Ikhlash – Menghias Ibadah – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah (1/2)

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Menghias Ibadah - Tutur Penerang Hati - Ibn 'Atha'illah

4

Menghias Ibadah

 

Ikhlas.

Siapa menghendaki akhir yang baik, ia perlu menyiapkan awal yang baik. Siapa menghendaki surga, ia pun harus ikhlas dalam beramal. Serta siapa yang jujur kepada Allah, pasti Allah akan menjauhkannya dari gangguan para musuh, melindunginya dari kejahatan, membantu kehidupannya, menunjukinya pada ‘amal yang baik dan benar. Allah berfirman: “Orang-orang yang mengikuti petunjuk pasti diberi Allah tambahan petunjuk dan diberi sifat taqwā.” (Muḥammad [47]: 17).

Wahai saudaraku, jangan sekali-kali engkau iri hati kecuali pada seorang hamba yang telah diberi pakaian takwa dan telah mencicipi lezatnya ikhlas. Itulah kehidupan yang menyenangkan. Betapa indahnya ketika seseorang tinggal bersama kekasihnya tanpa ada yang mendampingi. Jika kemudian ia ingin diketahui dan disaksikan orang, berarti cintanya tidak jujur. Jika seseorang ingin kondisinya diketahui orang lain, berarti ia telah tertipu. Syaddād ibn ‘Aws r.a. mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Siapa berpuasa karena riyā’ berarti telah berbuat syirik. Siapa melakukan salat karena riyā’ berarti telah berbuat syirik. Serta siapa bersedekah karena riyā’ berarti telah berbuat syirik.” (H.R. al-Baihaqī).

Namun, ibadah yang disertai hawa nafsu memang akan menjadi ringan dilakukan, sementara ibadah yang tidak disertai hawa nafsu menjadi sangat berat. Betapa beratnya ibadah yang dikerjakan tanpa dilihat orang. Sebaliknya, betapa ringannya sebuah ibadah dilakukan ketika dilihat, dipuji, dan disanjung oleh orang.

Contoh yang paling jelas adalah ketika engkau melakukan haji sunnah – sesudah yang wājib – sekian puluh kali. Itu takkan memberatkanmu. Tetapi, kalau ada yang menganjurkanmu untuk bersedekah sebanyak ongkos haji tersebut kepada para fakir miskin atau untuk pembangunan masjid, engkau menjadi bakhil dan merasa berat. Sebab, berhaji disaksikan dan diketahui banyak orang. Di sinilah hawa nafsu bermain. Karena sering berhaji, engkau bisa menjadi orang terkenal. Sementara bersedekah adalah perbuatan rahasia dan tak diketahui banyak orang sehingga tiada yang bisa dibanggakan.

Demikian pula ketika engkau menuntut ‘ilmu tidak karena Allah. Dalam kondisi tersebut engkau mampu belajar semalam suntuk. Nafsu dan keinginanmu menjadi terpuaskan. Tapi, kalau engkau disuruh untuk salat malam dua rakaat, itu akan terasa berat sebab dalam dua rakaat yang kau lakukan itu nafsumu tidak mendapat tempat. Sementara dengan membaca dan belajar, nafsumu mendapat tempat karena bisa membanggakan ‘ilmu yang kau miliki di hadapan orang. Oleh karena itu, aktivitas membaca dan belajar itu pun menjadi ringan. Hal-hal seperti itu tentu saja adalah kerugian yang nyata.

Dari Maḥmūd ibn Labīd r.a. diriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda: “Yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik yang paling kecil.” Para sahabat pun bertanya: “Apa syirik terkecil itu wahai Rasūlullāh?” Beliau menjawab: “Riyā’”.

Ketika membalas semua ‘amal perbuatan manusia, Allah berkata: “Pergilah kepada orang-orang yang kalian ingin agar ‘amal kalian dilihat mereka di dunia. Apakah mereka mampu memberikan balasan?” (H.R. Aḥmad).

Wahai saudaraku, lakukanlah ‘amal-‘amal shāliḥ secara rahasia – sehingga hanya engkau dan Allah yang mengetahuinya. Upayakan agar jangan ada yang melihatnya. Jadikan ‘amal tersebut sebagai amal yang tulus hanya untuk Allah, sehingga engkau bisa mendapatkannya dalam timbangan ‘amal kebaikanmu di hari kiamat kelak. Allah berfirman: “Pada hari ketika tiap-tiap jiwa mendapati hasil segala perbuatan baiknya berada di hadapannya.” (Āli ‘Imrān [3]: 30).

Jauhilah perasaan bangga dan ingin dilihat orang. Sebab, nafsu sangat senang bila sebuah ‘amal disebut-sebut dan dipuji. Jangan sampai menghapus amal yang dengan susah payah kau lakukan. Juga, jangan kau pergunakan dirimu pada suatu maksiat. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Siapa memakai pakaian ketenaran (popularity, fame), Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat.” (H.R. Aḥmad, Abū Dāūd, dan Ibn Mājah dengan sanad ḥasan. Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar secara marfū‘)

Abaikanlah nafsu rendahan dan keinginan yang lemah. Sebaliknya, perhatikanlah kadar, pahala, dan imbalan yang Allah berikan atas sebuah perbuatan. Jiwa merupakan permata berharga yang harus kau pergunakan untuk melakukan ‘amal terbaik. Mungkinkah orang melemparkan permata berharga ke tempat sampah? Mengapa engkau berjuang memperbaiki aspek lahiriah dengan mengabaikan rusaknya bāthin? Engkau persis seperti orang berpenyakit kusta. Ia memakai baju baru dari sutra, tetapi dari dalam tetap tercium bau busuk yang tidak enak. Apabila melihat penampilan lahiriahnya engkau akan terpesona. Namun, apabila menyingkap apa yang ada di baliknya, pasti engkau merasa jijik. Engkau hanya sibuk membenahi apa yang terlihat oleh orang, tidak membenahi qalbu yang menjadi milik Tuhan. Allah berfirman: “Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, lakukanlah ‘amal shāliḥ dan jangan menyekutukan Tuhan dengan siapa pun juga.” (al-Kahf [18]: 110).

Wahai manusia yang hanya mau memakan nasi dari beras yang sudah disaring bersih, saringlah ‘amalmu dari segala jenis riyā’ dan bersihkan dari perasaan ingin dikenal orang. Dengan demikian, yang tersisa dari ‘amalmu adalah yang betul-betul ikhlas. Sedangkan lainnya mesti dibuang. (21).

Wahai saudaraku, engkau harus memperbagus ‘amal bukan memperbanyaknya. Sebab ‘amal yang banyak tanpa dibarengi kualitas dan keikhlasan seperti baju yang banyak tapi murah harganya. Sementara ‘amal yang sedikit jika berkualitas dan sempurna seperti sedikit baju yang mahal harganya.

‘Amal yang ikhlas laksana mutiara. Bentuknya kecil, tetapi mahal nilainya. Orang yang qalbunya sibuk bersama Allah lalu ia bisa mengalahkan hawa nafsu dan fitnah yang muncul secara tepat, maka orang tersebut lebih baik daripada mereka yang banyak melakukan shalat dan puasa sementara qalbunya sakit, terisi oleh keinginan untuk dikenal dan keinginan mendapat kenikmatan.

Ada yang berpendapat bahwa yang menjadi perhatian orang zuhud adalah bagaimana memperbanyak ‘amal, sedangkan perhatian orang ‘ārif (yang mengenal Allah) adalah bagaimana memperbaiki keadaan jiwa dan mengarahkan qalbu hanya kepada Allah semata.

Catatan:

  1. Diriwayatkan oleh Abū Hurairah r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Allah ta‘ālā berkata: “Aku adalah Dzāt yang paling tidak membutuhkan sekutu. Siapa yang mengerjakan sebuah ‘amal perbuatan yang di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan yang lain. Aku berlepas diri darinya dan ia pun untuk sekutu tadi.” (H.R. Ibn Mājah).