008 Rahasia Mengusap Wajah Dengan Tangan Setelah Berdoa – Pancaran Spiritual – al-Qunawi

PANCARAN SPIRITUAL
TELAAH 40 HADITS SUFISTIK

(Diterjemahkan dari: Syarḥ-ul-Arba‘īna Ḥadītsan)
Oleh: SHADR-UD-DĪN Al-QUNĀWĪ

Penerjemah: Irwan Kurniawan
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

HADITS KEDELAPAN

(Rahasia Mengusap Wajah Dengan Tangan Setelah Berdoa)

 

Dari Anas (11) r.a.: “Apabila Rasūlullāh s.a.w. berdoa, beliau mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya itu.” Di dalam riwayat lain disebutkan: “Beliau tidak meletakkan kedua tangannya sebelum mengusapkannya ke wajahnya.” Sementara di dalam beberapa riwayat lain disebutkan: “Beliau menyuruh pada sahabatnya untuk melakukan hal itu dan menganjurkannya.” (22).

 

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya.

Ketahuilah, bahwa manusia di dalam berdoa kepada Tuhannya, dia menghadap kepada-Nya dengan lahir dan batinnya. Untuk itu, disyaratkan kehadiran hati di dalam berdoa, sebagaimana disabdakan Rasūlullāh s.a.w.: “Sesungguhnya Allah tidak menerima doa orang yang lalai.” (33) Sementara di dalam riwayat lain disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak menerima doa dari hati yang lalai.” (44) Bahkan, Rasūlullāh s.a.w. mensyaratkan untuk benar-benar menghadirkan hal yang diminta dari al-Ḥaqq ketika berdoa. Karena itu, ketika Rasūlullāh s.a.w. mengajarkan kepada ‘Alī doa ini, yaitu: “Allāhumma ihdinī wa saddidnī (Ya Allah, berilah saya petunjuk dan berilah saya jalan yang lurus), (55) beliau berkata kepadanya: “Sebutkan petunjukmu sebagai petunjuk jalan dan kelurusan sebagai kelurusan tujuan, karena keterkabulan mengikuti penggambaran. Maka orang yang penggambarannya paling baik kepada al-Ḥaqq, doanya akan terkabul. Keabsahan penggambaran mengikuti ilmu yang benar dan kesaksian (syuhūd) yang shaḥīḥ. Karena itu, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Kalau kamu mengenal Allah, niscaya doamu dapat menggerakkan gunung.” (66) Tidakkah engkau perhatikan bahwa Nabi s.a.w., karena memiliki makrifat dan syuhūd yang sempurna, sebagian besar doanya terkabul. Demikian pula orang yang hampir menyamai makrifatnya, seperti para nabi dan orang-orang yang dijanjikan diterima doanya ketika mereka berdoa. Hal itu ditunjukkan dengan firman Allah s.w.t.: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. al-Mu’minūn: 60).

Barang siapa tidak mengetahui dan tidak menghadirkan salah satu aspek kehadiran yang benar, berarti dia tidak berdoa kepada al-Ḥaqq. Karena itu, doanya tidak dikabulkan. Apabila engkau telah mengetahui hal ini, maka pahamilah bahwa tangan yang satu merupakan simbol bahwa orang yang berdoa menghadap dengan lahirnya dan tangannya yang lain merupakan simbol bahwa dia menghadap dengan batinnya. Sementara lidah merupakan simbol dari perkataannya dan mengusap wajah adalah untuk memohon berkah dan peringatan akan kembali kepada hakikat yang menggabungkan antara roh dan badan. Itu merupakan kiasan dari eksistensinya yang teguh di dalam ilmu al-Ḥaqq secara azali dan abadi, karena wajah sesuatu adalah hakikatnya. Wajah inilah yang menampakkan hakikat tersebut. Jika tersingkap bagimu rahasia firman-Nya s.w.t.: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya (Allah).” (QS. al-Qashash: 88) niscaya engkau mengetahui rahasia lain yang lebih tersembunyi daripada ini yang tidak dapat disebarkan kecuali kepada ahlinya. Ini merupakan peringatan bagi orang-orang yang berpikir (ulul-albāb).

Allah-lah yang memberi petunjuk.

 

Catatan:

 

 


  1. 1). Anas bin Mālik adalah pelayan Rasūlullāh s.a.w. dan sahabatnya yang paling terakhir wafat, yaitu pada tahun 93 H. Lihat Siyaru A‘lām-in-Nubalā’, jilid II, hal. 395-406. 
  2. 2). Diriwayatkan oleh Ibn Mājah di dalam bab al-Iqāmah, hal. 119 dan ad-Du‘ā’, hal. 130. 
  3. 3). Diriwayatkan oleh Ibn Ḥanbal dengan redaksi yang berbeda. Lihat jilid II, hal. 177. 
  4. 4). Diriwayatkan oleh at-Tirmidzī di dalam bab ad-Da‘wāt, hal. 65. 
  5. 5). Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab adz-Dzikr, hal. 78; Abū Dāūd di dalam bab al-Khatam, hal. 4; dan an-Nasā’ī di dalam bab az-Zīnah, hal. 8 dan 121. 
  6. 6). Diriwayatkan oleh Ibn-us-Sunnī dari Mu‘ādz. Lihat Kanz-ul-‘Ummāl, karya al-Hindī, jilid III, hal 144. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *