Al-Mu’jam-ash-Shaghir – Yang Bernama Ahmad (54-55/100): Larangan (Melintasi Orang Shalat) Dan Bebaskan (Siapapun Untuk Beribadah)

Al-Mu‘jam-ush-Shaghīr
(Judul Asli: Al-Muhalla)
Oleh: Abul-Qasim Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani

Penerjemah: Anshari Taslim
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Al-Mu'jam-ush-Shaghir Bab Alif - Yang Bernama Ahmad

رقم الحديث: 45
(حديث مرفوع) حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُوْ سُلَيْمَانَ الْمَكِّيُّ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ حَمْزَةَ الزُّبَيْرِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيْزِ بْنُ مُحَمَّدٍ الدَّرَاوَرْدِيُّ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ سُلَيْمٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ” فِي الْمَارِّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي: إِنْ أَبَى فَرُدَّهُ، فَإِنْ أَبَى فَقَاتِلْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ”، لَمْ يَرْوِهِ عَنْ صَفْوَانَ، إِلَّا عَبْدُ الْعَزِيْزِ، تَفَرَّدَ بِهِ ابْنُ حَمْزَةَ.

  1. Aḥmad bin Muḥammad Abū Sulaimān al-Makkī (1701) menceritakan kepada kami, Ibrāhīm bin Ḥamzah az-Zubairī menceritakan kepada kami, ‘Abd-ul-‘Azīz bin Muḥammad ad-Darāwardī menceritakan kepada kami, Shafwān bin Sulaim menceritakan kepada kami, dari ‘Athā’ bin Yasār, dari Abū Sa‘īd al-Khudrī yang berkata: Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda mengenai orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat: “Kalau dia enggan maka tolaklah dia, tapi kalau masih bandel juga maka perangilah dia karena dia itu hanyalah setan.

Tidak ada yang meriwayatkannya dari Shafwān kecuali ‘Abd-ul-‘Azīz dan hanya Ḥamzah yang meriwayatkan hadits ini darinya.

Isnād: Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Jamā‘ah kecuali at-Tirmidzī baik dengan redaksi ringkas maupun panjang. (1712).

رقم الحديث: 55
(حديث مرفوع) حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زَكَرِيَّا الْعَابِدِيُّ الْمَكِّيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ فُلَيْحٍ الْمَكِّيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمُ بْنُ مُسْلِمٍ الْخَشَّابُ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، قَالَ: “يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، يَا بَنِيْ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، إِنْ وُلِّيْتُمْ هذَا الْأَمْرَ، فَلَا تَمْنَعُوْا أَحَدًا طَافَ بِهذَا الْبَيْتِ أَنْ يُصَلِّيَ أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ”، قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: يَعْنِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ طَوَافِ السَّبْعِ، أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ، وَ بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ قَبْلَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ، وَ فِيْ كُلِّ النَّهَارِ لَمْ يَرْوِهِ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، إِلَّا سُلَيْمُ بْنُ مُسْلِمٍ.

  1. Aḥmad bin Zakariyyā al-‘Ābidī al-Makkī (1723) menceritakan kepada kami, ‘Abd-ul-Wahhāb bin Fulaiḥ al-Makkī menceritakan kepada kami, Sulaim bin Muslim al-Kasysyāb menceritakan kepada kami, Ibnu Juraij menceritakan kepada kami, dari ‘Athā’, dari Ibnu ‘Abbās r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Wahai keturunan ‘Abdu Manāf, wahai keturunan ‘Abd-ul-Muththalib kalau kalian mengambil alih urusan ini (kepemimpinan umat Islam – penerj.) maka janganlah kalian melarang siapapun yang akan thawaf di rumah ini (Ka‘bah) untuk melaksanakan shalat kapan saja mereka inginkan baik siang maupun malam.

Abul-Qāsim ath-Thabrānī berkata: Maksudnya dua rakaat setelah thawaf tujuh kali, meski melaksanakannya setelah shalat Shubuh sebelum terbit matahari atau setelah shalat ‘Ashar sebelum terbenam matahari di setiap siang.

Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Juraij dari ‘Athā’ dari Ibnu ‘Abbās kecuali Sulaim bin Muslim.

Isnād: Dalam sanad-nya ada Sulaim bin Muslim al-Khasysyāb dan dia itu matrūk. (1734).

Catatan:

  1. (170). Saya belum menemukannya.
  2. (171). Jāmi‘-ul-Ushūl (5/3725); Fatḥ-ul-Bārī (1/581); Mukhtasharu Muslim (338); An-Nasā’ī (3/66); Ibnu Mājah (954) dan Mukhtasharu Abī Dāūd (665).
  3. (172). Dalam al-‘Iqd-uts-Tsamīn (3/41) disebutkan, dia biasa meriwayatkan dari ‘Abd-ul-Wahhāb bin Fulaiḥ. Yang biasa meriwayatkan darinya adalah ath-Thabrānī dalam Mu‘jam-ush-Shaghīr.
  4. (173). Majma‘-uz-Zawā’id (2/229), juga dikeluarkan oleh para pengarang sunan dan lainnya dari hadits Jubair bin Muth‘im. Lihat Nash-ur-Rāyah (1/253).