Sunan Daraquthni 1 – Hukum Air yang Terkena Najis (1/41)

سُنَنُ الدَّارَقُطْنِيِّ
SUNAN AD-DĀRAQUTHNĪ
Oleh: Imam al-Hafizh ‘Ali bin ‘Umar ad-Daraquthni

Penerjemah: Amir Hamzah Fachrudin, Asep Saefullah, Hanif Yahya.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Sunan Daraquthni Kitab 1 Bab 1 - Hukum Air yang Terkena Najis

كِتَابُ الطَّهَارَةِ

KITAB THAHĀRAH (BERSUCI)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

قَالَ: أَخْبَرَنَا عَمُّنَا عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ الْقَادِرِ، قَالَ نا أَبُوْ بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ بَشْرَانَ، قَالَ:

(Perawi) mengatakan: Paman kami, ‘Abd-ur-Raḥmān bin Aḥmad bin ‘Abd-ul-Qādir mengabarkan kepada kami, ia mengatakan: Abū Bakar Muḥammad bin ‘Abd-ul-Mālik bin Basyrān memberitahukan kepada kami, ia mengatakan:

1 – بَابُ حُكْمِ الْمَاءِ إِذَا لَاقَتْهُ النَّجَاسَةُ

1. Bab Hukum Air yang Terkena Najis.

1 – 1 – حَدَّثَنَا الْإِمَامُ الْحَافِظُ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ مَهْدِيٍّ الدَّارَقُطْنِيُّ رَحِمَهُ اللهُ، ثنا الْقَاضِيْ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ، ثنا يَعْقُوْبُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ الدَّوْرَقِيُّ، ثنا أَبُوْ أُسَامَةَ (ح) وَ ثنا أَحْمَدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْمُعَلَّى نا أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنُ أَبِي السَّفَرِ، ثنا أَبُوْ أُسَامَةَ (ح) وَ ثنا أَبُوْ عَبْدِ اللهِ الْمُعَدَّلُ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ بِوَاسِطٍ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَادَةَ ثنا أَبُوْ أُسَامَةَ (ح) وَ ثنا أَبُوْ بَكْرٍ عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ النَّيْسَابُوْرِيُّ، ثنا حَاجِبُ بْنُ سُلَيْمَانَ، ثنا أَبُوْ أُسَامَةَ، قَالَ: ثنا الْوَلِيْدُ بْنُ كَثِيْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنِ الْمَاءِ يَكُوْنُ بِأَرْضِ الْفَلَاةِ وَ مَا يَنُوْبُهُ مِنَ السِّبَاعِ وَ الدَّوَابِّ، فَقَالَ: إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْءٌ.

1-1. Al-Imām al-Ḥāfizh Abul-Ḥasan ‘Alī bin ‘Umar bin Aḥmad bin Mahdī ad-Dāraquthnī raḥimahullāh menceritakan kepada kami, al-Qādhī Abū ‘Abdullāh al-Ḥusain bin Ismā‘īl menceritakan kepada kami, Ya‘qūb bin Ibrāhīm ad-Dauraqī menceritakan kepada kami, Abū Usāmah menceritakan kepada kami {h} dan Aḥmad bin ‘Alī bin al-Mu‘allā menceritakan kepada kami, Abū Usāmah menceritkan kepada kami {h} dan Abū ‘Abdullāh al-Mu‘addal Aḥmad bin ‘Amr bin ‘Utsmān menceritakan kepada kami di Wāsith, Muḥammad bin ‘Ubādah memberitahukan kepada kami, Abū Usāmah menceritakan kepada kami {h} dan Abū Bakar ‘Abdullāh bin Muḥammad bin Ziyād an-Naisābūrī menceritakan kepada kami, Ḥājib bin Sulaimān menceritakan kepada kami, Abū Usāmah menceritakan kepada kami, ia mengatakan: Al-Walīd bin Katsīr menceritakan kepada kami, dari Muḥammad bin Ja‘far bin az-Zubair, dari ‘Abdullāh bin ‘Abdillāh bin ‘Umar, dari ayahnya, ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. ditanya tentang air yang berada di tanah terbuka (tidak bertuan) yang biasa disinggahi oleh binatang buas dan binatang ternak, maka beliau bersabda: “Jika air itu mencapai dua qullah maka tidak dinajiskan oleh sesuatu pun.” (11).

Catatan:


  1. (1). Shaḥīḥ. H.R. Abu Daud (65); an-Nasa’i (1/46); Ibnu Majah (518); Al-Hakim (1/133); Ahmad (2/12); At-Tirmidzi (67); Al-Baihaqi (1/259-263); Asy-Syafi‘i di dalam Musnadnya (165); ‘Abd-ur-Razzaq (258) disertai tambahan – akan dikemukakan mendatang -; Ibnu Hibban (17 – Mawārid); Ibnu al-Jauzi di dalam at-Taḥqīq (1/34) dari jalur ‘Abd bin Humaid: Abu Usamah menceritakan kepada kami: Al-Walid bin Katsir menceritakan kepada kami. Haditsnya dinilai shaḥīḥ oleh al-Hakim, dan ia mengatakan: “Shaḥīḥ menurut syarat Imam al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya. Keduanya berargumentasi dengan semua perawi hadits ini namun tidak mengeluarkannya. Menurutku, wallāhu a‘lam, karena ada perbedaan pandangan terhadap Abu Usamah dan al-Walid bin Katsir.” Al-Hafizh menyebutkan di dalam Talkhīsh al-Ḥabīr (1/38) yang saya taḥqīq: Ibnu Mandah mengatakan: Isnadnya shaḥīḥ menurut syarat Muslim. Periwayatan hadits ini terfokus pada al-Walid bin Katsir sehingga dikatakan berasal darinya, dari Muhammad bin Ja‘far bin az-Zubair. Juga dikatakan darinya, dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja‘far, terkadang dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Umar, dan terkadang dari ‘Abdulah bin ‘Abdullah bin ‘Umar. Kenapa demikian? Jawabnya, bahwa ini bukan Iththirāb (kekacauan sanad) yang nyata, sebab dapat dimungkinkan bahwa semuanya terpelihara, yaitu berpindah dari yang tsiqah kepada yang tsiqah. Hasil penelitian menunjukkan: setelah diteliti, yang benar adalah riwayat al-Walid bin Katsir dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja‘far, dari ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin ‘Umar al-Mukabbar, dari Muhammad bin Ja‘far bin az-Zubair, dari ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin ‘Umar al-Mushaghghar. Adapun siapa saja yang meriwayatkan dari selain jalur ini, maka ia telah keliru. Sekelompok ahli ilmu telah meriwayatkan dari Abu Usamah, dari al-Walid bin Katsir melalui dua jalur, dan jalan yang ketiganya diriwayatkan oleh al-Hakim dan yang lainnya. Diriwayatkan juga dari jalur Hammad bin Salamah, dari ‘Ashim bin al-Mundzir, dari ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin ‘Umar, dari ayahnya. Ibnu Ma‘in pernah ditanya tentang jalur ini, ia pun mengatakan: “Isnād-nya bagus.” Lalu dikatakan kepadanya: “Ibnu ‘Aliyah tidak menjadikannya sebagai hadits marfū‘.” Ia pun mengatakan: “Walaupun tidak terpelihara dari Ibnu ‘Aliyah, namun hadits ini isnadnya bagus.” Ibnu ‘Abdil Barr di dalam at-Tamḥīd mengatakan: “Pendapat asy-Syafi‘i tentang hadits dua qullah adalah pendapat yang lemah dari sisi pengamatan dan atsarnya tidak valid. Karena hadits tersebut diperbincangkan oleh segolongan ahli ilmu, di samping bahwa ukuran pasti dua qullah itu sendiri tidak pernah dinyatakan oleh atsar maupun ijma‘.” Disebutkan di dalam al-Istidzkār: Hadits ini ma‘lūl (mengandung cacat tersembunyi). Isma‘il Qadhi menolaknya dan telah membicarakannya.” Ath-Thahawi mengatakan: “Kami tidak berdalil dengannya karena kadar dua qullah itu tidak valid.” Ibnu Daqiq al-‘Id mengatakan: “Hadits ini telah dianggap shaḥīḥ oleh sebagian mereka, dan dinilai shaḥīḥ oleh para ahli fikih. Sebab, walaupun isnadnya tampak kacau dan berbeda pada sebagian lafazhnya, namun hal itu telah terjawab dengan jawaban yang benar, yaitu dengan adanya kemungkinan untuk memadukan beberapa riwayat yang ada. Namun aku sendiri meninggalkannya, sebab menurutku riwayat itu tidak valid dengan jalur periwayatan yang tersendiri yang mengharuskan merujuk kepadanya secara syar‘i, yakni penentuan kadar dua qullah.” Saya katakan: Tampaknya ia mengisyaratkan pada apa yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dari hadits ‘Umar: “Apabila airnya mencapai dua qullah dari ukuran qullah suku Hajar, maka air itu tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu pun.” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi di dalam al-Kāmil, 6/3358]. Di dalam isnadnya terdapat al-Mughirah bin Shaqlab, haditsnya munkar. An-Nufaili mengatakan: “Ia tidak dipercaya dalam penyampaian hadits.” Ibnu ‘Adi mengatakan: “Rata-rata haditsnya tidak ada mutāba‘ahnya (penguatnya). Adapun yang dijadikan sandaran oleh asy-Syafi‘i adalah yang ia sebutkan di dalam al-Umm. Ringkasnya, setelah meriwayatkan hadits Ibnu ‘Umar ia mengatakan: “Muslim bin Khalid az-Zanji memberitahu kami, dari Ibnu Juraij dengan isnad yang tidak dapat aku sebutkan, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila airnya mencapai dua qullah, maka tidak mengandung najis.” Ia juga menyebutkan di dalam hadits ini redaksi: Dari qullah suku Hajar.” Ibnu Juraij mengatakan: “Aku pernah melihat qullah Hajar, satu qullah itu berisi dua qirbah (botol kulit) atau dua qirbah lebih sedikit.” Asy-Syafi‘i mengatakan: “Sebagai sikap kehati-hatian, satu qullah adalah dua setengah qirbah. Jadi, bila airnya sebanyak lima botol kulit, maka tidak mengandung najis, baik air itu di dalam kolam ataupun tempat lainnya. Qirbah Hijaz ukurannya besar, dan air yang mengandung najis tidak terdapat pada qirbah yang besar.” Sampai di sini ucapan asy-Syafi‘i [al-Umm, 1/37, cet. Dar al-Ghad al-‘Arabi]. Mengenai hal ini ada beberapa bahasan: Pertama: Penjelasan isnad yang tidak disinggung oleh asy-Syafi‘i. Kedua: Statusnya muttashil (bersambung) ataukah tidak. Ketiga: Keterkaitannya dengan qullah Hajar pada riwayat yang marfū‘. Keempat: Memastikan bahwa qirbah yang dimaksud adalah qirbah yang besar, bukan qirbah yang kecil. Kelima: Memastikan kadar qullah dengan melebihkan dari dua qirbah. Pembahasan Pertama: Tentang penjelasan isnad, yaitu yang diriwayatkan oleh al-Hakim Abu Ahmad dan al-Baihaqi dan yang lainnya dari jalur Abu Qurrah Musa bin Thariq, dari Ibnu Juraij, ia mengatakan: Muhammad mengabarkan kepadaku, bahwa Yahya bin ‘Aqil mengabarkan kepadanya, bahwa Yahya bin Ya‘mur mengabarkan kepadanya, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Apabila air mencapai dua qullah, maka tidak membawa najis dan tidak pula kotoran.” [Diriwayatkan oleh ‘Abd-ur-Razzaq di dalam Mushannaf-nya (258)]. Ia mengatakan: “Lalu aku tanyakan kepada Yahya bin ‘Aqil: “Qullah mana?” Ia menjawab: “Qullah Hajar”.” Muhammad mengataka: “Aku pernah melihat qullah Hajar, maka aku menduga bahwa setiap qullah mencapai dua qirbah.” Ad-Daraquthni mengatakan: Abu Bakar an-Naisaburi menceritakan kepada kami, Abu Humaid al-Mashishi menceritakan kepada kami, Hajjaj menceritakan kepada kami, Ibnu Jaraij [Di dalam as-Sunan disebutkan (dengan redaksi): Ibnu Juraij menceritakan kepada kami, akan dikemukakan pada hadits no. 28], seperti itu, yang mana di bagian akhirnya ia menyebutkan: “Lalu aku katakan kepada Yahya bin ‘Aqil: “Qullah Hajar?” Ia menjawab: “Qullah Hajar”. Maka aku menduga bahwa setiap qullah mencapai dua qirbah.” Al-Hakim Abu Ahmad mengatakan: “Muhammad, gurunya Ibnu Juraij adalah Muhammad bin Yahya, ia juga mempunyai riwayat dari Yahya bin Abu Katsir.” Saya katakan: Bagaimana pun, ia tetap majhūl (tidak dikenal). Pembahasan kedua: Penjelasan tentang isnadnya muttashil ataukah tidak. Telah tampak bahwa riwayat ini mursal. Karena Yahya bin Ya‘mur adalah seorang Tabi‘i Tabi‘in, dan kemungkinannya bahwa yang dimaksud mendengarnya itu adalah mendengar dari Ibnu ‘Umar, karena riwayat ini dikenal sebagai haditsnya Ibnu ‘Umar walaupun kemungkinan ada sahabat lainnya juga yang meriwayatkannya, namun Yahya bin Ya‘mur dikenal biasa membawakan haditsnya Ibnu ‘Umar. Ada perbedaan pada Ibnu Juraij, yang mana ‘Abd-ur-Razzaq meriwayatkannya di dalam Mushannaf-nya darinya, ia mengatakan: Disampaikan hadits kepadaku, bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Jika air mencapai dua qullah, maka tidak mengandung najis dan tidak pula kotoran.” Ibnu Juraij mengatakan: “Mereka menyatakan bahwa yang dimaksud adalah qullah Hajar.” ‘Abd-ur-Razzaq mengatakan: Ibnu Juraij berkata: “Orang yang mengabarkan kepadaku tentang qullah berkata: “Selanjutnya aku melihat qullah Hajar, maka aku memperkirakan bahwa setiap qullah mencapai dua qirbah.” Pembahasan Ketiga: Keterkaitannya dengan qullah Hajar tidak terdapat di dalam hadits yang marfū‘. Memang demikian, kecuali pada riwayat terdahulu dari al-Mughirah bin Shaqlab, dan telah dikemukakan bahwa itu tidak shaḥīḥ, namun pada sahabat asy-Syafi‘i menguatkan, bahwa yang dimuksud adalah qullah Hajar karena seringnya orang-orang ‘Arab menggunakan kalimat ini dalam sya‘ir-sya‘ir mereka, sebagaimana yang dikatakan Abu ‘Ubaidah di dalam kitab ath-Thuhūr. Keterikatan ini disebutkan di dalam hadits shaḥīḥ, al-Baihaqi menyebutkan: “Qullah Hajar cukup dikenal, karena itulah Rasulullah s.a.w. menyerupakan apa yang beliau lihat pada malam Mi‘raj pada tapal Sidrat-ul-Muntaha, yang mana dedaunannya seperti telinga-telingan gajah, sedangkan tapalnya seperti qilal (qullah-qullah/tempayan) Hajar.” Jika dikatakan: “Apa hubungannya penyerupaan ini dengan kadar qullah sebagai batasan jumlah air?” Jawabnya: “Keterkaitannya dengan kalimat tersebut yang juga disebutkan di dalam hadits Mi‘raj menunjukkan bahwa kalimat itu dikenal oleh mereka, sehingga dijadikan perumpamaan untuk sesuatu yang besar. Sebagaimana sesuatu yang terikat bila disebutkan secara mutlak (menjadi tidak terikat lagi), maka yang dimaksud adalah sesuatu yang terikat yang sudah dimaklumi itu.” Al-Azhari mengatakan: “Ada banyak qilal di desa-desa ‘Arab, sedangkan qilal Hajar adalah yang paling besar.” Al-Khaththab mengatakan: “Qilal Hajar bentuknya cukup dikenal, dan kadarnya cukup diketahui.” Qullah adalah lafazh yang mengandung banyak arti, setelah dikembalikan kepada salah satu pengertiannya, yaitu tempayan, maka tinggallah penyebutannya terulang antara yang besar dan yang kecil. Dalil yang menunjukkan bahwa itu yang berukuran besar adalah, karena syari‘at menjadikan “batasan” diukur dengan bilangan. Maka dengan demikian, jelaslah ia mengisyaratkan kepada yang paling besar, karena tidak ada gunanya bila ditafsirkan dengan dua qullah yang berukuran kecil padahal bisa diukur dengan satu ukuran yang besar. Wallāhu a‘lam. Dengan demikian sudah tercapai kesimpulan pembahasan keempat. Pembahasan Kelima: Memastikan kadar qullah dengan melebihkan dari dua qirbah. Mengenai hal ini, Ibnu al-Mundzir dari kalangan Syafi‘i dan Isma‘il al-Qadhi dari kalangan Maliki telah mengkritisi hal itu. Intinya, bahwa kesimpulan ini berdasarkan dugaan sebagian perawi, sedangkan dugaan itu tidak harus diterima, apalagi dari orang yang seperti Muhammad bin Yahya yang tidak diketahui identitasnya atau kredibilitasnya. Karena itulah pada ahli fikih dan ulama di seluruh negeri Islam tidak sepakat mengambil pembatasan ini. Sebagian mereka mengatakan: “Qullah itu bisa sebagai sebutan untuk kendi dan guci, baik besar maupun kecil.” Ada juga yang mengataka: “Qullah diambil dari kalimat istaqalla fulān bi jamalihi (fulan berangkat dengan untanya). Aqalla berarti mengangkut dan membawanya bila mampu. Ada juga yang mengatakan: “Diambil dari kalimat qullah jabal, yakni puncak bukit.” Jika ada yang mengatakan, bahwa yang utama adalah mengambil apa yang disebutkan oleh perawi hadits karena ia lebih mengetahui tentang apa yang diriwayatkannya, maka kami katakan: “Para perawi tidak menyepakati sesuatu mengenai ini. Ad-Daraquthni meriwayatkan dengan sanad shaḥīḥ dari ‘Ashim bin al-Mundzir, salah seorang perawi hadits ini juga, bahwa ia mengatakan: “Qilal adalah baskom yang besar”.” Ishaq bin Rahawaih mengatakan: “Satu khabiyah mencapai tiga qirbah.” Diriwayatkan dari Ibrahim, ia mengatakan: “Dua qullah adalah dua guci besar.” Diriwayatkan dari al-Auza‘i, ia mengatakan: “Qullah adalah apa yang diciduk tangan.” Yakni yang dapat diangkat oleh tangan. Al-Baihaqi mengeluarkan dari jalur Ibnu Ishaq, ia mengatakan: “Qullah adalah guci atau botol untuk mengambil air.” Abu ‘Ubaid dia dalam kitab ath-Thuhūr lebih cenderung kepada penafsiran ‘Ashim bin al-Mundzir, dan itu lebih utama. Ali bin al-Ja‘d meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: “Dua qullah adalah dua guci.” Ia tidak membatasinya dengan “yang besar”. Diriwayatkan juga dari ‘Abd-ur-Rahman bin Mahdi, Waki‘ dan Yahya bin Adam pendapat seperti itu. Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir dari at-Talkhīsh. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *