Asbab-al-Wurud (Kitab II) No.563 s.d. 564 – Kesucian Air

ASBAB-UL-WURUD
Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-hadits Rasul
Oleh: Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Damsyiqi

 
Diterjemahkan oleh: H.M. Suwarta Wijaya, B.A.
Drs. Zafrullah Salim
Penerbit: KALAM MULIA.

563. AIR ITU SUCI

٥٦٣ – إنَّ الماءَ طَهُورٌ لا يُبْخَسُهُ شَيءَ

Sesungguhnya air itu suci, tidaklah sesuatu menajiskannya.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Ashabus sunan selain Ibnu Majah, Daruquthni, dan al Baihaqi dari Said al Khudhri, Ibnu Majah, Daruquthni, dan al Baihaqi dari Said al Khudhri.

Sababul wurud

Said al Khudhri meriwayatkan: “Aku pernah berjumpa dengan Nabi SAW, yang sedang berwudhu di pinggir telaga Bidha’ah. Lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah engkau berwudhu dengan air telaga Bidha’ah, yang digunakan orang untuk membuang sobekan pembersih darah haid, airnya berbau, dan ada di dalamnya bangkai serigala? Maka beliau menjawab: Sesungguhnya air itu suci, tidaklah sesuatu menajiskannya.”

Keterangan

Bidha’ah itu sebuah telaga tua di Medinah, tempat membuang kain kotor bekas haidh, airnya bau karena bangkai binatang dibuang orang ke sana. Pengertian “tidaklah sesuatu menajiskannya” ialah kalau tidak berubah warna, rasa atau baunya. Ulama Syafi’iyah berpendapat, air itu tetap bersih kalau jumlahnya banyak. Jumlah banyaknya itu menurut syarat yang mereka tetapkan – adalah mencapai ukuran dua qulah Hajar. Qulah Hajar itu berasal dari Bahrain dan digunakan orang di Medinah. Satu qulah Hajar isinya sama dengan 446 liter Mesir atau 5 girban Hijaz. Air yang sedikit menurut paham ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah tetap tidak bersih karena terkena najis, meskipun tidak berubah warnanya. Sedangkan Malik dan Ahmad dalam salah satu dari dua fatwanya, demikian pula pendapat sejumlah ulama Hambali memandang bahwa air itu tetap suci kalau terjatuh najis ke dalamnya sepanjang tidak berubah warnanya baik air itu sedikit maupun banyak. Wallahu a’lam (Subulus Salam I: 17).

Demikian pula komentar pengarang Ibanatul Ahkam, Sayid Alawy al Maliki (salah seorang ulama Mekkah). Diriwayatkan sebuah hadits lain dari Abu Umamah: “Innal maa’a thahuurun, laa yunajjisuhu syai’un illaa maa ghalaba ‘alaa riihihi wa tha’mihi wa launihi” (Sesungguhnya air itu suci, tidaklah sesuatu menajiskannya, kecuali mengalahkan baunya, rasanya, dan warnanya).


564. AIR JANABAH

٥٦٤ – إِنَّ الماءَ لَا يُجنب

Sesungguhnya air itu tidaklah memindahkan (hukum) janabah.

Ditakhrijkan oleh Imam Ahmad, Ashabus Sunan, Ibnu Khuzaimah, Darimi, Ibnu Hibban, Hakim dan Baihaqi dari Ibnu Abbas r.a. Turmudzi berkata: “Hadits ini shahih”. Hakim dan Ibnu Khuzaimah juga menshahihkannya.

Sababul wurud

Menurut keterangan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas: “Beberapa orang isteri Nabi SAW sedang mandi di Jafnah. Lalu Nabi datang ke sana juga hendak mandi atau hanya untuk berwudhu. Salah seorang mereka berkata: “Wahai Rasululah, aku ini sedang berjunub.” Lalu Nabi menjawab, bahwa air (yang digunakan untuk mandi janabah) tidaklah memindahkan janabah (air bekas dipakai orang junub tidak membuat orang jadi terkena kotoran junub juga-ed.).