BAB. TANGISAN KEDUA ORANG TUA
حَدَّثَنَا مُوءسَى، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ زِيَادِ بْنِ مِخْرَاقٍ، عَنْ طَيْسَلَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ، يَقُوْلُ: “بُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوْقِ وَ الْكَبَائِرِ.”
بُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوْقِ وَ الْكَبَائِرِ.
“Membuat kedua orang tua menangis termasuk kedurhakaan dan dosa besar.”
Shaḥīḥ: Ash-Shaḥīḥah 2898
BAB. DOA KEDUA ORANG TUA.
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ يَحْيَى هُوَ ابْنُ أَبِيْ كَثِيْرٍ، عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُوْلُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَهُنَّ، لَا شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَ دَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ.”
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَهُنَّ، لَا شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَ دَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ.
“Ada tiga doa yang mustajab (akan dikabulkan), tidak ada keraguan padanya: (1)doa orang yang dizhālimi (dianiaya), (2)doanya musāfir, dan (3)doa orang tua terhadap anaknya.”
Ḥasan, (di dalam kitab) Ash-Shaḥīḥah (596), [Abū Dāūd: 8-Kitāb-ush-Shalāh (Kitab shalat), 29- Bāb-ud-Duā‘u Bizhahr-il-Ghaibi (Bab doa tanpa sepengetahuan orang yang didoakan), at-Tirmidzī, 25- Kitāb-ul-Birri wash-Shilah (Kitab berbakti dan silaturahmi), 7- Bābu Mā Jā’a fī Da‘wat-il-Wālidaini (Bab tentang doa kedua orang tua). Ibnu Mājah: 34- Kitābu Duā’ (Kitab doa) 11- Bābu Da‘wat-il-Wālidi wa Da‘wat-ul-Mazhlūm (Bab doa orang tua dan doa orang yang dizhalimi, hadits nomor 3862].
حَدَّثَنَا عَيَّاشُ بْنُ الْوَلِيْدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ يَزِيْدَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُسَيْطٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ شُرَحْبِيْلَ أَخِيْ بَنِيْ عَبْدِ الدَّارِ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ (سَلَّمَ) (21) يَقُوْلُ: “مَا تَكَلَّمَ مَوْلُوْدٌ مِنَ النَّاسِ فِيْ مَهْدٍ إِلَّا عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ صَاحِبُ جُرَيْجٍ، قِيْلَ: يَا نَبِيَّ اللهِ، وَ مَا صَاحِبُ جُرَيْجٍ؟ قَالَ: فَإِنَّ جُرَيْجًا كَانَ رَجُلًا رَاهِبًا فِيْ صَوْمَعَةٍ لَهُ، وَ كَانَ رَاعِيَ بَقَرٍ يَأْوِيْ إِلَى أَسْفَلِ صَوْمَعَتِهِ، وَ كَانَتِ امْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ الْقَرْيَةِ تَخْتَلِفُ إِلَى الرَّاعِيْ، فَأَتَتْ أُمُّهُ يَوْمًا، فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ، وَ هُوَ يُصَلِّيْ، فَقَالَ فِيْ نَفْسِهِ وَ هُوَ يُصَلِّيْ: أُمِّيْ وَ صَلَاتِيْ؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلَاتَهُ، ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَّانِيَةَ، فَقَالَ فِيْ نَفْسِهِ: أُمِّيْ وَ صَلَاتِيْ؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلَاتَهُ، ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَّالِثَةَ، فَقَالَ: أُمِّيْ وَ صَلَاتِيْ؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلَاتَهُ، فَلَمَّا لَمْ يُجِبْهَا، قَالَتْ: لَا أَمَاتَكَ اللهُ يَا جُرَيْجُ حَتَّى تَنْظُرَ فِيْ وَجْهِ الْمُوْمِسَاتِ، ثُمَّ انْصَرَفَتْ، فَأُتِيَ الْمَلِكُ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ وَلَدَتْ، فَقَالَ: مِمَّنْ؟ قَالَتْ: مِنْ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَصَاحِبُ الصَّوْمَعَةِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: اهْدِمُوْا صَوْمَعَتَهُ، وَأْتُوْنِيْ بِهِ، فَضَرَبُوْا صَوْمَعَتَهُ بِالْفُئُوْسِ حَتَّى وَقَعَتْ، فَجَعَلُوْا يَدَهُ إِلَى عُنُقِهِ بِحَبْلٍ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِهِ، فَمَرَّ بِهِ عَلَى الْمُوْمِسَاتِ، فَرَآهُنَّ فَتَبَسَّمَ، وَ هُنَّ يَنْظُرْنَ إِلَيْهِ فِي النَّاسِ، فَقَالَ الْمَلِكُ: مَا تَزْعُمُ هذِهِ؟ قَالَ: مَا تَزْعُمُ؟ قَالَ: تَزْعُمُ أَنَّ وَلَدَهَا مِنْكَ، قَالَ: أَنْتِ تَزْعُمِيْنَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: أَيْنَ هذَا الصَّغِيْرُ؟ قَالُوْا: هُوَ ذَا فِيْ حِجْرِهَا، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: مَنْ أَبُوْكَ؟ قَالَ: رَاعِي الْبَقَرِ، قَالَ الْمَلِكُ: أَنَجْعَلُ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: مِنْ فِضَّةٍ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَمَا نَجْعَلُهَا؟ قَالَ: رُدُّوْهَا كَمَا كَانَتْ، قَالَ: فَمَا الَّذِيْ تَبَسَّمْتَ؟ قَالَ: أَمْرًا عَرَفْتُهُ، أَدْرَكَتْنِيْ دَعْوَةُ أُمِّيْ، ثُمَّ أَخْبَرَهُمْ”
“Tidak ada seorang bayi dari kalangan manusia yang dapat bicara semasa dalam timangan kecuali ‘Īsā putra Maryam dan bayi dalam kisah Juraij.” Ada yang bertanya: “Wahai Nabi Allah!, Apa yang dimaksud dengan bayi dalam kisah Juraij itu?” Beliau menjawab: “Juraij adalah seorang rāhib (pendeta atau ahli ibadah) yang berada di dalam tempat ibadahnya. Ketika itu seorang penggembala sapi biasa berteduh di bawah tempat ibadahnya itu dan ada seorang perempuan dari penduduk kampung setempat sering datang dan pergi untuk menemui penggembala tersebut. Pada suatu hari ibu Juraij datang dan memanggil: Hai Juraij! Saat itu Juraij sedang shalat. Juraij – dalam hati ketika sedang menunaikan shalat itu – berkata: ‘Ibuku atau shalatku?’ Dia pun berpandangan untuk lebih mengutamakan shalatnya.
Kemudian ibunya berteriak memanggilnya untuk yang kedua kali. Juraij berkata dalam hatinya: ‘Ibuku atau shalatku?’ Dia pun berpandangan untuk lebih mengutamakan shalatnya. Kemudian ibunya meneriakinya lagi. Juraij berkata dalam hatinya: ‘Ibuku atau shalatku?,’ Dia pun berpandangan untuk lebih mengutamakan shalatnya. Tatkala Juraij tidak menjawabnya, maka ibunya berkata: hai Juraij! Semoga Allah tidak mematikanmu, sampai kamu melihat wajah pelacur. Lantas ibunya bergegas pergi. Setelah itu didatangkan wanita tadi kepada raja dalam keadaan telah melahirkan (221).
Raja bertanya: “dari (perbuatan zina) siapa ini?” Dia menjawab: “Juraij.” Raja bertanya: “Apakah maksudnya Juraij pemilik tempat ibadah itu?” Dia menjawab: “Ya.” Raja berkata (kepada orang-orang yang hadir): hancurkan tempat ibadahnya dan datangkan Juraij untuk menghadapku. Mereka pun menghatam tempat ibadah tersebut dengan kapak sampai roboh dan mengikat tangan Juraij pada lehernya dengan seutas tali, kemudian dibawa pergi dan melewati para wanita pelacur.
Saat melihat mereka, Juraij tersenyum, sementara mereka melihatnya berada ditengah orang-orang yang membawanya. Raja berkata: “Apa yang kamu katakan tentang wanita ini?,’ Juraij balik bertanya: memangnya apa yang dikatakannya?,’ Raja menjawab: “Dia menyatakan bahwa anaknya darimu!” Juraij bertanya (kepada wanita tersebut); “Kamu menyatakan itu?”. ‘Ya.’ Jawabnya. Juraij bertanya: “Di mana bayi itu?” Mereka menjawab: “Ini di pangkuannya!,” Kemudian Juraij menghampirinya lantasbertanya (kepada bayi): “Siapa bapakmu?” Bayi itu menjawab: “Penggembala sapi.” Akhirnya raja menanyakan: “Apakah kamu berkenan bila kami membangun kembali tempat ibadahmu dari emas?” “Tidak perlu,” jawab Juraij. Raja bertanya: “Dari perak?,” Juraij menjawab: “Tidak perlu,” Raja berkata: “Lantas apa yang harus kami lakukan?,” Juraij menjawab: “Kembalikan tempat ibadah itu seperti semula.” Raja berkata: “Lalu apa yang membuatmu tersenyum?,” Juraij menjawab: “Perkara yang telah aku ketahui, aku terkena doa ibuku, Kemudian dia menceritakannya kepada mereka”.”
Shaḥīḥ. [al-Bukhārī, 60-Kitāb-ul-Anbiyā’ (Kitab tentang para nabi), 48- bāb (Wadzkur fī Kitābi Maryama) (وَ اذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ) “Dan ceritakan kisah Maryam dalam al-Qur’ān.” (QS. Maryam [19]: 16), Muslim 45- Kitāb-ul-Birri wash-Shilati wal-Adab (Kitab berbakti dan silaturahmi serta adab), hadits nomor 7, 8].