Himpunan Fadhilah Amal (Fadhilah Qur’an) – Bab I – Hadits ke-9

Himpunan Fadhilah Amal
Syaikh Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi Rah.a.
Penerjemah:
Ust. A. Abdurrahman Ahmad
Ust. Ali Mahfudzi
Ust. Harun Ar-Rasyid
Penerbit : Ash-Shaff
Yogyakarta

Rangkaian Pos: Fadhilah Al Qur'an

Hadits ke-9

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ، قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ ، يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْوَارْتَقِ وَرَشِلُ كَمَا كُنتَ تُرَتِلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا. (رواه أحمد والترمذي وأبوداود والنسائي وابن ماجه وابن حبان في صحيحه)

Dari Abdullah bin Amr rhuma, Rasulullah saw bersabda, “Akan dikatakan kepada ahli Al-Qur’an (pada hari Kiamat), bacalah dan teruslah naik, bacalah dengan tartil seperti kamu membacanya ketika di dunia. Sesungguhnya tempatmu adalah di akhir ayat yang kamu baca.” (Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).

Faedah

Maksud ‘ahli Al-Qur’an’ adalah hafizh Al-Qur’an. Mulla Ali Qari rah.a. menjelaskan bahwa keutamaan itu hanya diberikan kepada hafizh Al-Qur’an, tidak termasuk orang yang membaca Al-Qur’an dengan melihat. Alasannya adalah: pertama, karena lafazh itu ditujukan kepada ahli Al-Qur’an. Kedua, sesuai dengan riwayat Imam Ahmad raha, yaitu:

حَتَّى يَقْرَأَ شَيْئًا مَعَهُ

Sehingga ia membaca sesuatu yang bersamanya.” Kalimat ini cenderung ditujukan kepada hafizh Al-Qur’an, meskipun ada kemungkinan orang yang selalu membaca Al-Qur’an juga dapat termasuk di dalamnya. Disebutkan di dalam Mirqaat bahwa hadits ini tidak berlaku bagi pembaca Al-Qur’an yang dilaknat Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan hadits yang menyebutkan bahwa banyak orang yang membaca Al-Qur’an, tetapi Al-Qur’an melaknatnya. Oleh sebab itu, banyaknya membaca Al-Qur’an yang dilakukan oleh orang yang berakidah menyimpang bukan suatu dalil bahwa ia adalah orang yang diterima di sisi Allah. Banyak hadits semacam ini yang membicarakan tentang kaum Khawarij.

Dan mengenai tartil’, Syaikh Abdul Aziz (Nawwarullahu Marqadahu) menulis di dalam tafsirnya bahwa arti asal ‘tartil’ ialah membaca dengan terang dan jelas. Sedangkan secara syar’i yaitu membaca Al-Qur’an dengan tertib seperti di bawah ini:

1. Setiap huruf mesti diucapkan dengan makhraj yang benar, sehingga ط (tha) tidak dibaca (ta), dan ض (dhad) tidak dibaca (zha’).

2. Berhenti di tempat yang benar, sehingga ketika memutuskan atau melanjutkan bacaan tidak dilakukan di tempat yang salah.

3. Membaca semua harakat dengan benar, yakni menyebut fathah, kasrah, dan dhammah dengan perbedaan yang jelas.

4. Mengeraskan suara sampai terdengar oleh telinga kita, sehingga Al-Qur’an dapat mempengaruhi hati.

5. Memperindah suara agar timbul rasa takut kepada Allah swt., sehingga mempercepat pengaruhnya ke dalam hati. Orang yang membaca dengan rasa takut kepada Allah swt., hatinya akan lebih cepat terpengaruh serta menguatkan ruhani dan berkesan mendalam di hati kita. Menurut para ahli pengobatan, jika ingin agar obat lebih cepat berpengaruh ke hati, dan sebaiknya obat itu dicampur dengan wewangian. Obat dapat lebih cepat berpengaruh ke lever jika dicampur rasa manis, karena lever menyukai yang manis. Oleh sebab itu saya berpendapat, jika seseorang memakai wewangian saat membaca Al-Qur’an, akan lebih menguatkan kesan di hatinya.

6. Membaca dengan sempurna dan jelas semua tasydid dan madnya. Jika membaca dengan lebih jelas, maka akan menimbulkan keagungan Allah serta mempercepat masuknya kesan ke dalam hati kita.

7. Memenuhi hak ayat-ayat rahmat dan ayat-ayat adzab, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.

Itulah tujuh hal yang dimaksud dengan tartil. Dan tujuan dari semua itu adalah satu, yaitu agar dapat memahami dan meresapi kandungan Al-Qur’an. Seseorang bertanya kepada Ummul-Mukminin, Ummu Salamah r.ha., “Bagaimanakah Rasulullah saw. membaca Al- Qur’an?” Jawabnya, “Beliau menunaikan semua harakatnya; fathah, dhamah, dan kasrah dibaca dengan sangat jelas. Juga setiap hurufnya dibaca dengan terang dan jelas.”

Membaca dengan tartil itu mustahab, walaupun tidak dipahami artinya. Ibnu Abbas rhuma berkata, “Membaca surat Al-Qaari’ah dan Idza zulzilat dengan tartil lebih baik bagiku daripada membaca Al-Baqarah atau Ali Imran tanpa tartil. Alim ulama menjelaskan maksud hadits di atas, bahwa membaca Al-Qur’an huruf demi huruf akan menaikkan pembacanya setingkat demi setingkat, sehingga diriwayatkan bahwa derajat surga sama dengan derajat Al-Qur’an. Oleh sebab itu, bagi ahli membaca Al-Qur’an, setinggi itu pula derajatnya di surga nanti. Dan orang yang terpandai dalam Al-Qur’an, dialah yang tertinggi derajatnya. Mulla Ali Qari rah.a. menulis bahwa tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada derajat orang yang suka membaca Al-Qur’an. Pembaca Al-Qur’an senantiasa meningkat derajatnya sesuai bacaannya.

Allamah Dani rah.a. berkata, alim ulama telah sepakat bahwa ada enam ribu ayat lebih dalam Al-Qur’an, namun mereka berbeda pendapat tentang jumlah selebihnya. Ada yang menyebutkan 6204 ayat, 6014 ayat, 6019 ayat, 6025 ayat, 6036 ayat. Dalam Syarah Ihya ditulis bahwa setiap ayat bernilai satu derajat di surga, sehingga dikatakan kepada pembaca Al- Qur’an, “Derajatmu di surga sebanyak ayat yang kamu baca.” Barangsiapa yang membaca seluruh ayat Al-Qur’an, ia akan mencapai darajat tertinggi di surga. Dan barangsiapa yang jarang membaca Al-Qur’an, maka derajatnya sebatas bacaannya itu. Singkatnya, ketinggian derajat seseorang bergantung pada banyaknya bacaannya

Menurut pendapat saya, hadits di atas juga mengandung penafsiran lain:

فَإِنْ كَانَ صَوَابًا فَمِنَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ خَطَأً فَمِني وَمِنَ الشَّيْطَانِ وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْهُ
بَرِيْئانِ

Apabila (tafsiran saya) ini betul, maka itu berasal dari Allah. Dan jika salah, maka itu berasal dari diri saya sendiri dan dari syaitan. Allah dan Rasul-Nya terbebas darinya.

Kenaikan derajat dalam hadits di atas bukan bermaksud bahwa membaca satu ayat Al-Qur’an akan dinaikkan satu derajat, sebab jika demikian, hubungan antara membaca dengan tartil dan tanpa tartil tidak dapat dimengerti, sehingga dipahami bahwa baik dengan tartil ataupun tidak, jika membaca satu ayat Al-Qur’an, derajatnya akan dinaikkan satu tingkat.

Sebenarnya, hadits ini menunjukkan satu peningkatan yang berbeda, yaitu peningkatan menurut cara membacanya, sehingga ada pemisah antara bacaan tartil dan tanpa tartil. Oleh sebab itu, barangsiapa membaca Al-Qur’an dengan tartil ketika di dunia ini, dengan tartil itulah ia akan membacanya di akhirat, sehingga ia memperoleh ketinggian derajat yang sesuai. Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan sebuah hadits, “Barangsiapa sering membacanya di dunia, maka di akhirat ia akan dapat mengingatnya. Dan jika di dunia ia tidak membacanya, maka ia tidak akan dapat mengingatnya di akhirat.

Semoga Allah swt. memberikan kemurahan-Nya kepada kita. Banyak di antara kita yang orangtuanya bergairah agar anak-anaknya menghafal Al-Qur’an, namun karena ketidaktawajuhan dan karena kesibukan dunia, hafalan tersebut menjadi lupa dan sia-sia. Sedangkan di sisi lain, beberapa hadits menyebutkan bahwa barangsiapa berusaha menghafal Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh dan susah payah, lalu ia meninggal dunia, maka Allah swt. akan membangkitkannya dalam golongan para huffazh. Kemurahan Allah swt. sungguh tidak berkurang jika kita berusaha memperolehnya. Seorang penyair berkata: “Wahai syahid, kemurahan-Nya untuk semua. Engkau tidak akan menolak kemurahan ini, jika engkau benar-benar pantas.