Para ‘ulamā’ berbeda pendapat mengenai hukum adzān, apakah sunnah mu’akkad atau fardhu? Jika fardhu apakah fardhu ‘ain atau kifāyah?
Abū ‘Umar berkata: “Semuanya sepakat bahwa adzān hukumnya adalah sunnah mu’akkadah atau fardhu bagi penduduk kota, bersandarkan kepada sebuah riwayat yang menyatakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) كَانَ إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ لَمْ يُغِرْ، وَ إِذَا لَمْ يَسْمَعْهُ أَغَارَ.
“Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. tidak menyerang (ke sebuah daerah) jika beliau mendengarkan adzān (di dalamnya), dan jika tidak mendengarnya, maka beliau menyerang.” (2071).
Sebab perbedaan pendapat: Pertentangan antara makna yang terkandung dalam hadits dengan zhāhir hadits. Hal itu karena hadits shaḥīḥ yang menjelaskan bahwa Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada Mālik bin Ḥuwairits dan sahabatnya:
إِذَا كُنْتُمْ فِيْ سَفَرٍ فَأَذِّنَا وَ أَقِيْمَا وَلْيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا.
“Jika kalian berdua ada dalam perjalanan, maka beradzānlah, lalu iqāmatlah, dan hendaklah orang yang paling tua di antara kalian menjadi imām.” (2082).
Demikian pula riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi s.a.w. selalu melakukannya ketika shalat berjamaah.
‘Ulamā’ yang memahami kewajiban ini secara mutlak berkata: “Bahwa adzān adalah fardhu bagi orang tertentu atau orang banyak,” inilah pendapat yang disampaikan oleh Ibnu Mughallis dari Dāūd.
Sementara ‘ulamā’ yang memahaminya sebagai seruan untuk berkumpul berkata: “Bahwa hukum adzān adalah sunnah masjid atau fardhu bagi tempat berkumpulnya orang banyak.”
Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan persepsi apakah ucapan-ucapan ini termasuk ucapan yang berkaitan dengan shalat secara khusus, atau hanya memiliki tujuan untuk mengumpulkan orang lain.
كَانَ النَّبِيُّ (ص) إِذَا غَزَا قَوْمًا لَمْ يُغِرْ حَتَّى يُصْبِحَ، فَيَنْظُرَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ وَ إِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ.
“Jika Nabi s.a.w. hendak menyerang satu kaum, maka beliau tidak akan menyerang hingga datang waktu Shubuh, lalu melihat-lihat, jika beliau mendengar adzan maka beliau tidak menyerang, dan jika beliau tidak mendengar maka beliau menyerang mereka.” HR. al-Bukhārī (371, 610, 947, 2943, 2944, 4200), Muslim (1427), an-Nasā’ī (1/271) (6/131), Aḥmad (3/101, 164, 186, 206, 246, 263).