كِتَابُ الطَّهَارَةِ مِنَ النَّجِسِ
Pokok-pokok masalah dalam pembahasan ini terangkum dalam 6 bab:
Bab I
Dasar bab ini adalah kitab, yaitu firman Allah s.w.t.:
وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan pakaianmu bersihkanlah!” (Qs. al-Muddatstsir [74]: 4).
Sementara dasar dari Sunnah juga sangat banyak yang mayoritas adalah atsar-atsar yang tsābit, di antaranya adalah sabda Nabi s.a.w.:
مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ، وَ مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوْتِرْ.
“Barang siapa berwudhu’ maka hendaklah ia masukkan lalu mengeluarkan air dari hidung, dan barang siapa membersihkan najis dengan batu, maka hendaklah ia melakukannya secara ganjil.” (1361).
Demikian pula perintah Rasūlullāh s.a.w. untuk membersihkan darah haidh dari pakaian, dan perintahnya untuk mengucurkan air pada air seni orang Badui.
Juga sabda Nabi s.a.w. tentang dua penghuni kubur:
إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَ مَا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ مِنَ الْبَوْلِ.
“Sesungguhnya keduanya tengah disiksa, dan keduanya tidaklah disiksa karena hal besar, adapun salah seorang dari keduanya karena tidak mensucikan diri setelah kencing.” (1372).
Karena berbagai dalil-dalil ini para ulama sepakat bahwa menghilangkan najis adalah satu hal yang diperintahkan dalam syariat, lalu mereka berbeda pendapat apakah hal itu wajib atau sunnah?
Dua pendapat terakhir diriwayatkan dari Mālik, dari para pengikutnya.
Pertama: Perbedaan pemahaman mereka mengenai firman Allah s.w.t.:
وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan pakaianmu bersihkanlah!” (Qs. al-Muddatstsir [74]: 4).
Apakah ayat ini dipahami secara majaz atau hakikat?
Kedua: Kontradiksi beberapa zhahir atsar dalam mewajibkannya.
Ketiga: Perbedaan mereka dalam memahami perintah dan larangan yang ada karena adanya alasan yang logis, apakah alasan logis dari perintah dan larangan tersebut bisa mengalihkan hukum wajib kepada sunnah, atau sesuatu yang diharamkan berubah menjadi makruh, ataukah tidak demikian?
Karena tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah yang masuk akal dan tidak, orang yang membedakannya hanya beralasan bahwa kebanyakan hukum-hukum yang logis dalam syariat adalah menimbang sisi maslahat dan etika, padahal kebanyakan hal semacam ini berkaitan dengan sesuatu yang sunnah.
Lalu kelompok yang memahami firman Allah (وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ) dengan arti pakaian luar (yang nampak), menyatakan bahwa bersuci dari najis hukumnya adalah wajib.
Sementara kelompok yang memahami bahwa kalimat tersebut adalah kinayah (metonimia) dari kesucian hati, mereka tidak berpendapat wajib.
Adapun berbagai atsar-atsar yang saling bertentangan dalam masalah ini di antaranya adalah hadits tentang dua penghuni kubur, beliau s.a.w. bersabda:
إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَ مَا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ مِنَ الْبَوْلِ.
“Sesungguhnya keduanya tengah disiksa, dan keduanya tidaklah disiksa karena hal besar, adapun salah seorang dari keduanya karena tidak mensucikan diri setelah kencing.” (1383).
Zhahir hadits menunjukkan bahwa bersuci dari najis hukumnya wajib karena ‘adzab itu hanya berkaitan dengan sesuatu yang wajib.
Lalu hadits yang bertentangan dengannya adalah shaḥīḥ (1394) dari beliau s.a.w. yang menjelaskan bahwa suatu ketika beliau shalat, beliau dilempari dengan jeroan kambing yang penuh dengan kotoran dan darah, namun beliau tidak menghentikan shalatnya.
Dari sini dapat dipahami bahwa beliau kalau saja menghilangkan najis itu adalah wajib seperti wajibnya bersuci dari hadats, maka niscaya Rasūlullāh s.a.w. akan menghentikan shalatnya.
Diriwayatkan pula bahwa suatu ketika Nabi s.a.w. shalat, kemudian beliau melemparkan kedua sandalnya, dan orang-orang pun melemparkan sandal mereka. Maka Rasūlullāh s.a.w. pun mengakhiri hal itu seraya berkata:
إِنَّمَا خَلَعْتُهَا لِأَنَّ جِبْرِيْلَ أَخْبَرَنِيْ أَنَّ فِيْهَا قَذَرًا.
“Sesungguhnya aku melepasnya karena Jibrīl memberitahuku bahwa terdapat kotoran padanya (sandal).” (1405).
Zhahir hadits ini adalah seandainya hukum menghilangkan najis itu wajib maka beliau tidak akan melanjutkan shalatnya.
Sebagian kelompok yang mengambil metode al-Jam‘ (mengkompromi antara dalil-dalil yang nampak saling bertentangan) berkata: “Hukumnya wajib apabila ia mengingatnya dan mampu melakukannya, dan hukum tersebut gugur apabila ia lupa atau tidak mampu melakukannya.”
Kelompok lain mengatakan bahwa membersihkan najis adalah fardhu secara mutlak dan bukan termasuk syarat sah shalat, ini adalah pendapat yang keempat dan merupakan pendapat yang lemah, karena najis dihilangkan lantaran hendak melaksanakan shalat.
Ada juga yang membedakan antara ibadah yang dipahami akal dan ibadah yang tidak dipahami akal (yakni, ibadah yang tidak dipahami akal lebih cenderung kepada wajib), mereka membedakan antara perintah bersuci dari hadats dan perintah bersuci dari najis, karena sudah maklum bahwa bersuci dari najis termasuk kebersihan dan etika yang baik. Adapun bersuci dari hadats adalah sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh akal, apalagi jika dibandingkan dengan kejadian shalat yang pernah dilakukan oleh Rasūlullāh s.a.w. dan para sahabatnya yang menggunakan sandal. Padahal, biasanya sandal itu mudah terkena najis, juga dengan apa yang telah mereka sepakati bahwa najis yang sedikit dimaafkan.
بَيْنَمَا رَسُوْلُ اللهِ (ص) يُصَلِّيْ عِنْدَ الْبَيْتِ، وَ أَبُوْ جَهْلٍ وَ أَصْحَابٌ لَهُ جُلُوْسٌ، وَ قَدْ نُحِرَتْ جَزُوْرٌ بِالْأَمْسِ، فَقَالَ أَبُوْ جَهْلٍ أَيُّكُمْ يَقُوْمُ إِلَى سَلَا جَزُوْرِ بَنِيْ فُلَانٍ فَيَأْخُذُهُ فَيَضَعُهُ فِيْ كَتِفَيْ مُحَمَّدٍ إِذَا سَجَدَ، فَانْبَعَثَ أَشْقَى الْقَوْمِ فَأَخَذَهُ فَلَمَّا سَجَدَ النَّبِيُّ (ص) وَضَعَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ، قَالَ: فَاسْتَضْحَكُوْا وَ جَعَلَ بَعْضُهُمْ يَمِيْلُ عَلَى بَعْضٍ، وَ أَنَا قَائِمٌ أَنْظُرُ لَوْ كَانَتْ لِيْ مَنَعَةٌ طَرَحْتُهُ عَنْ ظَهْرِ رَسُوْلِ اللهِ (ص)
“Ketika Rasūlullāh s.a.w. melakukan shalat di Ka‘bah sementara Abū Jahal dan kawan-kawannya tengah duduk-duduk, sebelumnya ada unta yang disembelih, lalu Abū Jahal berkata: “Siapakah di antara kalian yang mau mengambil jeroan unta bani fulan dan meletakkannya di dua pundak Muḥammad apabila dia sujud?” Akhirnya orang yang paling buruk dari kaum itu berdiri mengambilnya dan tatkala Rasūlullāh s.a.w. duduk, orang tersebut meletakkannya di antara kedua pundak beliau, (Ibnu Mas‘ūd) berkata: “Mereka pun tertawa dan masing-masing saling mengisyaratkan kepada yang lainnya, sementara aku berdiri melihatnya, kalau saja memiliki kekuatan pasti aku akan membuangnya dari punggung Rasūlullāh s.a.w.” HR. al-Bukhārī (498, 3014, 3641), Muslim (1794), an-Nasā’ī (1/163).