Asbab-ul-Wurud (Kitab I) No.15 s.d 16 – Rezeki

ASBAB-UL-WURUD
Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-hadits Rasul
Oleh: Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Damsyiqi

 
Diterjemahkan oleh: H.M. Suwarta Wijaya, B.A.
Drs. Zafrullah Salim
Penerbit: KALAM MULIA.

    1. REZEKI SEORANG MU’MIN.

أَبَى اللهُ أَنْ يَرْزُقَ عَبْدَهُ الْمُؤْمِنَ إِلَّا مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ.

Artinya:

 

Allah enggan memberi rizki seorang hambanya yang beriman kecuali dari arah yang tidak terduga-duga.

Diriwayatkan oleh:

Ad-Dailamī dari Abū Hurairah, oleh al-Baihaqī di dalam “asy-Syu‘ab”, oleh al-Ḥākim di dalam “Tārīkh”-nya dari ‘Alī dan oleh al-Qudhā’ī di dalam kitab asy-Syihāb dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya, dari kakeknya.

Sabab-ul-Wurūd:

Telah berkumpul Abū Bakar, ‘Umar, ‘Alī, berembuk membicarakan sesuatu. Berkatalah ‘Alī kepada mereka: “Marilah kita tanyalah hal ini kepada Rasūlullāh s.a.w. Ketika mereka sampai di hadapan beliau, berkatalah ‘Alī: “Ya Rasūlallāh, kami datang kepadamu untuk menanyakan sesuatu”. Kata Rasūlullāh: Jika kalian mengingini tanyakanlah dan akan kuterangkan kepada kalian tentang maksud kedatangan kalian. Bukankah kalian datang untuk menanyakan rizki, dari mana dan bagaimana datangnya?” Mereka semua mengiyakan. Maka bersabdalah Rasūlullāh: “Allah enggan memberi rezki…. dan seterusnya”. Al-‘Askarī telah meriwayatkan Hadits yang serupa, dengan lafal yang agak berbeda: “Allah enggan memberikan rizkinya kepada orang beriman kecuali dari arah yang tidak mereka duga”. Hadits ini di-dha’īf-kan oleh al-Munawī, Ibnu Ḥibbān dan al-‘Irāqī. Bahkan dinilai maudhū‘ (palsu) oleh Ibn-ul-Jauzī. Namun penyusun kitab “Kasyf-ul-Iltibās” membantah kepalsuan Hadits tersebut sebab masalah itu juga termaktub dalam al-Qur’ān: “Barang siapa taqwa kepada Allah, Dia akan menunjukkan jalan keluar kepadanya dan akan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak terduga.” (ath-Thalāq: 3).


  1. MULAILAH DARI DIRIMU.

اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِذِيْ قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِيْ قَرَابَتِكَ فَهكَذَا.

Artinya:

Mulailah dari dirimu, bersedekahlah engkau kepadanya. Maka apabila ada kelebihan, bersedekahlah kepada keluarga terdekat. Bila masih ada kelebihan, bersedekahlah kepada karib-kerabat, demikiankah seterusnya.

Diriwayatkan oleh:

An-Nasā’ī dari Jābir bin ‘Abdillāh al-Anshārī. Isnadnya shaḥīḥ, oleh sebab itu as-Suyūthī memasukkannya ke dalam Hadits-hadits Shaḥīḥ.

Sabab-ul-Wurūd:

Jābir telah menjelaskan, Hadits ini timbul berkenaan dengan seorang laki-laki telah memerdekakan seorang hamba setelah hamba itu meninggal. Maka datanglah Rasūlullāh, bertanya kepadanya: “Apakah engkau mempunyai harta yang lain?” Jawab orang itu: “Tidak”. Rasūlullāh bersabda: siapa yang mau membelinya daripadaku?” Maka Na‘īm al-‘Udzrī membelinya seharga 800 dirham kemudian Rasūlullāh menyerahkan uang tersebut kepada orang laki-laki tersebut seraya berkata: “Mulailah dari dirimu…. dan seterusnya”.

Muslim telah meriwayatakannya lengkap dengan sabab-ul-wurūd-nya di dalam Shaḥīḥ-nya dari Jābir dalam kitab zakat yang menerangkan tentang nafkah yang harus dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga kemudian karib-kerabat.

Sedikit ada keganjilan dari as-Suyūthī yaitu di dalam kitab “Jāmi‘”-nya ia telah meriwayatkan Hadits ini dari Muslim tetapi ia tidak menyebutkan takhrīj-Muslim-nya. Ada kemungkinan ia lupa sebab tidak disebut manusia jika tak pernah lupa tetapi ilmu ibarah laut yang tidak bertepi.

Riwayat lain yang berbunyi (artinya): “Mulai dari yang membutuhkan”, dicantumkan oleh as-Suyūthī di dalam “Jāmi‘”-nya berdasarkan yang diriwayatkan ath-Thabrānī di dalam kitab al-Kabīr. Kemudian al-Munawī dan al-Qudhā’ī telah menambahkan, keduanya memperoleh riwayat dari Ḥakīm bin Ḥazam. Kata al-Munawī: “Penyusunnya telah mengisyaratkan ke-shaḥīḥ-an Hadits tersebut tidak sebagaimana yang dikatakan oleh pen-takhrīj-nya padahal kata al-Haitsamī di dalamnya ada orang bernama Abū Shāliḥ (pembantu Ḥakīm) dan aku tidak mendapatkan keterangannya.”

Hadits serupa telah diriwayatkan pula oleh Muslim di dalam kitab Shaḥīḥ-nya yang tidak diperlukan keterangan lain untuk meng-ḥasan-kan dan men-shaḥīḥ-kannya. Lafal Hadits tersebut terdapat pula pada Hadits tentang “Sebaik-baik Shadaqah adalah dari seorang yang kaya dan memulai memberikannya kepada yang membutuhkannya”, diriwayatkan oleh al-Bukhārī dari Abū Hurairah.

Sabab-ul-Wurūd Hadits mengeani Shadaqah yang diriwayatkan al-Bukhārī ini adalah: Bahwa Ḥakīm bin Ḥazam telah bertanya kepada Rasūlullāh: “Ya Rasūlallāh yang mana yang paling utama?” Jawab beliau: “Shadaqah yang dimulai memberikannya kepada yang membutuhkan.

Keterangan:

Hadits ini menerangkan tentang keharusan memberikan sedekah kepada yang membutuhkan lebih dahulu. Mungkin diri sendiri sebagai tanda syukur kepada nikmat Allah. Jika masih ada kelebihan barulah kepada keluarga yang di bawah tanggungjawabnya dalam hal penafkahannya, kemudian jika masih ada kelebihan hendaknya sedekahkan kepada karib-kerabat lainnya. Dan yang dimaksud “fa hākadzā”, demikian seterusnya, adalah isyarat Rasūlallāh agar memperbanyak sedekah jenisnya maupun arah sasarannya.

Di dalam riwayat lain berbunyi (artinya): “Mulai dari dirimu, jika lebih, kepada keluargamu yakni istrimu, kemudian kepada kerabat.”