Hadits-hadits yang Menerangkan Tentang Penciptaan Adam a.s. – Kisah-kisah Para Nabi – Imam Ibnu Katsir (1/3)

قَصَصُ الْأَنْبِيَاءِ
Judul Asli:
QASHASH-UL-ANBIYĀ’

Penulis:
Imam Ibnu Katsir.

Judul Terjemahan:
KISAH-KISAH PARA NABI

Penerjemah: Muhammad Zaini, Lc.
Penerbit: Insan Kamil Solo.

Rangkaian Pos: 1 Kisah Nabi Adam a.s. - Kisah-kisah Para Nabi - Imam Ibnu Katsir

Hadits-hadits yang Menerangkan Tentang Penciptaan Ādam a.s.

 

Imām Aḥmad menuturkan: (901) Telah menceritakan kepada kami Yaḥyā dan Muḥammad bin Ja‘far, telah menceritakan kepada kami ‘Auf, telah menceritakan kepadaku Qasamah bin Zuhair, dari Abū Mūsā, dari Nabi s.a.w. beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ خَلَقَ آدَمَ مِنْ قَبْضَةٍ قَبَضَهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَرْضِ فَجَاءَ بَنُوْ آدَمَ عَلَى قَدْرِ الْأَرْضِ جَاءَ مِنْهُمُ الْأَبْيَضُ وَ الْأَحْمَرُ وَ الْأَسْوَدُ وَ بَيْنَ ذلِكَ وَ الْخَبِيْثُ وَ الطَّيِّبُ وَ السَّهْلُ وَ الْحَزْنُ وَ بَيْنَ ذلِكَ.

Allah ‘azza wa jalla menciptakan Ādam dari segenggam (tanah) yang Dia genggam dari seluruh bumi. Maka anak keturunan Ādam sesuai dengan bagian tanah yang ada. Ada yang berkulit putih, merah, hitam, atau berkulit antara warna-warna itu. Kemudian ada yang buruk, baik, mudah, sedih, dan ada yang campuran daripada itu semua.

Imām Aḥmad (912) juga meriwayatkan dari Ḥaudzah, dari ‘Auf, dari Qasamah bin Zuhair, saya mendengar al-Asy‘arī menuturkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Allah ‘azza wa jalla menciptakan Ādam dari segenggam (tanah) yang Dia genggam dari seluruh bumi. Maka anak keturunan Ādam sesuai dengan tanah. Ada yang berkulit putih, merah, hitam, ataupun berkulit antara warna-warna itu. Kemudian ada yang bersifat mudah, sedih, maupun di antara kedua sifat itu. Dan ada juga yang buruk, baik, ataupun di antara keduanya.”

Demikian juga Abū Dāūd, at-Tirmidzī, dan Ibnu Ḥibbān di dalam Shaḥīḥ-nya meriwayatkan hadits serupa dari ‘Auf bin Abī Jamīlah al-A‘rabī, dari Qasamah bin Zuhair al-Mazinī al-Bashrī, dari Abū Mūsā ‘Abdullāh bin Qais al-Asy‘arī, dari Nabi s.a.w. (923) at-Tirmidzī berkata: “Hadits tersebut derajatnya ḥasan shaḥīḥ.”

Sedangkan as-Suddī meriwayatkannya dari Abū Mālik dan Abū Shāliḥ, dari Ibnu ‘Abbās. Sedangkan yang dari Murrah, bersumber dari Ibnu Mas‘ūd. Dan ada juga yang bersumber dari sekelompok shahabat Rasūlullāh s.a.w.. Mereka menuturkan: Allah ‘azza wa jalla mengutus Jibrīl ke bumi untuk mengambil tanah darinya. Lalu bumi pun berkata: “Saya berlindung kepada Allah darimu. Janganlah engkau mengurangiku ataupun mengotoriku.” Jibrīl pun kembali menghadap Allah dan tidak mengambil sesuatupun dari bumi. Kemudian Jibrīl berkata: “Ya Allah, sesungguhnya bumi memohon perlindungan kepada-Mu, sehingga akupun tidak berani mengambilnya.”

Kemudian Allah mengutus Mikā’īl, dan bumi pun melakukan hal serupa, sehingga Mikā’īl kembali menghadap Allah: sebagaimana yang dilakukan oleh Jibrīl. Kemudian Allah mengutus malaikat maut, lalu bumi memohon perlindungan kepada Allah darinya, namun malaikat maut berkata: “Aku juga berlindungan kepada Allah. Dan aku tidak akan kembali sehingga aku melaksanakan perintah-Nya.”

Malaikat maut mengambil tanah dari bumi dan mencampurnya. Dia tidak hanya mengambil dari satu tempat saja, (melainkan dari seluruh penjuru). Dia mengambil tanah yang berwarna putih, merah, dan hitam. Oleh karena itu, anak keturunan Ādam pun (kulitnya) berwarna-warni.

Malaikat maut pun naik menghadap Allah dengan membawa tanah tersebut, lalu dia membasahi tanah tersebut sehingga menjadi lembut dan saling melekat. Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan ruh (ciptaan)-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya.” (QS. Shād [38]: 71-72).

Allah pun menciptakannya dengan tangan-Nya sendiri agar Iblīs tidak menyombongkan diri. Lalu jadilah tanah tersebut seorang manusia. Dia berbentuk jasad yang terbuat dari tanah, selama empat puluh tahun dimulai dari hari Jum‘at. Ketika para malaikat melewatinya, mereka terkejut saat melihatnya. Dan yang paling terkejut dengan hal itu adalah Iblīs. Sehingga, ketika Iblīs melewatinya dia pun memukulnya sehingga jasadnya berbunyi seperti tanah kering yang bersuara ketika menjadi tembikar. Itulah yang disebutkan di dalam firman-Nya:

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ.

Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar.” (QS. ar-Raḥmān [55]: 14).

Kemudian Allah berkata: “Aku menciptakannya karena memiliki tujuan.” Lalu Dia meniupkan sesuatu ke mulut tanah telah dibentuk tersebut, hingga tiupan itu keluar melalui duburnya. Selanjutnya Allah berfirman kepada para malaikat: “Janganlah kalian khawatir dari hal ini, karena sesungguhnya Rabb kalian kekal abadi sedangkan (ciptaan-Ku) ini tidak. Jika Aku berkehendak, niscaya Aku mampu menghancurkannya.”

Ketika tiba waktu di mana Allah hendak meniupkan ruh kepadanya, Dia berfirman kepada para malaikat: “Apabila Aku telah meniupkan ruh ke dalamnya, maka bersujudlah kalian untuknya.”

Ketika Allah meniupkan ruh kepadanya, ruh itupun masuk melalui kepalanya sehingga ia (Ādam) bersin. Saat itu para malaikat berkata: “Ucapkanlah: “al-Ḥamdulillāh”.” Dia (Ādam) pun mengucapkan “al-Ḥamdulillāh.” Lalu Allah berfirman kepadanya: “Yarḥamukallāh – Semoga Allah merahmatimu.”

Ketika ruh masuk melalui matanya, diapun langsung melihat buah-buahan surga. Ketika ruh masuk ke dalam kerongkongannya, spontan dia meninginkan makanan. Sebelum ruh itu sampai kepada kedua kakinya, tiba-tiba dia melompat menghampiri buah-buahan surga tersebut. Oleh karena itulah Allah ‘azza wa jalla berfirman:

خُلِقَ الْإِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ…..

Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa….” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 37).

Setelah itu, “Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali Iblis. Ia enggan ikut bersama-sama para (malaikat) yang sujud itu.” (QS. al-Ḥijr [15]: 30-31). Lalu as-Suddī meneruskan kisah tersebut secara sempurna. (934)

Sebagian redaksi kisah di atas sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam hadits-hadits Nabi, meskipun kebanyakan diambil dari Isrā’īliyyāt. Imām Aḥmad menuturkan: (945) Telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ush-Shamad, telah menceritakan kepada kami Ḥammād, dari Tsābit, dari Anas, sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tatkala Allah menciptakan Ādam, Dia meninggalkannya dengan sekehendak-Nya. Iblīs kemudian datang mengitarinya seraya mengamatinya. Dan ketika dia melihat bahwa Ādam adalah makhluk yang memiliki rongga, dia mengerti bahwa Ādam adalah makhluk yang tidak bisa mengendalikan diri.

Ibnu Ḥibbān berkata di dalam Shaḥīḥ-nya: (956) Telah menceritakan kepada kami al-Ḥasan bin Sufyān, telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khālid, telah menceritakan kepada kami Ḥammād bin Salamah, dari Tsābit, dari Anas bin Mālik, bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tatkala Allah meniupkan ruh kepada Ādam, dan ruh itu mencapai bagian kepalanya, maka Ādam pun bersin. Saat itu Ādam mengucapkan:Alḥamdulillāhi Rabb-il-‘Ālamīn (segala puji bagi Allah; Rabb semesta alam).” Lalu Allah berfirman kepadanya:Yarḥamukallāh – (semoga Allah merahmatimu).”

Al-Ḥāfizh Abū Bakar al-Bazzār berkata: Telah menceritakan kepada kami Yaḥyā bin Muḥammad bin as-Sakān, telah menceritakan kepada kami Ḥibbān bin Hilāl, telah menceritakan kepada kami Mubārak bin Fadhālah, dari ‘Ubaidillāh, dari Khubaib, dari Ḥafsh (dia adalah Ibnu Aslam bin ‘Ubaidillāh bin ‘Umar bin Khaththāb), dari Abū Hurairah secara marfū‘, dia berkata: “Ketika Allah menciptakan Ādam, maka Ādam pun bersin lalu berkata: “al-Ḥamdulillāh” Kemudian Allah menjawab: “Rabb-mu merahmatimu wahai Ādam”. (967) Status hadits ini lā ba’sa bih (tidak masalah), meskipun ahli hadtis yang lain tidak meriwayatkannya.

‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz berkata: “Tatkala para malaikat diperintahkan untuk sujud kepada Ādam, maka malaikat yang pertama kali sujud adalah Isrāfīl. Maka Allah memberikan balasan baginya berupa dituliskannya ayat al-Qur’ān di dahinya.” Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asākir. (978).

Al-Ḥāfizh Abū Ya‘lā mengutarakan: (989) Telah menceritakan kepada kami ‘Uqbah bin Mukrim, telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Muḥammad, dari Ismā‘īl bin Rafī‘ al-Muqbirī, dari Abū Hurairah, bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan Ādam dari tanah, kemudian melapisinya dengan lumpur. Setelah itu Dia membiarkannya (hingga kering). Setelah kering, maka Allah membentuknya, dan kemudian meninggalkannya (lagi) hingga tanah itu kering seperti tembikar.” Rasūlullāh s.a.w. melanjutkan sabdanya: “Ketika Iblīs melewatinya, dia berkata: “Sesungguhnya Engkau (Allah) menciptakannya untuk tujuan yang sangat besar.

Beliau melanjutkan: “Kemudian Allah meniupkan ruh kepadanya, dan ruh itu pertama kali masuk melalui mata dan batang hidungnya hingga membuat Ādam bersin. Setelah dia memuji Allah karena rahmat-Nya, kemudian Allah membalasnya dengan mengatakan: “Semoga Allah merahmatimu.” Kemudian Allah berfirman: “Wahai Ādam, pergi dan temuilah orang-orang itu, dan katakanlah sesuatu kepada mereka, kemudian lihat apa yang mereka katakan?” Ādam pun mendatangi mereka dan mengucapkan salam kepadanya, lalu mereka menjawab: “Wa ‘alaik-as-salām wa raḥmatullāhi wa barakātuhu.” Allah berfirman: “Wahai Ādam, inilah lafazh salammu dan salam keturunanmu.” Ādam bertanya: “Ya Allah, siapakah keturunanku itu?” Allah berfirman: “Wahai Ādam, pilihlah tangan-Ku”.”.

Rasūlullāh s.a.w. meneruskan sabdanya: “Ādam memilih tangan Rabb-ku bagian kanan. Dan kedua tangan Rabb-ku adalah kanan semua. Kemudian Allah membentankan tangan-Nya, lalu di antara keturunan Ādam itu ada yang keluar dari telapak tangan Allah ‘azza wa jalla, dan mereka adalah orang-orang yang mulutnya dipenuhi dengan cahaya. Di antara mereka ada yang membuat Ādam takjub dengan cahayanya, sehingga Ādam bertanya: “Ya Allah, siapakah dia?” Allah menjawab: “Dia adalah Dāūd, anak keturunanmu.” Ādam bertanya: “Ya Allah, berapa lama umur yang telah Engkau tetapkan baginya?” Allah menjawab: “Enam puluh tahun.” Ādam berkata: “Genapkanlah umurnya menggunakan umurku, hingga dia berumur seratus tahun.” Kemudian Allah mengabulkan permintaannya dan memberikan persaksian atas hal itu.

Ketika umur Ādam mencapai waktu yang telah ditetapkan, maka Allah mengutus malaikat maut. Saat itu Ādam berkata kepadanya: “Bukankah umurku masih tersisa empat puluh tahun?” Malaikat maut berkata kepadanya: “Bukankah yang empat puluh tahun itu telah engkau berikan kepada anakmu, Dāūd?” Ādam pun mengingkari hal itu.

Al-Ḥāfizh Abū Bakar al-Bazzār, at-Tirmidzī, dan an-Nasā’ī dalam al-Yaumu wal-Lailah meriwayatkan dari Shafwān bin ‘Īsā, dari al-Ḥārits bin ‘Abd-ir-Raḥmān bin Abī Dzubāb, dari Sa‘īd al-Muqbirī, dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w. (9910). At-Tirmidzī berkata: “Dari jalur ini, status hadits tersebut ḥasan gharīb.” Sedangkan an-Nasā’ī berkata: “Hadits ini mungkar.” Sementara Muḥammad bin ‘Ajlān meriwayatkan hadits tersebut dari bapaknya, dari Abū Sa‘īd al-Muqbirī, dari ‘Abdullāh bin Sallām.

Demikian juga Abū Ḥātim bin Ḥibbān meriwayatkan hadits tersebut di dalam Shaḥīḥ-nya: (10011) Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Isḥāq bin Khuzaimah, telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Basyār, telah menceritakan kepada kami Shafwān bin ‘Īsā, telah menceritakan kepada kami al-Ḥārits bin ‘Abd-ur-Raḥmān bin Abī Dzubāb, dari Sa‘īd al-Muqbirī, dari Abū Hurairah dia berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tatkala Allah menciptakan Ādam dan meniupkan ruh kepadanya, Ādam pun bersin seraya berkata: “Alḥamdulillāh.” Dia memuji Allah dengan izin-Nya. Lalu Allah berfirman kepadanya: “Wahai Ādam, semoga Rabb-mu merahmatimu. Pergilah kepada para malaikat itu – yakni sekelompok malaikat yang sedang duduk – ucapkanlah salam kepada mereka.” Maka Ādam mengucapkan salam kepada mereka seraya berkata: “As-Salāmu ‘alaikum.” Mereka menjawab: “Wa ‘alaikum-us-Salām wa raḥmatullāh.” Setelah itu dia kembali menghadap Allah ‘azza wa jalla, lalu Allah berfirman kepadanya: “Inilah lafazh salammu dan salam anak cucumu di antara mereka.

Allah berfirman sedang Dia mengepal kedua tangan-Nya: “Pilihlah, mana yang engkau kehendaki.” Ādam berkata: “Saya milih tangan kanan Rabb-ku. Dan kedua tangan Allah itu adalah kanan (semua) dan penuh dengan berkah. Kemudian Allah membentangkan kedua telapak tangan-Nya dan ternyata di dalamnya terdapat Ādam dan keturunannya. Ādam bertanya: “Ya Allah, siapa mereka?” Allah menjawab: “Mereka adalah anak keturunanmu.” Saat itu, setiap manusia telah tertulis umurnya di antara kedua matanya. Dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki yang paling bercahaya wajahnya. Ādam bertanya: “Ya Allah, siapakah dia?” Allah menjawab: “Dia adalah anakmu, Dāūd.” Allah telah menetapkan umur baginya empat puluh tahun.

Ādam berkata: “Ya Allah, tambahkanlah umurnya.” Allah berfirman: “Itulah yang telah ditetapkan untuknya.” Ādam berkata: “Sungguh, aku merelakan enam puluh tahun dari umurku untuk ditambahkan kepadanya.” Allah berfirman: “Baiklah, akan Aku tambahkan umurmu kepadanya. Sekarang tinggallah di dalam surga.

Lalu Ādam tinggal di dalam surga sesuai dengan kehendak Allah, kemudian dia dikeluarkan darinya. Ādam telah berjanji kepada dirinya sendiri (untuk memberikan sebagian umurnya kepada Dāūd). Ketika malaikat maut mendatanginya, Ādam bertanya: “Kamu datang terlalu cepat. Bukankah Allah telah menetapkan umur bagiku selama seribu tahun?” Malaikat menjawab: “Betul. Akan tetapi engkau telah memberikan usiamu selama enam puluh tahun kepada anakmu. Dāūd.” Ādam pun membantah keterangan itu, begitu juga dengan anak keturunannya (di kemudian hari). Ādam melupakan (apa yang dia sampaikan), maka begitu pula (perlakuan) anak keturunannya. Maka pada saat itu diperintahkan untuk ditulis dan didatangkan saksi.” Inilah lafazh hadits tersebut.

At-Tirmidzī (10112) menuturkan: Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Ḥumaid, telah menceritakan kepada kami Abū Nu‘aim, telah menceritakan kepada kami Hisyām bin Sa‘d, dari Zaid bin Aslam, dari Abū Shāliḥ, dari Abū Hurairah, dia berkata bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Saat Allah menciptakan Ādam, Dia mengusap punggungnya, lalu dari punggungnya berjatuhan setiap jiwa yang diciptakan Allah dari keturunan Ādam hingga hari kiamat. Dan Dia menjadikan kilatan cahaya di antara kedua mata setiap orang dari mereka, kemudian mereka dihadapkan kepada Ādam. Ādam bertanya: “Wahai Rabb, siapa mereka?” Allah menjawab: “Mereka keturunanmu.”

Ādam melihat seseorang dari mereka dan kilatan cahaya di antara kedua matanya membuatnya kagum, Ādam bertanya: “Wahai Rabb, siapa orang itu?” Allah menjawab: “Dia merupakan seorang laki-laki dari keturunanmu yang hidup di akhir zaman. Dia bernama Dāūd.” Ādam bertanya: “Wahai Rabb, berapa lama umur yang Engkau berikan kepadanya?” Allah menjawab: “Enam puluh tahun.” Ādam bertanya: “Wahai Rabb, tambahkanlah untuknya empat puluh tahun (yang diambil) dari umurku.”

Saat usia yang ditentukan untuk Ādam tiba, malaikat maut mendatanginya. Ādam berkata: “Bukankah usiaku masih tersisa empat puluh tahun?!” Malaikat maut balik bertanya: “Bukankah engkau telah memberikanya kepada anakmu Daud?” Ādam mengelak, lalu anak keturunannya (di kemudian hari) juga mengelak. Ādam melupakan (keputusan yang dia buat), maka keturunannya (di kemudian hari) juga ikut melupakan. Ādam berbuat kesalahan, maka keturunannya pun (di kemudian hari) akan berbuat salah.”

Kemudian at-Tirmidzī berkata: “Hadits ḥasan shaḥīḥ.” Dia juga meriwayatkannya dari banyak jalur dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w. Sedangkan al-Ḥākim (10213) di dalam Mustadrak-nya meriwayatkan hadits tersebut dari Abū Nu‘aim al-Fadhl bin Dukīn. Dia berkata: Hadits ini shaḥīḥ dan sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Imām Muslim, namun mereka (al-Bukhārī dan Muslim) tidak meriwayatkannaya.”

Catatan:

  1. 90). HR. Aḥmad (4/400), dan di-shaḥīḥ-kan oleh al-Albānī di dalam Shaḥīḥ-ul-Jāmi‘ (1755).
  2. 91). HR. Aḥmad (4/406).
  3. 92). HR. Abū Dāūd (4693), at-Tirmidzī (2958), Ibnu Ḥibbān (6160), dan di-shaḥīḥ-kan oleh al-Albānī di dalam Shaḥīḥu Sunani Abī Dāūd (3925).
  4. 93). Diriwayatkan oleh ath-Thabarī di dalam Tafsīrnya (1/203), al-Baihaqī di dalam as-Asmā’u wa Shifāt (773), dan Ibnu ‘Asākir (7/377).
  5. 94). HR. Aḥmad (3/152).
  6. 95). HR. Ibnu Ḥibbān (6165).
  7. 96). HR. Ibnu Ḥibbān (6164), dari jalur Yaḥyā bin Muḥammad.
  8. 97). Tārīkh Dimasq (7/398).
  9. 98). Abū Ya‘lā (6580).
  10. 99). HR. at-Tirmidzī (3368), dan an-Nasā’ī di dalam ‘Amal-ul-Yaumi wal-Lailah (218).
  11. 100). HR. Ibnu Ḥibbān (6167).
  12. 101). HR. at-Tirmidzī (3076), dan di-shaḥīḥ-kan oleh al-Albānī di dalam Shaḥīḥ-ul-Jāmi‘ (5084).
  13. 102). HR. al-Ḥākim (2/325).