Hadits-hadits yang Menerangkan Tentang Penciptaan Adam a.s. – Kisah-kisah Para Nabi – Imam Ibnu Katsir (3/3)

قَصَصُ الْأَنْبِيَاءِ
Judul Asli:
QASHASH-UL-ANBIYĀ’

Penulis:
Imam Ibnu Katsir.

Judul Terjemahan:
KISAH-KISAH PARA NABI

Penerjemah: Muhammad Zaini, Lc.
Penerbit: Insan Kamil Solo.

Rangkaian Pos: 1 Kisah Nabi Adam a.s. - Kisah-kisah Para Nabi - Imam Ibnu Katsir

Kemudian Ādam melihat para Nabi. Mereka seperti cahaya yang memancar terang. Dan mereka dikhususkan untuk mendapatkan perjanjian berupa risalah dan kenabian. Dan inilah yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya:

وَ إِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّيْنَ مِيْثَاقَهُمْ وَ مِنْكَ وَ مِنْ نُّوْحٍ وَ إِبْرَاهِيْمَ وَ مُوْسَى وَ عِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَ أَخَذْنَا مِنْهُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para Nabi dan dari engkau (sendiri), dari Nūḥ, Ibrāhīm, Mūsā, dan ‘Īsā putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 7).

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islām); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah....” (QS. ar-Rūm [30]: 30).

هذَا نَذِيْرٌ مِّنَ النُّذُرِ الأُوْلى

Ini (Muḥammad) salah seorang pemberi peringatan di antara para pemberi peringatan yang telah terdahulu.” (QS. an-Najm [53]: 56).

وَ مَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِّنْ عَهْدٍ وَ إِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِيْنَ

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sebaliknya yang Kami dapati kebanyakan mereka adalah orang-orang yang benar-benar fasik.” (QS. al-A‘rāf [7]: 102).

Para Imām; seperti ‘Abdullāh bin Aḥmad, Ibnu Abī Ḥātim, Ibnu Jarīr, dan Ibnu Mardawaih di dalam tafsir mereka meriwayatkan hadits tersebut dari jalur Abū Ja‘far. (1231).

Hadits serupa juga diriwayatkan dari Mujāhid, ‘Ikrimah, Sa‘īd bin Jubair, al-Ḥasan al-Bashriy, Qatādah, as-Suddiy, dan ulama salaf yang lainnya. (1242).

Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, bahwasanya ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Ādam, mereka semuanya langsung melaksanakan perintah Allah tersebut. Namun Iblis enggan untuk sujud kepada Ādam, karena kedengkian dan permusuhan kepadanya, sehingga Allah mengusir dan menjauhkan dia (Iblīs) dari surga dan mengeluarkannya dari hadapan-Nya, dan memerintahkan untuk turun ke bumi sebagai hamba yang terusir, terlaknat, dan terkutuk.

Imām Aḥmad berkata: (1253) Telah bercerita kepada kami Wakī‘, Ya‘lā, dan Muḥammad (keduanya adalah putra Ubaid), mereka berkata: Telah bercerita kepada kami al-A‘masy, dari Abū Shāliḥ, dari Abū Hurairah, dia berkata bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Jika seorang anak Ādam membaca ayat Sajdah, maka syaithan menjauh sembil menangis. Dia berkata: “Sungguh malangnya (aku ini). Dia diperintahkan untuk sujud, diapun bersujud; maka dia mendapatkan surga. Sedangkan aku diperintah untuk sujud lalu aku membangkang, sehingga aku dimasukkan ke neraka.” Imām Muslim (1264) juga meriwayatkan hadits tersebut dari Wakī‘ dan Abū Mu‘āwiyah, dari al-A‘masy.

Ketika Allah menempatkan Ādam di surga yang telah ditetapkan baginya (baik surga itu di langit atau di bumi) sebagaimana yang telah kami sebutkan perbedaan pendapat mengenai hal ini dalam pembahasan sebelumnya, Ādam pun tinggal bersama istrinya (Ḥawwā’) ‘alaihimās-salām. Mereka makan makanan yang enak-enak sesuai dengan kehendaknya. Namun, tatkala mereka makan buah pohon yang terlarang, maka seluruh pakaian yang dikenakannya terlepas dari badan dan mereka diturunkan ke bumi. Dan perbedaan pendapat mengenai turunnya mereka telah kami sebutkan dalam banyak pembahasan.

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya mereka tinggal di surga. Ada yang mengatakan: “Beberapa saat, dalam hitungan hari-hari yang ada di dunia.” Dan kami telah menyebutkan hadits marfū‘ yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abū Hurairah yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah menciptakan Ādam pada saat-saat terakhir pada hari Jum‘at.” Demikian juga telah kami sebutkan hadits yang di dalamnya disebutkan: “(Yakni pada hari Jum‘at) Ādam diciptakan dan pada hari itu pula dia dikeluarkan dari surga.”

Jika Ādam diciptakan pada hari itu, dan di hari itu pula dia dikeluarkan dari surga – Kami katakan: sesungguhnya hari-hari yang enam itu sama dengan hari-hari sekarang ini – maka Ādam hanya tinggal beberapa saat saja di dalam surga. Namun pendapat ini perlu ditinjau ulang. Akan tetapi, jika dia dikeluarkan dari surga pada hari lain; bukan hari di mana dia diciptakan, atau kita katakan bahwa hari-hari tersebut ukurannya sama dengan enam ribu tahun sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, Mujāhid, dan adh-Dhaḥḥāk, (dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarīr), tentu Ādam tinggal di dalam surga dalam waktu yang sangat lama.

Ibnu Jarīr berkata: (1275) “Sebagaimana diketahui bahwasanya Ādam diciptakan pada saat-saat terakhir di hari Jum‘at. Dan setiap satu jamnya, sama dengan delapan puluh tiga tahun empat bulan (waktu di bumi). Sebelum ditiupkan ruh kepadanya, dia masih dalam bentuk tanah selama empat puluh tahun. Dan dia tinggal di surga; sebelum diturunkan ke bumi, selama empat puluh tahun lebih empat bulan.” Wallāhu a‘lam.

‘Abd-ur-Razzāq (1286) meriwayatkan dari Hisyām bin Ḥassan, dari Suwar, dari ‘Athā’ bin Abī Rabbah, dia berkata: “Ketika Ādam diturunkan ke bumi, pada saat itu kedua kakinya sudah di bumi namun kepalanya masih berada di langit. Kemudian Allah mengurangi (tingginya) menjadi enam puluh hasta.”

Hadits serupa diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, (1297) Namun pendapat tersebut perlu ditinjau ulang, karena bertentangan dengan hadits shaḥīḥ dari Abū Hurairah bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan Ādam dan tingginya enam puluh hasta. Dan tingginya (umat manusia) akan terus berkurang hingga sekarang.” Hal ini menunjukkan bahwa Ādam diciptakan dengan tinggi enam puluh hasta; tidak lebih dari itu. Dan tinggi anak keturunannya akan terus berkurang hingga sekarang.

Ibnu Jarīr (1308) meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwasanya Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Wahai Ādam, sesungguhnya Aku mempunyai singgasana di depan ‘Arsy. Pergi dan bangunkan Aku rumah di dalamnya. Dan berkelilinglah sebagaimana para malaikat-Ku mengelilingi ‘Arsy” Kemudian Allah mengutus malaikat untuk mengabarkan tempatnya kepada Ādam dan mengajarkan manasik kepadanya. Di kemudian hari, setiap pijakan (seperti) langkah kaki Nabi Ādam (thawaf) terhitung menjadi amalan yang mendatangkan pahala.

Ibnu Jarīr juga berkata bahwa makanan pertama yang dinikmati oleh Ādam di bumi, adalah sesuatu yang dibawa oleh Jibrīl berupa tujuh butir biji gandum. Saat itu Ādam bertanya: “Apa ini?” Jibrīl menjawab: “Ini biji pohon yang dulu engkau dilarang oleh Allah memakannya ketika masih di surga, lalu engkau tetap memakannya.” Ādam bertanya: “Apa yang harus aku lakukan dengan biji ini?” Jibrīl menjawab: “Tanamlah biji tersebut di bumi.” Kemudian Ādam menanamnya. Setiap satu biji menumbuhkan lebih dari seratus ribu biji. Setelah biji-bijian itu tumbuh (dan tiba waktu panen), Ādam pun memanennya. Kemudian dia menebah dan menapih biji gandum tersebut, baru kemudian dibuat menjadi roti. Dia baru bisa memakannya setelah melewati usaha keras dan kelelahan yang sangat besar. Dan inilah yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya:

…. فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى.

“….maka sekali-kali jangan sampai dia mengeluarkan kamu berdua dari surga, nanti kamu celaka.” (QS. Thāhā [20]: 117) (1319).

Adapun baju pertama yang mereka pakai adalah terbuat dari bulu domba. Dia memotong bulu domba, kemudian memintal dan menenunnya. Ādam membuat jubah untuk dirinya, dan membuatkan baju kurung sekaligus khimarnya untuk Ḥawwā’.

Para ulama berbeda pendapat, apakah ketika mereka di surga telah memiliki anak? Ada yang mengatakan: “Ketika di surga mereka belum memiliki anak. Mereka baru memiliki anak setelah berada di bumi.” Pendapat yang lain mengatakan: “Mereka telah memiliki anak ketiga di surga. Bahkan, Qābil dan saudaranya dilahirkan di surga. Wallāhu a‘lam.

Mereka juga mengatakan bahwa setiap kali Ḥawwā’ melahirkan, dia melahirkan anak laki-laki dan perempuan. Dan setiap anak laki-laki diperintahkan untuk menikahi saudari yang dilahirkan bersama saudaranya (bukan wanita yang lahir bersamanya) Bagi yang lain juga berlaku demikian. Saudara laki-laki tidak dihalalkan menikahi saudari perempuan yang dilahirkan bersamanya.

Catatan:

  1. 123). ‘Abdullāh bin Aḥmad (5/135). Ath-Thabrānī (9/115), Ibnu Abī Ḥātim (8537), dan as-Suyūthī di dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (142) menisbatkannya kepada Ibnu Mardawaih dan yang lainnya. Lihat juga Tafsīr-ul-Mushannaf (3/506).
  2. 124). Tafsīr-uth-Thabrānī (9/115-117).
  3. 125). HR. Aḥmad (2/443).
  4. 126). HR. Muslim (81).
  5. 127). Tafsīr-uth-Thabrānī (9/118-119).
  6. 128). Mushannafu ‘Abd-ir-Razzāq (9090).
  7. 129). Diriwayatkan oleh ath-Thabrānī di dalam Tārīkh-nya (1/124), dan di dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (1/55), as-Suyūthī menisbatkannya kepada Ibnu Sa‘ad.
  8. 130). Tārīkh-uth-Thabarī (1/124).
  9. 131). Diriwayatkan oleh ath-Thabārī di dalam Tārīkh-nya (1/128-129).