Jika ada pertanyaan, manakah dalilnya dalam sulūk (merintis jalan ridha Allah) harus melalui guru pembimbing (mursyid)? Maka jawabannya adalah sama dengan pertanyaan: “Manakah dalil dalam belajar ilmu harus mempunyai pembimbing?” Apa yang membedakan?
Seorang shūfī berkata:
مَنْ تَعَلَّمَ بِغَيْرِ شَيْخٍ فَشَيْخُهُ شَيْطَانٌ.
“Siapa yang belajar tanpa guru (mursyid), maka gurunya adalah syaithan.”
‘Ulamā’ tashawwuf menyepakati, bahwa seseorang yang layak menjabat sebagai guru pembimbang (mursyid) adalah dia yang sudah menetapi kriteria sebagai berikut:
1). ‘Ālim di bidang ilmu syarī‘at.
2). Seorang yang telah ma‘rifat Allah.
3). Berpengetahuan di dalam jalan tazkiyat-un-nafs dan tarbiyah.
4). Mendapat ijazah dari syaikh sebelumnya. (351).
Ibnu Khaldūn dalam Syifā’-us-Su’āl berkata, bahwa guru dalam mujāhadah untuk merintis ibadah yang istiqāmah, menjalankan akhlāq al-Qur’ān dan akhlāq Nabi, kendati tidak sampai wajib ‘ain, adalah sangat dianjurkan. Hal ini karena terjal dan licinnya jalan menuju ke sana, dan juga sulitnya melewati berbagai rintangan yang setiap saat menghadangnya. Sedangkan guru mujāhadah untuk menyibak tirai (kasyf-ul-ḥijāb) atau musyāhadah Allah (menyaksikan Allah dalam hati) dan melihat alam ruhani atau kerajaan (malakūt) langit dan bumi, maka wajib dan keharusan mempunyai guru pembimbing. Hal ini berbeda dengan guru mujahadah dalam taqwa untuk menuju sifat wira‘i yang cukup dengan membaca kitab. Tapi bagaimanapun lebih dianjurkan apabila mempunyai guru pembimbing. (362)
Imām asy-Syāthibī, penulis al-Muwāfaqāt dan al-I‘tishām, pernah bertanya lewat surat kepada Ibnu ‘Abbād ar-Randī (penulis syaraḥ al-Ḥikam), tentang haruskah mempunyai guru dalam sulūk kepada Allah. Oleh beliau dijawab, bahwa guru ada dua, yaitu syaikh tarbiyah dan syaikh ta‘līm. Syaikh tarbiyah bukanlah keharusan bagi mereka yang mempunyai kecerdasan akal yang mampu menundukkan hawa-nafsunya. Tetapi jika ia mempunyai guru tarbiyah, maka itu lebih baik. Sedangkan orang yang tidak demikian, maka wajib ia mempunyai guru tarbiyah. Sedangkan syaikh ta‘līm adalah sebuah keharusan bagi mereka yang suluk kepada Allah. Dan kitab-kitab tashawwuf semua bermuara kepada syaikh ta‘līm.
Kemudian beliau melanjutkan: “Dengan demikian, guru adalah sebuah keniscayaan dalam keadaan apapun, lantaran guru adalah petunjuk jalan kepada Allah, sebagaimana petunjuk jalan yang kasat mata.” (373)
Syaikh ‘Abd-ul-Qādir al-Jilānī dalam al-Fatḥ-ur-Rabbānī berkata: “Wahai orang yang hendak (belajar) sulūk, ikutilah orang-orang yang telah suluk dan mengetahui mana-mana tempat yang membahayakan. Mereka adalah para masyāyikh yang mengamalkan ilmunya serta ikhlas. Wahai laki-laki, jadilah (bersama) laki-lakinya dalil (syaikh). Ikuti dia dan tinggalkan hartamu di hadapannya serta berjalanlah bersamanya.” (384).
Mursyid adalah guru yang mengajarkan dzikir kepada muridnya serta membantu membersihkan sampah-sampah dari dalam hati murid (tazkiyat-un-nafs), menghiasinya dengan akhlāq yang baik, dan juga sebagai obat penawar berbagai macam penyakit hatinya. Dia adalah pemimpin dan juga ustadz yang mengetahui metodologi tertentu, dan dialah yang telah banyak mengetahui lebih dalam tentang terjalnya jalan menuju (ridhā) Allah.
Di antara ajaran Rasūlullāh s.a.w. adalah memberi nasehat dan mengajak kebaikan kepada orang lain agar lebih dekat kepada Allah dengan pelajaran pembersihan jiwa. Dan membimbang murid adalah salah satu dari melaksanakan perintah itu. Lalu di mana bid‘ah yang dituduhkan? Mencari guru yang memberinya bimbingan dzikir, bernasehat dan membantu membersihkan penyakit dari hati adalah haram?!
Adapun nama sebuah tarekat, seperti Naqsyābandiyyah, Qādiriyyah, Syādziliyyah, Tijāniyyah dan lain-lain adalah sama yayasan pendidikan Islam yang mempunyai nama, seperti “Nūr-ul-Islām” dan lain-lain. Lalu adakah yang mengatakan bahwa belajar dalam yayasan tersebut adalah bid‘ah karena Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah mengajarkan pendidikan di yayasan tersebut?
Tarekat hanyalah organisasi (madrasah) dari golongan manusia yang berdzikir dan membersihkan diri dengan bimbingan mursyid yang bertindak sebagai guru. Pahamilah ini dengan hati yang tulus serta berharap hidayah dari Allah!
Imām al-Ghazālī berkata: “Murid wajib mempunyai guru yang bisa diteladani supaya dia menunjukkan jalan murid. Lantaran jalan dalam agama relatif sangat sulit dan jalan-jalan yang dipenuhi syaithan banyak sekali dan bahkan sudah jelas. Maka barang siapa yang tidak mempunyai guru yang menunjukkan jalannya, maka ia akan dibimbing oleh syaithan menuju jalannya.” (395).
Ibnu Qayyim dalam al-Wabil-ush-Shayyibu min-al-Kalim-ith-Thayyib berkata: “Jika seseorang ingin mengikuti orang lain, maka lihatlah apakah dia seorang ahli dzikir atau tidak? Yang dijadikan sebagai hakim adalah hawa-nafsunya atau wahyu? Maka seseorang sebaiknya melihat gurunya dan panutannya. Jika ia menemukan gurunya seperti itu, maka jauhilah. Dan jika ia menemukan seseorang yang suka berdzikir kepada Allah, mengikuti sunnah serta perintahnya tidak melewati norma-norma agama, maka pedomanilah dia.” (406).
Ibnu Ḥajar al-Haitamī dalam al-Fatāwā-l-Ḥāditsiyyah berkata: Kesimpulannya, seyogyanya dia menjalankan apa yang menjadi perintah gurunya yang telah menghimpun syarī‘at dan hakikat. Karena dialah dokter yang mulia.” (417).
Ahli hadits terkenal, al-Ḥāfizh Ibnu Abī Jamrah, dalam Bahjat-un-Nufūsi Mukhtasharu Shaḥīḥ-il-Bukhārī, setelah menyampaikan hadits Bukhārī untuk ikut berjihad dan setelah menjabarkan maksud yang terkandung dalam hadits, beliau berkata: “Hadits tersebut merupakan dalil bagi mereka yang masuk dalam jalan sulūk dan mujāhadah. Dianjurkan, dia dalam bimbingan seorang guru yang ‘ārif billāh, sehingga guru akan menunjukkan apa saja yang maslahah baginya.” (428).
Sayyid Muḥammad al-Hāsyimi dalam Syarḥu Syathranj-il-‘Ārifīn berkata: “Suluklah wahai saudaraku di bawah asuhan syaikh yang masih hidup, ma‘rifatullāh, jujur, nāshiḥ (suka bernasehat), mempunyai ilmu yang shaḥīḥ, mempunyai dzauq (perasa batin) yang jelas, cita-cita yang luhur, dan prilaku yang diridhai.”