Anas dengan hadits Abū Lailā yang terdahulu, yaitu dalam hadits Anas dijelaskan:

أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَ بِفَرْدِ الْإِقَامَةَ، إِلَّا قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ.

Bilāl diperintahkan untuk mengucapkan adzān secara genap, dan iqāmah secra ganjil kecuali ucapan qad qāmat-ish-shalāh.” (2212).

Sementara dalam hadits Abū Lailā dijelaskan:

أَنَّهُ أَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ مُثَنَّى، وَ أَقَامَ مُثَنَّى.

Bahwa Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan Bilāl untuk adzān, lalu dia melakukannya dua kali-dua kali, dan iqamah dua kali-dua kali.” (2223).

Jumhur ‘ulamā’ menetapkan tidak adanya adzān dan iqāmah bagi kaum wanita.

Sementara Mālik berkata: “Jika mereka mengumandangkan iqāmah maka hal itu adalah kebaikan.”

Syāfi‘ī berkata: “Jika mereka mengumandangkan iqāmah dan adzān,” dan diriwayatkan dari ‘Ā’isyah bahwa ia melakukan adzān dan iqāmah sebagaimana diutarakan oleh al-Mundzirī.

Perbedaan pendapat kembali kepada pebedaan persepsi apakah seorang wanita bisa menjadi imām? Ada pendapat yang menyatakan pada dasarnya kaum wanita seperti lelaki dalam segenap ibadah kecuali jika datang dalil yang mengkhususkannya.

Catatan:

  1. 220). Muttafaq ‘alaihi. Ini adalah potongan hadits Mālik bin Ḥuwairits dan takhrīj-nya telah dijelaskan.
  2. 221). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya.
  3. 222). Ibid.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *