Shahih Ibnu Hibban no.18 – Berpegang Teguh Pada Sunnah : Penjelasan bahwa Larangan dan Perintah dari al-Mushthafā shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah Fardhu atas Umat Beliau Sesuai Dengan Kemampuan Serta Tidak Boleh Meninggalkannya.

Shahih Ibnu Hibban
(Judul Asli: Shaḥīḥu Ibni Ḥibbān bi Tartībi Ibni Balbān)
Oleh: Amri ‘Ala’uddin ‘Ali bin Balban al-Farisi

Penerjemah: Mujahidin Muhayan, Saiful Rahman Barito
Penerbit: Pustakan Azzam

Rangkaian Pos: Shahih Ibnu Hibban Kitab 1 Bab 2 - Berpegang Teguh Pada Sunnah

رقم الحديث: 81
(حديث مرفوع) أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ الْحُبَابِ الْجُمَحِيُّ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، وَ سُفْيَانَ، عَنِ ابْنِ عَجْلَانَ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، قَالَ: “ذَرُوْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلُكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ، وَ اخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، مَا نَهِيْتُكُمْ عَنْهُ، فَانْتَهُوْا، وَ مَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ، فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ”، قَالَ ابْنُ عَجْلَانَ: فَحَدَّثْتُ بِهِ أَبَانَ بْنَ صَالِحٍ، فَقَالَ لِيْ: مَا أَجْوَدَ هذِهِ الْكَلِمَةَ قَوْلَهُ: “فَأْتُوْا مَنَهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.”

  1. Fadhl bin Ḥubāb al-Jumaḥī mengabarkan kepada kami: Ibrāhīm bin Basysyār menceritakan kepada kami: Sufyān menceritakan kepada kami, dari Abuz-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah; dan Sufyān dari Ibnu ‘Ajlān, dari bapaknya, dari Abū Hurairah, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: Peganglah apa yang telah aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian karena banyak pertanyaan dan perselisihan mereka dengan nabi-nabi mereka. Apa yang aku larang terhadap kalian, maka tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. (2141).

Ibnu ‘Ajlān berkata: Aku menceritakan hadits ini kepada Abān bin Shāliḥ. Maka dia berkata kepadaku: “Alangkah bagusnya kalimat ini, yaitu sabda beliau: Maka kerjakanlah semampu kalian.

 

Catatan:

  1. (214). Sanad-nya shaḥīḥ. Para periwayatnya adalah para periwayat al-Bukhārī dan Muslim, kecuali Ibrāhīm bin Basysyār ar-Ramādī, dan dia adalah seorang al-Ḥāfizh yang shaḥīḥ. Abuz-Zinād adalah ‘Abdullāh bin Dzakwān, dan al-A‘raj adalah’Abd-ur-Raḥmān bin Hurmūz.Diriwayatkan oleh Muslim (1337, IV/1831) dalam kitab Keutamaan-keutamaan, bab Mengagungkan Nabi s.a.w. dan meninggalkan banyak bertanya kepada beliau tentang apa yang tidak dibutuhkan. Dari Ibnu Abī ‘Umar; dan oleh al-Baghawī (I/99) melalui asy-Syāfi‘ī. Keduanya dari Sufyān bin ‘Uyainah, dari Abuz-Zinād, dengan sanad ini.

    Diriwayatkan oleh Aḥmad (II/258) dari Yazīd, dari Muḥammad, dari Abuz-Zinād, dengan redaksi ini.

    Diriwayatkan oleh asy-Syāfi‘ī (I/15) dan Aḥmad (II/247) dari Sufyān bin ‘Uyainah, dari Muḥammad bin ‘Ajlān, dengan sanad ini.

    Diriwayatkan oleh Aḥmad (II/428 dan 517) melalui dua jalur dari Ibnu ‘Ajlān, dengan redaksi ini.

    Diriwayatkan oleh Muslim (1337) dalam kitab Hajji, bab Fardhu haji sekali seumur hidup; Aḥmad (II/447, 448, 457, dan 508); an-Nisā’ī (V/110 dan 111); ad-Dāruquthnī (II/181); Ibnu Khuzaimah (2508); dan al-Baihaqī (IV/326); melalui Muḥammad bin Ziyād, dari Abū Hurairah.

    Diriwayatkan oleh Muslim (1337), Ibnu Mājah (1 dan 2), Aḥmad (II/495), dan at-Tirmidzī (2679), melalui al-A‘masy, dari Abū Shāliḥ, dari Abū Hurairah.

    Diriwayatkan oleh ‘Abd-ur-Razzāq dalam al-Mushannaf (20372) dari Ma‘mar, dari az-Zuhrī, dari Abū Hurairah.

    Diriwayatkan oleh Aḥmad (II/482) melalui Hilāl bin ‘Alī, dari ‘Abd-ur-Raḥmān bin Abī ‘Amrah, dari Abū Hurairah.

    Penulis akan menyebutkannya setelahnya dengan nomor (19) melalui Mālik, dari Abuz-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah; dan dengan nomor (20) dan (21) melalui ‘Abd-ur-Razzāq, dari Ma‘mar, dari Hammām, dari Abū Hurairah. Dan takhrīj masing-masing jalan akan disebutkan pada tempatnya. Hadits ini dijadikan dalil atas perhatian syariat terhadap larangan-larangan yang lebih besar daripada perhatiannya terhadap perintah-perinta. Sebab, Nabi s.a.w. memutlakkan usaha meninggalkan larangan-larangan meskipun disertai dengan beban dalam meninggalkannya, dan membatasi pelaksanaan perintah-perintah sebatas kemampuannya. Lihat Syarḥu Muslim (IX/101 dan 102) dan Fatḥ-ul-Bārī (XIII/261 dan 262).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *