Shahih Ibnu Hibban no.10 – Berpegang Teguh Pada Sunnah (8/25)

Shahih Ibnu Hibban
(Judul Asli: Shaḥīḥu Ibni Ḥibbān bi Tartībi Ibni Balbān)
Oleh: Amri ‘Ala’uddin ‘Ali bin Balban al-Farisi

Penerjemah: Mujahidin Muhayan, Saiful Rahman Barito
Penerbit: Pustakan Azzam

Rangkaian Pos: Shahih Ibnu Hibban Kitab 1 Bab 2 - Berpegang Teguh Pada Sunnah

Pemberitahuan Tentang Kewajiban Seseorang Untuk Menjaga Penerapan Sunnah Dalam Perbuatannya dan Menjauhi Setiap Bid‘ah yang Bertentangan Dengan Sunnah.

Hadits No 10

رقم الحديث: 01
(حديث مرفوع) أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ الْمَوْصِلِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ، وَ عَلَا صَوْتُهُ، وَ اشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ نَذِيْرُ جَيْشٍ، يَقُوْلُ: صَبَّحَكُمْ وَ مَسَّاكُمْ، وَ يَقُوْلُ: “بُعِثْتُ أَنَا وَ السَّاعَةِ كَهَاتَيْنِ” يُفَرِّقُ بَيْنَ السَّبَّابَةِ وَ الْوُسْطَى، وَ يَقُوْلُ: “أَمَّا بَعْدَ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَ خَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَ إِنَّ شَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ”، ثُمَّ يَقُوْلُ: “أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ، مَنْ تَرَكَ مَالًا، فَلِأَهْلِهِ، وَ مَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيْعَةً فَإِلَيَّ وَ عَلَيَّ”.

  1. Aḥmad bin ‘Alī bin Mutsannā mengabarkan kepada kami, dia berkata: Aḥmad bin Ibrahim al-Maushilī menceritakan kepada kami, dia berkata: ‘Abd-ul-Wahhāb ats-Tsaqafī menceritakan kepada kami, di berkata: Ja‘far bin Muḥammad menceritakan kepada kami, dari bapaknya, dari Jābir, di berkata: Apabila Rasūlullāh s.a.w. berkhutbah, kedua mata beliau memerah, suara beliau meninggi, dan kemarahan beliau memuncak, seolah-olah beliau adalah seorang pemberi peringatan akan (serangan) suatu pasukan. Dan beliau bersabda: “Pasukan itu akan menyerang kalian pada pagi hari dan pada sore hari.” Beliau bersabda: “(Masa) pengutusanku dengan hari kiamat ibarat dua jari ini.” Beliau merenggangkan jari telunjuk dan jari tengah. Beliau bersabda:‘Amma ba‘du. Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitab Allah dan sebai-baik petunjuk (al-Hadyi) adalah petunjuk (hadyu) (1991) Muḥammad. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan di antaranya. Dan setiap bid‘ah adalah sesat.” Kemudian beliau bersabda: “Aku lebih utama bagi setiap mu’min daripada dirinya sendiri. Siapa meninggalkan harta, maka itu adalah untuk keluarganya. Dan siapa meninggalkan hutang dan dhai‘atan (2002), maka itu adalah urusanku dan tanggunganku.” (2013).

Catatan:

  1. (199). An-Nawawī berkata: “Yaitu dengan dhammah hā’ dan fatḥah dāl (hudā) dalam keduanya, dan dengan fatḥah hā’ dan sukūn dāl (hadyu) juga. Kita mengharakatinya dengan dua bentuk ini.” Qādhī ‘Iyādh berkata: “Kita meriwayatkannya dalam Shaḥīḥ Muslim dengan dhammah, sementara dalam riwayat lainnya dengan fatḥah.” Dengan fatḥah disebutkan oleh al-Harawī. Dan al-Harawī menafsirkannya, berdasarkan riwayat fatḥah, dengan lafazh ath-Thauruq (jalan). Maksudnya: “Aḥsanu thurūq tharuq muḥammad,” (Sebaik-baik jalan adalah jalan Muḥammad). Dikatakan: Fulān ḥasan al-hadyi, artinya: Fulan bagus aliran dan mazhabnya. Di antaranya: “Ikutilah petunjuk (bi hadyi) ‘Ammār.” Adapun berdasarkan riwayat dhammah, maka maknanya adalah prtunjuk dan arahan. Lihat perincian berharga tentang makna-makna hudā/hadyu dalam kitab al-Mufradātu fī Gharīb-il-Qur’ān karya Rāghib al-Ashfahānī.
  2. (200). Dalam riwayat Muslim dan lainnya: dhayā’an. Dikataka: “Dhā’a – yadhī’u – dhai’anwa dhai’atan – wa dhayā’an,” artinya dan rusak. Dan: “Dhā’a asy-syai’u,” artinya: Sesuatu itu menjadi terabaikan. Dhai’ah dan dhayā’ disebutkan dengan arti keluarga. Ibnu Qutaibah berkata: “Yang dimaksud adalah meninggalkan anak-anak dan keluarga yang memiliki potensi untuk binasa. Dengan demikian, ini adalah mashdar yang ditempatkan pada posisi isim.” Ibnu Atsīr berkata: “Sebagaimana kamu berkata: “Siapa mati dan meninggalkan kemiskinan,” yakni orang-orang yang miskin.”
  3. (201). Sanad-nya shaḥīḥ. Aḥmad bin Ibrāhīm al-Maushilī adalah orang yang shadūq. Dan sisa sanad-nya sesuai dengan syarat Muslim. ‘Abd-ul-Wahhāb ats-Tsaqafī adalah ‘Abd-ul-Wahhāb bin ‘Abd-il-Majīd bin Shalt ats-Tsaqafī. Meskipun dia berubah tiga tahun sebelum kematiannya, hanya saja keluarganya mengurungnya pada masa pikunnya itu, sehingga tidak diriwayatkan sesuatu pun darinya. Hadits ini ada dalam Musnad Abī Ya‘lā. (2111).Diriwayatkan oleh Muslim (867, 43) dalam kitab Jumat, bab Meringankan Shalat dan Khuthbah; Ibnu Mājah (45) dalam Mukaddimah, bab Menjauhi Bid‘ah dan Perdebatan; dan al-Baihaqī dalam as-Sunan (III/206); melalui beberapa jalur periwayatan dari ‘Abd-ul-Wahhāb ats-Tsaqafī, dengan sanad ini.Diriwayatkan oleh Aḥmad (III/310, 338, dan 371); Muslim (867), (44 dan 45); an-Nasā’ī (III/188) dalam kitab Shalat, bab Tata Cara Khuthbah, dalam kitab Ilmu dari al-Kubrā, sebagaimana juga dalam at-Tuḥfah (II/274), dan dia menambahkan: “Dan setiap kesesatan itu ada di dalam neraka;” Ar-Ramahurmuzī dalam al-Amtsāl (hlm. 19); dan al-Baghawī (4295); melalui jalur Sufyān dan Sulaimān bin Bilāl, dari Ja‘far bin Muḥammad, dengan redaksi ini. Dan Ibnu Khuzaimah mengganggapnya shaḥīḥ (1785).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *