Ikhlas versus Riya’ – Syekh Muhammad al-Birgawi – Ikhlas Tanpa Batas (1/3)

Ikhlas Tanpa Batas
 
Belajar Hidup Tulus dan Wajar

Kepada 10 Ulama – Psikolog Klasik
 
Imām al-Ghazālī (w. 505 H)
Imām al-Ḥākim al-Tirmidzī (w. 320 H)
Imām al-Nawawī al-Dimasyqī (w. 676 H.)
Syekh al-Ḥārits al-Muḥāsibī (w. 243 H)
Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī (w. 561 H.)
Syekh Ibn ‘Athā’illāh (w. 709 H.)
Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H)
Syekh ‘Abd al-Raḥmān al-Lajā’ī (w. 599 H.)
Syekh ‘Abd al-Ḥamīd al-Anqūrī (abad 8 H)
Syekh Muḥammad al-Birgawī (w. 995 H)
 
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Ikhlas versus Riya’ - Syekh Muhammad al-Birgawi - Ikhlas Tanpa Batas

Orang yang marah ketika disebut aibnya adalah orang yang riyā’. Orang yang semakin giat beramal ketika dipuji dan mengendur amalnya ketika dicela adalah orang yang riyā’. Orang yang giat di hadapan orang dan bermalas-malasan ketika sendirian adalah orang yang riyā’” Imām al-Junaid al-Baghdādī.

Ikhlas sering diartikan sebagai tidak riyā’ dalam beramal. Riyā’ adalah syirik kecil. Dalam tulisan berikut ini, yang dipetik dari kitab ath-Tharīqah al-Muḥammadiyah, Syekh al-Birgawī dengan gamblang menerangkan bagaimana riyā’ bisa melanda baik pendamba dunia maupun pendamba akhirat.

 

8

Ikhlas versus Riyā’

[Syekh Muḥammad al-Birgawī (w. 995 H)]

 

Termasuk penyakit hati yang menyebabkan kekufuran adalah riyā’. Orang yang riyā’ biasanya berusaha mencari kesuksesan di dunia ini dengan melakukan berbagai ibadah, kemudian mengabarkan kesalehannya itu kepada orang lain. Memberitahukan amal kita ke orang lain, tanpa mereka menanyakannya, dan bukan dengan maksud mengajari atau memperbaiki pemahaman keagamaan mereka, termasuk sikap riyā’

Riyā’ adalah salah satu perwujudan sifat nifak (munafik), yaitu berusaha menampilkan suatu sikap yang bertentangan dengan kenyataannya. Lawan riyā’ adalah ikhlas atau ketulusan hati yang merupakan dasar keberagamaan. Ikhlas berarti berbuat dan berperilaku selaras dengan iman. Sikap ikhlas lahir dari kesungguhan untuk mencari jalan keselamatan dan kedamaian di dunia dan akhirat serta didorong oleh kehendak yang kuat untuk mendekati Allah. Orang yang ikhlas akan berusaha menjaga setiap tindakan, ibadah, dan kesalehan lainnya agar tetap tak tampak dan luput dari perhatian manusia.

Orang yang ikhlas akan mendapatkan balasan karunia yang besar dari Allah di dunia ini, berupa kepuasan batin karena selalu merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah. Nabi s.a.w. bersabda: “Apabila kau tak sanggup melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim dari Ibn ‘Umar).

Kadang-kadang kemunafikan merasuk ke dalam hati didorong oleh hasrat meraih sukses duniawi. Inilah pangkal kemunafikan dalam lingkup kehidupan dunia. Tetapi, bila keuntungan ukhrawi juga muncul dalam keinginan seseorang, keadaannya menjadi rumit. Muncul persaingan yang hebat antara memetingkan keuntungan duniawi atau keuntungan ukhrawi.

Apabila kita berambisi meraih sukses duniawi, kita berharap bisa mendapatkannya baik dari Sang Pencipta atau dari makhluk-Nya. Kita berusaha menguasai dan mengendalikan orang lain, mendapatkan kekayaan atau kesenangan, atau meraih dan mempertahankan ketiganya. Ada sebagian orang yang berpikiran kacau dengan menyatakan bahwa sukses duniawi merupakan jalan untuk meraih kebahagiaan ukhrawi.

Memang, jika orang meraih kesuksesan itu dengan jalan yang benar dan mempergunakannya di jalan Allah, seraya tetap bertawakal kepada-Nya, ia tak dikategorikan munafik. Kita boleh saja menginginkan keuntungan duniawi melalui amal keagamaan. Misalnya, kita shalat agar diberi hujan, atau agar Allah membimbing kita pada keputusan yang tepat dalam urusan dunia, atau berdoa supaya kita dijauhkan dari penderitaan, penyakit, atau kesedihan.

Ada banyak ciri kemunafikan dalam diri kita. Tubuh merupakan sarana yang paling sering digunakan untuk menampilkan kemunafikan. Misalnya, kita memelihara agar tubuh kita tetap kurus sehingga orang menyangka kita sering berpuasa dan shalat malam; muka yang pucat kita jadikan alat untuk menampilkan kesalehan dengan mengatakan bahwa pucatnya muka kita disebabkan oleh rasa takut dan cinta kepada Allah; kita rendahkan suara dan kita tundukkan pandangan agar orang lain menyebut kita orang yang rendah hati; atau kita berpura-pura bingung agar dianggap sering tafakur, dan seterusnya.

Ciri-ciri itu berbeda dengan ciri-ciri nifak dalam lingkup keduniawian, yang di antaranya meliputi tubuh yang subur, pipi merah, muka yang senantiasa cerah ceria dan percaya diri, penampilan rapi, dan seterusnya.

Memperindah tampilan dan pakaian dapat mendorong kita pada kemunafikan. Pakaian yang rapi, bermode dan indah, dikenakan untuk menarik perhatian orang, perilaku santun dan ramah, yang ditampakkan agar orang bersimpati, merupakan tanda-tanda kemunafikan dalam lingkup duniawi.

Kendati demikian, kemunafikan pun sering tampak pada orang yang berpura-pura zuhud: memakai pakaian tak layak, robek-robek atau penuh tambalan, rambut panjang tak terurus, dan sepatu usang, yang semuanya menampakkan bahwa ia tak punya waktu mengurusi dirinya karena sibuk beribadah kepada Allah. Ketika seseorang memintanya agar mencuci dan menyisir rambutnya serta menawarinya pakaian yang layak, ia menolaknya. Ia cemas bila orang-orang menganggap dirinya memedulikan perhatian orang. Ia enggan menampilkan dirinya seperti kebanyakan orang.

Meski demikian, orang munafik seperti ini tidak akan ragu mengubah penampilannya sesuai dengan harapan orang yang memuliakan dan menghormatinya. Ketika berkesempatan untuk berdampingan dengan penguasa penting atau orang kaya, ia akan mengubah penampilan dan cara berpakaiannya agar diakui oleh lingkungan itu. Ia khawatir pakaiannya yang kotor dan robek-robek itu membuat orang penting itu menjauhinya. Sebaliknya, ketika berada di lingkungan orang-orang saleh, ia kenakan kembali pakaian zuhudnya.

Orang munafik akan menata lingkungannya untuk menciptakan kesan tertentu di mata manusia. Orang yang munafik dalam hal duniawi mengendarai kendaraan mewah, tinggal di rumah megah, menjamu tamu-tamunya dengan meja jamuan yang tertata mewah. Tetapi, ketika sendirian di rumahnya, di dapur ia makan sisa-sisa hidangan dengan rakusnya.

Orang yang munafik dalam hal duniawi ataupun agama gemar menjual diri ke masyarakat umum dengan membangga-banggakan kedudukan penting dan terhormat yang diraih leluhur mereka. Padahal, semua itu sama sekali tidak berguna dan tidak memengaruhi keadaan mereka saat ini.

Orang munafik yang berambisi meraih kemuliaan dan keagungan dalam beragama akan berusaha keras memberikan kesan bahwa ia bijak dengan mengatakannya secara terbuka tanpa diminta, serta mengungkapkan kata-kata dan kalimat rumit yang susah dipahami. Ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān dan hadits Nabi secara panjang lebar sehingga makna sejatinya hilang atau berubah total. Ia mencela dan mengkritik orang lain karena melakukan apa yang dilakukannya, serta menuduh mereka salah memahami al-Qur’ān. Ia bertingkah laku seolah-olah menguasai al-Qur’ān dan ribuan hadits, melibatkan diri dalam debat-debat yang tak beralasan, menyerang orang lain, menyebutkan nama para ulama yang terkenal serasa mengakuinya sebagai guru atau kawannya. Ia ceritakan pengalaman pribadinya dalam beribadah secara panjang lebar. Bahkan, apabila sedang diam pun, ia gerakkan bibirnya seolah-olah sedang berzikir. Ia tunjukkan kemarahan yang besar atau cucuran air mata ketika melihat atau mendengar kejahatan yang dilakukan orang lain. Ia keraskan suaranya sebagai tanda kenikmatan mendalam selagi membaca bacaan dalam shalat berjamaah. Dalam praktek semacam ini dan ibadah lainnya, ia berharap dapat memperlihatkan kelebihannya di atas, atau keberdedaannya dari orang beriman lainnya.

Tanda-tanda serupa dari orang munafik dalam urusan dunia lebih sederhana. Ia mencoba menarik perhatian orang lain dengan mengutip penjelasan filosofis dan bukti-bukti empiris untuk fenomena tertentu yang berkaitan dengan urusan umum. Ia pun berlagak seolah-olah gagasan itu miliknya sendiri, tanpa menyebutkan pencetusnya yang sebenarnya. Ia bacakan syair-syair, kisah-kisah, atau anekdot, yang semuanya dikemas dalam bahasa yang indah menawan dan penampilan yang menarik perhatian.

Orang yang sedang shalat berjamaah pun bisa dihinggapi nifak. Ketika shalat bersama orang-orang, ia tampilkan diri, dengan sikap dan bahasa tubuh yang menunjukkan kerendahan hati dan kekhusyukan ibadah. Atau, ia rukuk dan sujud berlama-lama seolah-olah tenggelam dalam kenikmatan sempurna. Namun, ketika shalat sendirian di rumah, ia shalat dengan cepat dan tergesa-gesa.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *