Shahih Ibnu Hibban no.29 – Pasal : Pendusta Bagi Orang Yang Menisbatkan Sesuatu Kepada Al-Mushthafā S.A.W. Tanpa Mengetahui Kebenarannya

Shahih Ibnu Hibban
(Judul Asli: Shaḥīḥu Ibni Ḥibbān bi Tartībi Ibni Balbān)
Oleh: Amri ‘Ala’uddin ‘Ali bin Balban al-Farisi

Penerjemah: Mujahidin Muhayan, Saiful Rahman Barito
Penerbit: Pustakan Azzam

Rangkaian Pos: Shahih Ibnu Hibban Kitab 1 Bab 3 - Pasal

رقم الحديث: 92
(حديث مرفوع) أَخْبَرَنَا عِمْرَانُ بْنُ مُوْسَى السِّخْتِيَانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “مَنْ حَدَّثَ حَدِيْثًا، وَ هُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذْبِيْنَ.”

  1. ‘Imrān bin Mūsā as-Sakhtiyānī mengabarkan kepada kami, dia berkata: ‘Utsmān bin Abī Syaibah menceritakan kepada kami, dia berkata: Wakī‘ menceritakan kepada kami, dia berkata: Syu‘bah menceritakan kepada kami, dari Ḥakam, dari ‘Abd-ur-Raḥmān bin Abī Lailā, dari Samurah bin Jundub, dia berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Siapa menceritakan sebuah hadits, sedang dia menduga (2401) bahwa itu dusta, maka dia adalah salah satu dari dua orang yang berdusta (aḥad-ul-kādzibaini).” (2412)

Catatan:

  1. (240). Yurā dengan dhammah yā’, dan artinya: menduga. Sebagian Imam membolehkan pem-fatḥah-annya, dan artinya: sedang dia mengetahui. An-Nawawī berkata: “Dan mungkin berarti menduga juga. Sebab, telah diriwayatkan ra’ā dengan arti zhanna (menduga). Dan dibatasi dengan itu, karena dia tidak berdosa kecuali dengan meriwayatkan apa yang diketahuinya atau diduganya sebagai dusta. Adapun apa yang tidak diketahuinya atau tidak diduganya, maka tidak ada dosa atasnya dalam meriwayatkannya, meskipun orang lain menduganya atau mengetahuinya sebagai dusta.” (Syarḥu Muslim, I/65). Sabda Nabi s.a.w.: “al-kādzibaini”. Di dalamnya terdapat dua riwayat: dengan fatḥah bā’ (al-kādzibain) sebagai bentuk mutsannā (menunjukkan dua orang), dan dengan kasrah-nya (al-kādzibīna) sebagai bentuk jama‘. Dan keduanya benar. Qādhī ‘Iyādh berkata: “Riwayat di dalamnya yang ada pada kami adalah al-kādzibīna, sebagai bentuk jama‘”. Sementara dalam kitabnya, al-Mustakhriju ‘alā Shaḥīḥi Muslim, pada hadits Samurah, Abū Nu‘aim al-Ashbahānī meriwayatkannya: Al-Kādzibaini, dengan fatḥah bā’ dan kasrah nūn, sebagai bentuk mutsannā, dan dia menjadikannya sebagai hujah bahwa orang yang meriwayatkan hadits tersebut bersekutu dengan orang yang memulai kebodohan ini. Kemudian Abū Nu‘aim meriwayatkannya dari riwayat Mughīrah: Al-Kādzibaini atau al-kādzibīna, dengan keraguan antara mutsanna dan jama‘. (Syarḥu Muslim, I/65).
  2. (241). Sanad-nya shaḥīḥ berdasarkannya syarat asy-Syaikhān. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Mukaddimah, bab Kewajiban meriwayatkan dari orang-orang tsiqah dan meninggalkan para pendusta; dan oleh Ibnu Mājah (39) dalam Mukaddimah, bab Orang yang menceritakan sebuah hadits dari Rasūlullāh s.a.w. sedang dia melihat bahwa itu dusta; dari Abū Bakar bin Abū Syaibah, dari Wakī‘, dengan sanad ini, dengan redaksi: “Barang siapa menceritakan sebuah hadits dariku.”Diriwayatkan oleh ath-Thayālisī (I/38), Aḥmad (V/14), Muslim, Ibnu Mājah (39), dan ath-Thahawī dalam Musykīl-ul-Atsar (I/175), melalui beberapa jalan dari Syu‘bah, dengan sanad ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *