Allah berfirman: “Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (al-Bayyinah: 5)
Allah juga berfirman: “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang murni.” (al-Zumar: 3)
Nabi s.a.w. bersabda: “Allah berfirman: Ikhlas itu salah satu rahasia-Ku yang Ku titipkan dalam hati hamba-Ku yang Kucintai.”
Ada seseorang dari kaum Bani Isrā’īl yang rajin beribadah. Ia beribadah kepada Allah dalam masa yang lama. Kemudian datanglah orang-orang kepadanya, mengatakan: “Di sini ada kaum yang menyembah pohon, bukan menyembah Allah.”
Ia marah mendengar itu. Ia kemudian mengambil kampaknya dan menyandangnya di atas pundaknya, lalu menuju pohon itu untuk menebangnya.
Iblīs menyambutnya dalam rupa seorang tua: “Hendak ke mana engkau?” kata Iblīs.
Si ‘ālim (‘ābid) menjawab: “Aku mau tebang pohon ini.”
Iblīs bertanya: “Ada perlu apa engkau dengan pohon itu? Engkau tinggalkan ibadah dan kesibukanmu dengan dirimu, dan meluangkan diri untuk selain itu.”
“Sungguh ini termasuk ibadahku,” jawab si ‘ālim (‘ābid).
“Aku tak akan membiarkanmu menebangnya,” sergah Iblīs.
Si ‘ālim (‘ābid) pun berkelahi dengan Iblīs. Si ‘ālim (‘ābid) membantingnya dan menduduki dadanya. Maka Iblīs berkata: “Lepaskan aku. Biar aku bisa bicara denganmu.”
Si ‘ālim (‘ābid) pun berdiri meninggalkannya, lalu berkatalah Iblīs padanya: “Hai, sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajiban ini darimu dan tidak mewajibkannya atasmu. Engkau tak menyembahnya. Dan engkau tak wajib menyeru orang-orang selainmu. Allah mempunyai nabi-nabi di muka bumi. Kalaulah Dia menghendaki, tentu Dia akan utus mereka dan memerintahkan mereka menebangnya.”
Berkatalah si ‘ābid: “Aku harus menebangnya.”
Iblīs menyerangnya, namun si ‘abid mengalahkannya, membanting dan mendudukinya. Iblīs pun tak berkutik.
Iblīs lalu berkata kepadanya: “Maukah engkau mendapatkan sesuatu yang memisahkan aku dan engkau, dan lebih baik dan lebih berguna bagimu?”
“Apa itu?” jawab si ‘ābid.
“Lepaskan aku biar aku bisa mengatakannya padamu,” kata Iblīs.
Iblīs pun mengatakan: “Engkau ini orang miskin yang tak punya apa-apa. Engkau meminta-minta kepada orang-orang yang memberimu nafkah. Tidakkah engkau senang bila engkau bersedekah kepada saudara-saudaramu, membantu para tetanggamu, serta menjadi kenyang dan tidak bergantung pada orang-orang.”
“Ya,” jawab si ‘ābid.
Iblīs berkata: “Tinggalkan urusan ini dan aku akan menaruh dekat kepalamu setiap malam dua dinar. Setiap pagi engkau mengambilnya, lalu engkau beri nafkah buat dirimu, anak-anakmu, serta sedekah bagi saudara-saudaramu. Itu lebih berguna bagimu dan kaum muslimin daripada menebang pohon ini yang tertanam di tempatnya, yang tak merugikan ataupun bermanfaat buat mereka bila ditebang.”
Berpikirlah si ‘ābid tentang apa yang Iblīs katakan. Ia pun berpikir: memang benar pak tua ini. Aku bukanlah seorang nabi, yang harus menebang pohon ini. Tidak pula Allah memerintahkan aku untuk menebangnya, yang membuatku berdosa bila tak menebangnya. Apa yang ia sebutkan lebih banyak manfaatnya.
Si ‘ābid pun memintanya berjanji menepati imbalan itu dan bersumpah. Lantas kembalilah si ‘ābid ke tempat ibadahnya.
Keesokan paginya si ‘ābid mendapati dua dinar di dekat kepalanya. Ia pun mengambilnya. Demikian pula esoknya. Namun hari ketiga dan berikutnya ia tak mendapati apa-apa.
Ia pun marah, mengambil kampaknya dan menyandangnya di pundak.
Iblīs menyambutnya dalam rupa seorang tua. “Hendak ke mana engkau?” tanya Iblīs.
“Aku akan menebang pohon itu,” jawab si ‘ābid.
“Engkau bohong. Demi Allah engkau tak mampu melakukannya dan tidak ada jalan bagimu menujunya,” kata Iblīs.
Si ‘ābid pun mau membantingnya seperti sebelumnya pernah ia lakukan.
“Tak akan bisa,” kata Iblīs.
Iblīs malah memegang dan membanting si ‘ābid, hingga ia seperti burung di hadapan Iblīs. Iblīs pun menduduki dadanya, seraya berkata: “Berhentilah engkau dari perbuatan ini atau aku akan membunuhmu.”
Si ‘ābid tak lagi punya tenaga, dan berkata: “Engkau telah mengalahkanku. Lepaskan aku dan beri tahu aku bagaimana aku bisa mengalahkanmu dulu tapi kini engkau bisa mengalahkanku.”
Iblīs pun menerangkan: “Sebelumnya engkau marah karena Allah dan niatmu adalah akhirat, maka Allah menundukkanku di hadapanmu. Kali ini engkau marah karena dirimu dan dunia, maka aku berhasil menghajarmu.”
Hikayat ini senada dengan firman Allah: “Kecuali hamba-hambaMu yang mukhlas di antara mereka.” (al-Ḥijr: 40).
Ma‘rūf (al-Karkhī) pernah memukul dirinya sendiri seraya berkata: “Hai diri, ikhlaslah, agar aku selamat.”
Segala sesuatu yang bisa tercemari, jika bersih dan murni dari hal yang mencemari, maka disebut murni (khālish). Perbuatan membersihkan dan memurnikan ini disebut ikhlas.
Allah berfirman: “Di antara tahi dan darah, susu yang murni (khalis), yang mudah ditelan orang-orang yang meminumnya.” (al-Naḥl: 66)
Jika suatu perbuatan murni dari riyā’ dan karena Allah semata, maka perbuatan ini khālish (murni).
Al-Sūsī berkata: “Ikhlas itu berarti tak melihat ikhlas. Siapa yang menyaksikan ikhlas dalam ikhlasnya, maka ikhlasnya membutuhkan ikhlas (pemurnian).”
Sahl (at-Tustarī) ditanya: “Apa yang paling berat buat nafsu?” Sahl menjawab: “Ikhlas, sebab nafsu tak punya andil dalam ikhlas.”
Ia berkata: “Ikhlas adalah bila diam dan gerak hamba hanya demi Allah semata.”
Al-Junaid berkata: “Ikhlas berarti memurnikan amal dari kekeruhan-kekeruhan.”
Al-Fudhail berkata: “Meninggalkan suatu amal karena manusia adalah riyā’, dan mengerjakan suatu amal karena manusia adalah syirik, dan ikhlas ialah bila Allah membebaskan dari keduanya.”
Ada yang berkata: “Ikhlas itu murāqabah (pengawasan terus-menerus) dan melupakan segala kenikmatan.” Wallāhu a‘lam.”
Allah berfirman: “Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”
Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya kesungguhan itu mengantar ke kebajikan, dan kebajikan mengantar ke surga. Orang yang suka bersungguh-sungguh akan ditetapkan sebagai shiddīq di sisi Allah. Dan sesungguhnya dusta itu membawa ke kebejatan, dan kebejatan mengantar ke neraka. Orang yang suka berdusta akan ditetapkan sebagai pendusta di sisi Allah.”
Allah berfirman memuji Ibrāhīm: “Ceritakanlah dalam Kitāb ini kisah Ibrāhīm. Sungguh ia seorang shiddīq dan seorang nabi.” (Maryam: 41).
Kata shidq (kesungguhan) digunakan dalam enam hal: kesungguhan dalam perkataan (= jujur), kesungguhan dalam niat dan iradat (= tulus), kesungguhan dalam berkemauan (= penuh tekad), kesungguhan dalam menepati kemauan (= sungguh-sungguh), kesungguhan dalam berbuat, dan kesungguhan dalam merealisasikan semua ajaran agama. Siapa saja mempunyai semua kesungguhan ini, maka dialah shiddīq. Dan siapa yang mempunyai sebagian di antaranya, maka ia disebut shādiq. Wallāhu a‘lam.