582. MAYIT DISIKSA KARENA RATAP TANGIS KELUARGANYA
٥٨٢ – اِنَّ المَيْتَ لَيُعَذِّبُ بِبُكَاءِ اَهْلِهِ عَلَيْهِ.
Sesungguhnya mayit itu pasti disiksa karena ratap tangis keluarganya atas (kematian)nya.
Diriwayatkan oleh Syaikhan dari Umar bin Khattab.
Sababul wurud
Aisyah pernah menceritakan ucapan Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa mayit disiksa karena ratap tangis keluarganya, yang menurutnya ucapan itu berasal dari Rasulullah SAW. Lalu Aisyah berkata: “Semoga Allah mengampuni ayah Abdur Rahman (panggilan Umar), karena dia tidak berdusta malainkan akulah yang lupa dan khilaf. Menurut riwayat lain, bahwa Rasulullah SAW bertemu dengan kuburan seorang wanita Yahudi yang sedang diratapi oleh keluarganya. Maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya mereka meratapi mayatnya, dan sesungguhnya mayatnya disiksa di kuburnya.” (Riwayat Muttafaqun ‘alaih).
Ada lagi riwayat lain dari Aisyah: “Semoga Allah merahmati Umar, tidak demi Allah tiadalah Rasulullah mengabarkan tentang Allah menyiksa orang mukmin karena ratap tangis keluarganya. Dan riwayat dengan lafaz seperti itu terdapat dalam Shahih Muslim, tetapi dengan bunyi ujung kalimat “libukai hayyin” (karena ratap tangisnya orang yang hidup atas kematian mait itu), Bukhari Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu Mulaikah, dari Ibnu Umar, yang di dalam bagian akhir dari teksnya mengungkapkan ucapan Aisyah: “Demi Allah tiadalah Rasulullah SAW mengabarkan bahwa orang mukmin disiksa karena ratap tangis keluarganya, akan tetapi Rasulullah SAW bersabda: “Akan bertambah siksaan untuk orang kafir karena ratap tangis keluarganya karena kematiannya.”
Keterangan
Meratapi mayat dan mencabik-cabik baju di dada termasuk perbuatan orang-orang jahiliah, sebagaimana tergambar dalam sya’ir Tharfah ibnu Abad:
Bila aku mati, ratapilah mayatku karena aku adalah berhak atas ratap itu
Robeklah baju di dada hai Ummu Ma’bad.
Boleh jadi maksud larangan tersebut karena mayat merasa terusik mendengar tangis orang ketika dia menghadapi sakratul maut. Keluarga dan orang-orang yang hadir berteriak-teriak di sekitarnya dan meratapinya, seperti ayah merasa terganggu karena tangis anaknya. Maka mendengar tangis bagi orang yang meninggal adalah siksaan itu sendiri sebagaimana dimaksud oleh hadits tersebut di atas. Dengan begitu hadits ini tidak bertentangan dengan bunyi ayat: “Walaa taziru waaziratun wizra ukhraa” (Tidaklah orang dapat memikul beban (dosa) orang lain). Wallahu a’lam.