Para ‘ulamā’ berbeda pendapat dalam hal ini pada dua masalah; tentang hukum dan tata caranya.
Mengenai masalah hukum:
Sebab perbedaan pendapat: Apakah iqāmah itu termasuk amalan yang menjelaskan keumuman perintah melakukan shalat dalam sabda Nabi s.a.w.:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُوْنِيْ أُصَلَّى
“Lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat.” (2201).
Ataukah iqāmah itu termasuk amalan yang dibawa kepada hukum sunnah? Sementara zhāhir hadits Mālik bin Ḥuwairits menunjukkan fardhu, terlepas apakah untuk shalat berjamā‘ah atau shalat fardhu (sendirian).
Tentang tata cara iqāmah:
Sebab perbedaan pendapat: Adanya kontradiksi antara hadits Anas dengan hadits Abū Lailā yang terdahulu, yaitu dalam hadits Anas dijelaskan:
أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَ بِفَرْدِ الْإِقَامَةَ، إِلَّا قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ.
“Bilāl diperintahkan untuk mengucapkan adzān secara genap, dan iqāmah secra ganjil kecuali ucapan qad qāmat-ish-shalāh.” (2212).
Sementara dalam hadits Abū Lailā dijelaskan:
أَنَّهُ أَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ مُثَنَّى، وَ أَقَامَ مُثَنَّى.
“Bahwa Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan Bilāl untuk adzān, lalu dia melakukannya dua kali-dua kali, dan iqamah dua kali-dua kali.” (2223).
Jumhur ‘ulamā’ menetapkan tidak adanya adzān dan iqāmah bagi kaum wanita.
Sementara Mālik berkata: “Jika mereka mengumandangkan iqāmah maka hal itu adalah kebaikan.”
Syāfi‘ī berkata: “Jika mereka mengumandangkan iqāmah dan adzān,” dan diriwayatkan dari ‘Ā’isyah bahwa ia melakukan adzān dan iqāmah sebagaimana diutarakan oleh al-Mundzirī.
Perbedaan pendapat kembali kepada pebedaan persepsi apakah seorang wanita bisa menjadi imām? Ada pendapat yang menyatakan pada dasarnya kaum wanita seperti lelaki dalam segenap ibadah kecuali jika datang dalil yang mengkhususkannya.