Asbab-al-Wurud (Kitab I) No.66 dan 67 – Serpihan Nikmat Allah Dan Keutamaan Shalawat

ASBAB-UL-WURUD
Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-hadits Rasul
Oleh: Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Damsyiqi

 
Diterjemahkan oleh: H.M. Suwarta Wijaya, B.A.
Drs. Zafrullah Salim
Penerbit: KALAM MULIA.

66. SERPIHAN NIKMAT ALLAH

٦٦- أَحْسِنُوا جِوَارَ نِعَمِ اللَّه لَا تُنَفِّرُوْهَا فَقَلَّمَا زَالَتْ عَنْ قَوْمٍ فَعَادَتْ إِلَيْهِمْ .

Artinya:

“Berlaku baiklah kalian kepada serpihan nikmat-nikmat Allah, jangan kalian menyia-nyiakannya. Jika ia hampir hilang dari suatu kaum, maka ia kembali kepada mereka”.

Diriwayatkan oleh: Ulama Hadits yang Empat, Ibnu Adi, Al Baihaqi semuanya meriwayatkannya dari hadits Utsman bin Mathar dari Tsabit dari Anas bin Malik. Utsman bin Mathar menurut mereka seorang yang dha’if. Al Baihaqi meriwayatkan dalam “As Syi’ib” dari Hadits Al Walid bin Muhammad Al Muqri dari Zuhri dari Urwah, dari Aisyah. Menurut Al Baihaqi, Al Muqri seorang yang dha’if. Kata Al Baihaqi, ‘Atha bin Ismail Al-Makhzumi dari Hisyam dari Aisyah.

Al Munawi menerangkan bahwa Al Baihaqi menilai bahwa Hisyam juga seorang yang dha’if.

Sababul wurud:

Aisyah berkata: “Rasulullah telah datang kepadaku. Beliau melihat sepotong pecahan kue lalu beliau mengambilnya, mengusapnya dan memakannya kemudian beliaupun bersabda: “Berlaku baiklah kalian kepada serpihan (dan seterusnya)”. Dalam “Kasyful Iltibasy” dijelaskan Hadits ini timbul atas suatu sebab. Jika Hadits ini dianggap dha’if maka yang menjadi sebab itupun dha’if sebab ada kaitannya. Oleh sebab itu tidaklah layak untuk ditetapkan kegugurannya hadits tersebut. Dalam Kitab itu termuat pula penolakan terhadap Ibnul Jauzi di waktu dia memasukkannya ke dalam kelompok Hadits mau’dhu’ (palsu).

Hadits ini menganjurkan agar kita berlaku baik terhadap serpihan nikmat-nikmat Allah dengan cara memeliharanya dan mensyukurinya sebagaimana firman Allah: “Jika kalian bersyukur pasti akan Aku tambah nikmat itu. .” (Ibrahim: 7). Mensyukuri nikmat dengan cara berbuat baik kepada karib kerabat, kepada orang-orang yang mem-butuhkan dan memelihara harta kekayaan untuk tidak digunakan hal-hal yang tidak ada faedahnya. Al Ghazali berkata: “Perkara yang sangat berat adalah menghina setelah memulyakan, berpisah setelah bertemu dan hilangnya nikmat dari suatu kaum lantaran mereka tidak berlaku baik bertahap serpihan nikmat kemudian mereka harapkan nikmat itu kembali kepada mereka”.

67. KEUTAMAAN SHALAWAT ATAS NABI

 ٦٧ – أَحْسَنْتَ يَا عُمَرُ حِينَ وَجَدْتَنِي سَاجِدًفَتَنَحَّيْتَ عَنِّى إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَقَالَ : مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ مِنْ أُمَّتِكَ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا وَرَفَعَهُ بِهَا عَشْرَ دَرَجَاتٍ .

Artinya:

Bagus kau, ya Umar, di saat engkau menemui saya, saya sedang sujud dan engkau menjauhkan diri. Sesungguhnya malaikat Jibril telah datang kepadaku seraya berkata: “Barangsiapa di antara umatmu bershalawat kepadaku satu shalawat, Allah bershalawat kepadanya sepuluh dan mengangkatnya sepuluh derajat.

Diriwayatkan oleh At Thabrani dalam “Al Ausath” dan Ad Dhiya dalam Al-Mukhtarah”, dari Umar.

Sababul wurud:

Kata Umar: “Telah keluar Rasulullah SAW untuk suatu keperluan dan tidak ada seorangpun yang mengikutinya. Umar merasa khawatir kemudian ia menyusulnya dengan membawa kulit (bejana) tempat bersuci. Umar mendapatkan Rasululah SAW tengah sujud dikamarnya. Lantas Umar menjauhi diri dibelakangnya sehingga Rasulullah muncul, kemudian bersabda: “Bagus engkau hai Umar (dan seterusnya)”.

Keterangan:

Hadits ini menerangkan tentang keutamaan bacaan shalawat sebagaimana dianjurkan Al Quran.