Hati Senang

Asbab-ul-Wurud (Kitab I) No.1-2 – Nabi & Penjaga Surga, Nabi Manusia Biasa

Cover Buku Asbab-ul-Wurud - ad-Damsyiqi
ASBAB-UL-WURUD Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-hadits Rasul Oleh: Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Damsyiqi   Diterjemahkan oleh: H.M. Suwarta Wijaya, B.A. Drs. Zafrullah Salim Penerbit: KALAM MULIA.

HAMZAH – ALIF

1. NABI MUḤAMMAD DAN PENJAGA SURGA.

1. آتَى بَابَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَسْتَفْتِحُ فَيَقُوْلُ: الْخَازِنُ مَنْ أَنْتَ؟ فَأَقُوْلُ: مُحَمَّدٌ فَيَقُوْلُ بِكَ أُمِرْتُ أَنْ لَا أَفْتَحَ لِأَحَدٍ قَبْلَكَ.

Artinya:

Aku nanti akan datang ke sebuah pintu surga pada hari kiamat mohon agar pintu itu dibuka; maka akan berkatalah seorang penjaga: “Siapa kau?” Aku akan menjawab: “Muḥammad?” Penjaga itu akan berkata: “Demi engkau, aku diperintah agar aku tidak membukanya untuk siapapun sebelum engkau.

Diriwayatkan oleh:

Imām Aḥmad dan Muslim dari Anas bin Mālik. Hadits ini bagian akhir dari “Ḥadīts Syafā‘at” yang secara lengkap ditulis Imām Aḥmad dalam “Musnad”-nya. Menurut al-Bulqainī, Ḥadīts Syafā‘at merupakan sabab-ul-wurud dari Hadits yang berbunyi: “Aku penghulu anak-cucu Ādam.”

Sabab-ul-Wurūd:

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asākir dalam “Tārīkh”-nya dari Ibnu ‘Abbās sebagaimana diungkapkan dalam kitab “al-Jāmi‘-ul-Kabīr”, bahwa Rasūlullāh telah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah telah memiliki aku, ‘Alī bin Abī Thālib, Hamzah bin ‘Abd-il-Muththalib dan Ja‘far bin Abī Thālib, ketika kami tidur di Abthah dengan hanya berselimut baju masing-masing. ‘Alī di sebeleh kananku, Ja‘far di sebelah kiriku dan Hamzah di dekat kakiku. Tiba-tiba aku terbangun oleh kepakan sayap malaikat. Dia adalah Jibrīl bersama tiga malaikat lainnya. Salah seorang di antara mereka bertanya: “Hai Jibrīl, kepada siapa di antara keempat orang ini engkau diutus?” Maka Jibrīl menyetuh aku dengan kakinya seraya berkata: “Kepada orang ini, dia penghulu anak-cucu Ādam.” Kembali malaikat itu bertanya: “Siapa dia?” Jawab Jibrīl: “Dia Muḥammad bin ‘Abdillāh, penghulu seluruh Nabi. Dan ini ‘Alī bin Abī Thālib dan yang ini Hamzah bin ‘Abd-il-Muththalib penghulu syuhada’, kemudian yang ini adalah Ja‘far yang akan diberi dua sayap untuk terbang dalam surga sekehendaknya.

Keterangan:

        1. Jannah” (surga) mashdar dari kata “janna” artinya “satara”, menutupi. Jadi jannah (surga) adalah taman yang ditutupi perpohonan, disebut juga “Dār-uts-Tsawāb”, negeri pahala.
        2. Abthah” asal maknanya semua tempat yang luas. Maksudnya sebuah tempat di Makkah, letaknya antara Jabal Nūr dan Hajwān.
        3. Kisah serupa diriwayatkan pula dari Ḥadīts Ya‘qūb bin Sufyān, tapi di dalamnya ada orang bernama ‘Ubayah bin Rubu‘ī yang oleh adz-Dzahabī dalam kitabnya “Mīzān-ul-I‘tidāl” dijelaskan bahwa ‘Ubayah bin Rubu‘ī dari sekte Syī‘ah, ia seorang yang dha‘īf.

2. NABI MUḤAMMAD MANUSIA BIASA.

2. آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ وَ أَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ.

Artinya:

Aku makan sebagaimana makannya manusia biasa dan aku duduk sebagaimana duduknya manusia biasa.

Diriwayatkan oleh:

Ibnu Sa‘ad dan Imām Hadits Yang Empat (Abū Dāūd, Tirmidzī, an-Nasā’ī, Ibnu Mājah), oleh Abū Ya‘lā dan al-Ḥākim dari ‘Ā’isyah. Telah meriwayatkannya pula al-Baihaqī dari Yaḥyā bin Katsīr secara mursal dengan tambahan (yang artinya): “maka hanyalah aku ini manusia biasa.”

Ḥammād meriwayatkan pula dari ‘Amru bin Qarah dengan tambahan (yang artinya): “Demi Yang diriku berada digenggaman-Nya, seandainya dunia ini ditimbang di sisi Allah dengan sayap seekor lalat, niscaya dia tidak memberi minum seorang kafir walau dengan segelas air.

Sabab-ul-Wurūd:

Kata ‘Ā’isyah, Rasūlullāh telah bersabda kepadanya: “Hai ‘Ā’isyah, jika aku mau niscaya bukit emas itu berjalan bersamaku. Telah datang kepadaku seorang malaikat, katanya: “Tuhanmu mengucapkan salam kepadamu dan menawarkan, jika engkau mau, engkau dapat menjadi seorang Nabi dan Raja Diraya atau jika engkau mau, engkau tetap menjadi manusia biasa. Dia mengisyaratkan kepada Jibrīl agar berbuat sesuatu untuk dirimu”. Maka aku jawab: “Aku pilih menjadi Nabi dan manusia biasa.” Sejak itu (kata ‘Ā’isyah) Rasūlullāh tidak makan bersandar (seperti Raja) tetapi beliau makan seperti manusia biasa.

Keterangan:

          1. Abul-Ḥusain al-Muqrī dalam kitab “asy-Syamā’il” meriwayatkan Hadits yang serupa dari Anas bin Mālik: “Adalah Rasūlullāh s.a.w. jika duduk di waktu makan beliau menekuk lututnya yang kiri dan menegakkan yang kanan. Kata beliau: “Aku hanyalah seorang hamba Allah, manusia biasa. Aku makan seperti makannya manusia biasa dan aku bekerja seperti manusia biasa.” Tetapi Syaikh Waliyuddīn al-‘Irāqī menilai isnad Hadits ini dha‘īf.
          1. Al-Bazzār meriwayatkannya melalui Ibnu ‘Umar tanpa kata “ajlisu”.
          1. Imām Aḥmad meriwayatkan di dalam “az-Zuhud” dari ‘Athā’ Ibnu Abī Rabah dan dari al-Ḥasan sesuai menurut matan Hadits di atas.
            1. Hadits ini menerangkan bahwa Rasūlullāh di waktu makan, beliau duduk dengan sopan, merendah dari tanda syukur kepada Allah, ridha dengan rizki yang ada. Berakhlak dengan akhlak-akhlak ‘ubūdiyyah adalah sifat manusiawi yang paling mulya.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.