Shahih Ibnu Hibban no.26 – Berpegang Teguh Pada Sunnah : Larangan Berbuat Bid’ah

Shahih Ibnu Hibban
(Judul Asli: Shaḥīḥu Ibni Ḥibbān bi Tartībi Ibni Balbān)
Oleh: Amri ‘Ala’uddin ‘Ali bin Balban al-Farisi

Penerjemah: Mujahidin Muhayan, Saiful Rahman Barito
Penerbit: Pustakan Azzam

Rangkaian Pos: Shahih Ibnu Hibban Kitab 1 Bab 2 - Berpegang Teguh Pada Sunnah

Larangan bagi Seseorang untuk Berbicara tentang Perkara-perkara Kaum Muslim, dengan Sesuatu yang Tidak Diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya

رقم الحديث: 62
(حديث مرفوع) أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيْهِ، أَنَّ رَجُلًا أَوْصَى بِوَصَايَا أَبَّرَهَا فِيْ مَالِهِ، فَذَهَبْتُ إِلَى الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَسْتَشِيْرُهُ، فَقَالَ الْقَاسِمُ سَمِعْتُ عَائِشَةَ، تَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ، فَهُوَ رَدٌّ.”

  1. Ḥasan bin Sufyān mengabarkan kepada kami, dia berkata: Muḥammad bin Khālid bin ‘Abdullāh menceritakan kepada kami, dia berkata: Ibrāhīm bin Sa‘d menceritakan kepada kami, dari bapaknya, bahwa seorang laki-laki mewasiatkan beberapa wasiat yang diberlakukannya pada hartanya (abarrahā fī mālihi). (2351) Maka aku pergi kepada Qāsim bin Muḥammad untuk meminta pendapatnya. Qāsim pun berkata: Aku mendengar ‘Ā’isyah berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: Barang siapa membuat hal-hal baru dalam agama kita ini yang tidak berasal darinya, (2362)maka dia ditolak (fa huwa raddun). (2373).

Catatan:

  1. (235). Dalam at-Taqāsimu wal-Anwā’ (III/lembaran 207): “Atsarahā min mālihi (ditetapkannya dari hartanya).” Dan dalam riwayat al-Ismā‘īlī: “Atsaratan min mālihi (sebagai perbuatan terpuji dari hartanya).” Lihat al-Fatḥ (V/302).
  2. (236). Redaksi Muslim: “Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak berdasarkan agama kita….
  3. (237). Muḥammad bin Khālid bin ‘Abdullāh – dan dia adalah al-Wāsithī ath-Thaḥḥān – dinilai dha‘īf oleh lebih dari satu orang. Tapi dia disepakati oleh Muḥammad bin Shabbāḥ ad-Dūlābī (dalam meriwayatkan hadits ini), sebagaimana dalam riwayat selanjutnya, dan ad-Dūlābī tsiqah; serta oleh ath-Thayālisī, Ya‘qūb, dan lainnya dalam riwayat al-Bukhārī, Muslim, dan Abū Dāūd.Diriwayatkan oleh al-Ismā‘īlī melalui Muḥammad bin Khālid al-Wāsithī, dengan sanad ini. Dan di dalamnya: “Bahwa seorang laki-laki dari keluarga Abū Jahal,” sebagaimana dinukilkan oleh al-Ḥāfizh dalam al-Fatḥ (V/302). Al-Ḥāfizh berkata: “Dan ini adalah kesalahan. Yang benar dia berasal dari keluarga Abū Lahab,” sebagaiman dijelaskan oleh riwayat ‘Abd-ul-Wāḥid bin Abī ‘Aun dalam kitab as-Sunnah karya Abū Ḥusain bin Ḥamīd.”Diriwayatkan oleh Aḥmad (VI/73), Muslim dalam Shaḥīḥ-nya (1718, 18), al-Bukhārī dalam Khalqu Af‘āl-il-‘Ibād (hlm. 43), dan Abū ‘Awānah (VI/18 dan 19), melalui ‘Abdullāh bin Ja‘far az-Zuhrī, dari Sa‘d bin Ibrāhīm, dia berkata: Aku bertanya kepada Qāsim bin Muḥammad tentang seorang laki-laki yang memiliki tiga tempat tinggal, lalu dia mewasiatkan sepertiga dari masing-masing rumahnya itu. Dia berkata: “Semua itu dikumpulkan dalam satu rumah.” Kemudian dia berkata: ‘Ā’isyah memberitahukan kepadaku bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: ……

    Redaksi hadits ini tanpa cerita sebelumnya diriwayatkan oleh ath-Thayālisī (1422). Dan melalui ath-Thayālisī, diriwayatkan oleh Abū ‘Awānah (IV/17), dari Ibrāhīm bin Sa‘d, dengan sanad ini.

    Diriwayatkan oleh Aḥmad (VI/240 dan 270); al-Bukhārī (2697) dalam kitab Perdamaian, bab Apabila mereka sepakat untuk berdamai dengan kezhaliman maka perdamaian tersebut batal; Muslim (1718, 17) dalam kitab Kasus-kasus, bab Penghapusan hukum-hukum yang batal dan penolalan perkara-perkara yang diada-adakan; Abū Dāūd (4606) dalam kitab Sunnah, bab Menetapi Sunnah; Ibnu Mājah (14) dalam Mukaddimah, bab Mengagungkan hadits Rasūlullāh s.a.w. dan kecaman bagi orang yang menentangnya; ad-Dāruquthnī (IV/224, 225, dan 227); al-Baihaqī dalam as-Sunan (X/119); al-Qudhā’ī dalam Musnad-usy-Syihāb(350, 360, dan 361); Abū ‘Awānah (IV/18); dan al-Baghawī dalam Syarḥ-us-Sunnah (103); melalui beberapa jalan dari Ibrāhīm bin Sa‘d, dengan sanad ini.

    Diriwayatkan oleh Ibnu Abī ‘Āshim dalam as-Sunnah (52 dan 53) melalui dua jalan dari Ibrāhīm bin Sa‘d, dengan redaksi ini.

    Para ahli bahasa ‘Arab mengatakan bahwa radd di sini berarti mardūd (ditolak). Artinya: maka dia batal, tidak berlaku.

    Hadits ini adalah kaidah besar di antara kaidah-kaidah Islam, dan merupakan sebagian dari jawāmi‘-ul-kalim Rasūlullāh s.a.w. Hadtis ini sangat jelas dalam menolak setiap bid‘ah dan temuan-temuan. Dalam riwayat: “Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak berdasarkan agama kita, maka dia ditolak,” terdapat tambahan. Yaitu bahwa kadang sebagian dari orang-orang yang mengerjakan bid‘ah yang sebelumnya telah dikerjakan oleh orang lain akan menentang. Apabila dia dibantah dengan riwayat pertama, maka dia akan berkata: “Aku tidak mengada-adakan sesuatu.” Oleh karena itu, dia dibantah dengan riwayat kedua yang di dalamnya terdapat pernyataan jelas tentang penolakan setiap yang diada-adakan, baik diada-adakan oleh pelaku maupun diada-adakan oleh orang sebelumnya.

    Hadits ini adalah salah satu yang harus dihapal, diterapkan dalam menghapuskan kemunkaran-kemunkaran, dan disebarluaskan penggunaannya sebagai dalil. Lihat Syarḥu Muslim (XII/16).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *