Hadits ke-8
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ : ثَلَاثٌ تَحْتَ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ القُرْآنُ يُحَاجُّ الْعِبَادَ لَهُ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَالْأَمَانَةُ وَالرَّحِمُ تُنَادِي أَلَا مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللهُ (شرح السنَّة).
Dari Abdurrahman r.a., dari Nabi saw., “Tiga hal yang akan berada di bawah Arsy Ilahi pada hari Kiamat: (1) Al Qur’an yang akan membela hamba Allah. la memiliki zhahir dan batin, (2) Amanah, (3) Silaturrahmi yang akan berseru, “Ingat, siapa yang menghubungkan aku, Allah swt. akan menghubunginya. Dan siapa yang memutuskanku, Allah akan memutuskannya.” (Dari Syarhus Sunnah).
Faedah
Maksud Tiga hal yang akan berada di bawah Arsy’ adalah kesempurnaan kedekatan kepada Allah, yaitu sangat dekat dengan Arsy Allah swt.. Maksud ‘membela hamba Allah’ adalah orang yang memuliakan Al-Qur’an, menunaikan hak-haknya, mengamalkan isinya. Al-Qur’an pasti akan membelanya di hadapan Allah swt., dan akan mensyafaatinya serta menaikkan derajatnya.
Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan dari Tirmidzi bahwa Al Qur’an akan memohon kepada Allah swt agar memberikan pakaian kepada orang yang menunaikan hak-hak Al Qur’an, maka Allah memberinya mahkota kemuliaan. Kemudian Al Qur’an meminta tambahan lagi, lalu Allah mengaruniakan kepadanya seluruh pakaian kemuliaan. Al Qur’an pun berkata, “Ya Allah, ridhailah ia,” maka Allah swt pun menyatakan keridhaan-Nya kepadanya.
Jika kita memperoleh ridha dari orang yang kita cintai di dunia ini, rasanya tidak ada kenikmatan yang lebih besar daripada itu. Demikian juga di akhirat, kenikmatan manakah yang dapat mengalahkan ridha Allah swt., Kekasih kita? Dan mereka yang tidak memenuhi hak hak Al-Qur’an, Al-Qur’an akan menuntutnya, “Apakah engkau sudah menghormatiku? Apakah engkau sudah menunaikan hak hakku?” Tertulis di dalam Syarah Ihya bahwa hak Al Qur’an adalah dikhatamkan dua kali dalam setahun. Maka mereka yang melalaikan Al Qur’an hendaknya memikirkan masalah ini, yakni bagaimanakah kita menjawab tuntutan yang sekeras ini? Padahal maut itu pasti datang, dan tidak ada tempat untuk lari darinya.
Adapun maksud ‘ia memiliki zhahir dan batin’, zhahir maksudnya adalah makna Al Qur’an yang dapat dipahami oleh semua orang. Dan batin maksudnya adalah makna Al-Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh semua orang. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa berpendapat sendiri tentang isi Al-Qur’an, maka ia telah melakukan kesalahan walaupun pendapatnya itu benar.” Sebagian ulama berkata bahwa maksud ‘zhahir Al-Qur’an’ adalah lafazh-lafazh Al-Qur’an yang dapat dibaca oleh semua orang. Sedangkan batin Al-Qur’an adalah makna atau tujuan Al-Qur’an yang dapat dipahami menurut keahlian masing-masing.
Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Jika kita ingin memperoleh ilmu, pikirkanlah dan renungkanlah makna-makna Al-Qur’an, karena di dalamnya terkandung ilmu orang-orang dahulu dan sekarang. Namun untuk memahaminya, kita mesti menunaikan syarat dan adab-adabnya terlebih dahulu.” Jangan seperti pada zaman kita sekarang ini. Hanya bermodalkan pengetahuan tentang beberapa lafazh bahasa Arab, bahkan sekadar melihat terjemahan Al-Qur’an, seseorang berani berpendapat mengenai Al-Qur’an. Alim ulama berkata, “Dalam menafsirkan Al-Qur’an diperlukan keahlian dalam lima belas bidang ilmu.” Saya akan meringkas kelima belas ilmu tersebut semata-mata agar diketahui bahwa tidak mudah setiap orang dapat memahami makna batin Al-Qur’an ini.
1. Ilmu Lughat (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata Al-Qur’an. Mujahid rah.a. berkata, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidaklah cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jika hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja i’rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i’rab hanya didapat dalam ilmu nahwu.
3. Ilmu Sharaf (perubahan bentuk kata). Mengetahui ilmu sharaf sangat penting karena perubahan sedikit bentuk suatu kata akan mengubah maknanya. Ibnu Faris berkata, Jika seseorang tidak mendapatkan ilmu sharaf, berarti ia telah kehilangan banyak sekali.” Dalam Ujubatut- Tafsir, Syaikh Zamakhsyari rah.a. menulis bahwa ada seseorang yang menerjemahkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
يَوْمَ نَدْعُوكُلَّ أَنَاسِ بِاِمَامِهِمْ (الإسراء : ٧١)
“(Ingatlah) pada suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya.” (QS. Al-Isra’: 71). Karena ketidaktahuannya dalam ilmu sharaf, ia telah mengartikan ayat tersebut seperti ini: “Pada hari ketika manusia dipanggil dengan ibu-ibu mereka.” la mengira bahwa kata ‘imam’ (pemimpin) adalah bentuk mufrad (tunggal), sebagai jama’ dari kata ‘umm’ (ibu). Jika ia memahami ilmu sharaf, tidak mungkin ia akan mengartikan ‘imam’ sebagai ibu-ibu.
4. Ilmu Isytiqaq (akar kata). Mengetahui ilmu isytiqaq sangatlah penting. Dengan ilmu tersebut dapat diketahui asal-usul kata. Ada beberapa kata yang berasal dari dua kata yang berbeda, sehingga berbeda makna. Seperti kata ‘masih’ berasal dari kata ‘masah’ yang artinya menyentuh atau menggerakkan tangan yang basah ke atas, atau juga berasal dari kata ‘masahat’ yang berarti ukuran.
5. Ilmu Ma’ani (susunan). Ilmu ini sangat penting diketahui. Dengannya, susunan kalimat dapat diketahui dengan melihat maknanya.
6. Ilmu Bayaan, yakni ilmu yang mempelajari makna kata yang zhahir dan yang tersembunyi, juga mempelajari kiasan serta permisalan kata.
7. Ilmu Badi’, yakni ilmu yang mempelajari keindahan bahasa. Ketiga bidang ilmu di atas juga disebut sebagai cabang ilmu balaghah, yang sangat penting dimiliki oleh para ahli tafsir Al-Qur’an adalah mukjizat yang agung. Dengan ilmu-ilmu di atas, kemukjizatan Al Qur’an dapat diketahui.
8. Ilmu Qira’at. Ilmu ini sangat penting dipelajari, karena perbedaan bacaan dapat mengubah makna ayat. Ilmu ini membantu menentukan makna paling tepat di antara makna makna suatu kata.
9. Ilmu Aqa’id. Ilmu yang sangat penting dipelajari ini mempelajari dasar-dasar keimanan. Kadangkala ada satu ayat yang arti zhahirnya tidak mungkin diperuntukkan bagi Allah swt. Untuk memahaminya diperlukan takwil ayat itu, seperti ayat:
يدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ( الفتح ١٠)
“Tangan Allah di atas tangan mereka.” (Qs Al Fath: 10).
10. Ilmu Ushul Fiqih. Mempelajari ilmu ushul-fiqih sangat penting. Dengan ilmu ini dapat diambil dalil serta penggalian hukum suatu ayat.
11. Ilmu Asbabun Nuzul. Ilmu untuk mengetahui sebab-sebab turunnya ayat Al Qur’an. Dengan mengetahui sebab-sebabnya, kadangkala maksud suatu ayat bergantung pada pengetahuan tentang asbabun-nuzulnya.
12. Ilmu Nasikh-Mansukh. Dengan ilmu ini dapat dipelajari suatu hukum yang sudah dihapus dan hukum yang masih tetap berlaku.
13. Ilmu Fiqih. Ilmu ini sangat penting dipelajari. Dengan menguasai hukum-hukum yang rinci akan mudah mengetahui hukum global.
14. Ilmu Hadits. Ilmu untuk mengetahui hadits-hadits yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
15. Ilmu Wahbi. Ilmu khusus yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang istimewa, sebagaimana sabda Nabi saw:
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَّثَهُ اللَّهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمُ .
“Barangsiapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang tidak ia ketahui.”
Juga sebagaimana dalam riwayat, ketika Ali ra. ditanya oleh seseorang: “Apakah Rasulullah telah memberimu suatu ilmu atau nasihat khusus yang tidak diberikan kepada orang lain?” la berkata, “Demi Allah, demi Yang menciptakan surga dan jiwa. Aku tidak memiliki sesuatu yang khusus kecuali pemahaman Al-Qur’an yang Allah berikan kepada hamba-Nya.” Ibnu Abi Dunya rah.a. berkata, “Ilmu Al-Qur’an dan pengetahuan yang didapat darinya seperti lautan yang tak bertepi.”
Ilmu-ilmu yang telah diterangkan di atas adalah alat bagi para mufassir Al-Qur’an. Seseorang yang tidak memiliki ilmu-ilmu tersebut lalu menafsirkan Al-Qur’an, berarti ia telah menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, yang larangannya telah disebutkan dalam banyak hadits. Para sahabat telah memperoleh ilmu bahasa Arab secara turun temurun, dan ilmu lainnya mereka dapatkan melalui cahaya Nubuwah.
Imam Suyuthi rah.a. berkata, “Mungkin kalian berpendapat bahwa ilmu Wahbi itu berada di luar kemampuan manusia. Padahal tidak demikian, karena Allah sendiri telah menunjukkan caranya, misalnya dengan mengamalkan ilmu yang dimiliki dan tidak mencintai dunia.”
Tertulis dalam Kimiaus-Sa’adah bahwa ada tiga orang yang tidak akan mampu menafsirkan Al Qur’an:
(1) Orang yang tidak memahami bahasa Arab,
(2) Pelaku dosa besar atau ahli bid’ah, yang dengan perbuatannya itu menjadikan hatinya gelap dan menutupi pemahamannya terhadap Al Qur’an,
(3) Orang yang dalam akidahnya hanya mengakui makna zhahir nash. Jika ia membaca ayat-ayat Al Qur’an yang tidak sesuai dengan pola pikirnya, ia akan gelisah. Orang seperti ini tidak akan mampu memahami Al-Qur’an dengan benar.
Ya Allah, lindungilah kami dari mereka.