3
(Tahap Hati Ketiga)
Perlu diketahui bahwa meskipun fu’ād (tahap hati ketiga) merupakan tempat “melihat”, tetapi ketika fu’ād melihat, hati mengetahui. Ketika pengetahuan dan penglihatan itu menyatu, sesuatu yang ghaib menjadi terlihat jelas. Seorang hamba menjadi yakin lewat pengetahuan, penyaksian, dan hakikat penglihatan-īmān.
فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ
“Siapa yang melihat, maka manfaatnya untuk dirinya.” (al-An’ām 6: 104)
Karunia tersebut diberikan oleh Allah untuknya lewat hidāyah dan taufīq sehingga membenarkannya.
وَ مَنْ عَمِيَ فَعَلَيْهَا
“Sementara siapa yang buta, maka kerugiannya kembali kepadanya.”
Mengenai ‘ilm-ul-yaqīn (keyakinan yang diraih lewat pengetahuan) dan ‘ayn-ul-yaqīn (keyakinan yang diraih lewat penglihatan) Allah berfirman:
كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ
“Jangan begitu. Seandainya kalian mengetahui ‘ilm-ul-yaqīn, niscaya kalian akan benar-benar melihat neraka jaḥīm. Kemudian kalian akan melihatnya dengan ‘ayn-ul-yaqīn.” (at-Takātsur 102: 5-7)
Allah memberi tahu Nabi-Nya, Mūsā a.s. bahwa kaumnya menyembah patung lembu sehingga ia sangat marah dan segera kembali menemui mereka dalam kondisi murka karena yakin dengan informasi yang Allah berikan tentang mereka. Ia membawa kepingan kitab Taurāt. Ketika menyaksikan mereka sedang menyembah lembu tersebut, ia segera melemparkan kepingan kitab tersebut. Kemudian, ia memegang rambut kepala saudaranya, Hārūn, dan menariknya. Begitulah Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Semoga Allah mengasihi saudaraku, Mūsā. Informasi tidak seperti melihat secara langsung.” Mūsā telah diberi informasi oleh Tuhan:
فَإِنَّا قَدْ فَتَنَّا قَوْمَكَ مِنْ بَعْدِكَ وَ أَضَلَّهُمُ السَّامِرِيُّ
“Kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan dan mereka telah disesatkan oleh Sāmirī.” (Thāhā 20: 85)
Ketika melihat mereka secara langsung, ia bertambah murka dan marah.
Hati juga dikaitkan dengan proses “melihat”. Hanya saja, ia melihat dengan cahaya yang memancar di dalamnya. Hal itu sebagaimana ditunjukkan oleh jawaban Abū Ja‘far Muḥammad ibn ‘Alī (ibn al-Ḥusain ibn ‘Alī ibn Abī Thālib) r.a. pada orang ‘Arab Badui ketika bertanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu?” Ia menjawab: “Aku tidak pernah menyembah sesuatu yang tidak kulihat.” Lalu ‘Arab Badui tadi kembali bertanya: “Bagaimana engkau bisa melihat Tuhanmu?” Jawabnya: “Bukan mata yang melihatnya secara langsung, tetapi hati yang melihatnya lewat berbagai hakikat īmān.”
Ia menunjukkan proses melihat di atas dengan hati, tetapi lewat hakikat cahaya īmān. Hati dan fu’ād kadang disebut dengan istilah bashar karena keduanya merupakan tempat untuk melihat. Allah s.w.t. berfirman:
يُقَلِّبُ اللهُ اللَّيْلَ وَ النَّهَارَ إِنَّ فِيْ ذلِكَ لَعِبْرَةً لأُوْلِي الأَبْصَارِ
“Allah membolak-balik siang dan malam. Di dalamnya ada pelajaran bagi ulil-abshār (mereka yang mempunyai penglihatan).” (an-Nūr 24: 44)
فَاعْتَبِرُوْا يَا أُولِي الأَبْصَارِ
“Maka jadikan ia sebagai pelajaran wahai yang mempunyai penglihatan.” (al-Ḥasyr 59: 2)
Orang yang mempunyai bashar (penglihatan) bisa mengambil pelajaran dengan melihat subtilnya (lathif-kehalusan) ciptaan Allah dalam segala hal. Mereka adalah orang yang mempunyai hati. Orang yang bisa menyaksikan dengan cahaya īmān mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang tersingkap dari berbagai tirai kelalaian dengan mujāhadah (bersungguh-sungguh) serta melihat akhirat lewat mata hatinya seolah-olah melihat secara langsung. Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Ḥāritsah: “Saat ini aku benar-benar berīmān.” Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Setiap kebenaran harus mempunyai bukti. Apa bukti keīmānanmu?” Ini adalah wujud penyingkapan Allah baginya dengan menjauhkan diri dari dunia dan melihat akhirat dengan cahaya hatinya. Ia tidak berbicara mengenai posisi bagaimana ia “menyaksikan” Allah berikut sifat, karunia, kebaikan, dan keagungan-Nya. Tetapi ia berbicara mengenai mujāhadahnya yang membuatnya bisa menyaksikan ‘arasy, surga berikut penduduknya, dan neraka berikut penduduknya. Jadi jelas bagimu bahwa proses “melihat” dan “menyaksikan” yang dilakukan seorang hamba, tambahan kekuasaan dan cahayanya berasal dari Allah s.w.t.
Perbedaan lain antara hati dan shadr adalah bahwa cahaya shadr mempunyai batas dan akhir, sementara cahaya hati tidak berakhir, tidak berujung, dan tidak terputus meskipun seorang hamba meninggal dunia. Ketika meninggal dunia di atas īmān, cahaya hamba terus bersamanya tanpa pernah berpisah dengannya, entah di dalam kubur ataupun di hari kiamat nanti. Ia tetap bersamanya. Allah s.w.t. berfirman:
يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ فِي الآخِرَةِ
“Allah meneguhkan orang-orang beriman dengan ucapan yang kokoh baik di dunia maupun di akhirat.” (Ibrāhīm 14: 27)
Sementara, hukum-hukum syarī‘at Islām dan yang dibangun dalam bentuk taklīf (penugasan), ia akan berakhir pada kematian. Cukuplah ia sebagai dalil bagi orang yang mengatakan bahwa īmān itu sempurna, tidak bertambah dan tidak berkurang. Ia menjadi sanggahan bagi siapa saja yang berpendapat bahwa īmān bisa bertambah dan berkurang serta menyerupakannya dengan semua ‘amal. Ia juga menjadi sanggahan bagi mereka yang menganggap semua ‘amal sebagai bentuk īmān, bagi mereka yang berpendapat bahwa īmān terwujud dengan lisan, bagi mereka yang berpendapat bahwa sebetulnya ia merupakan perbuatan hamba, serta bagi mereka yang membedakan antara hakikat makna Īmān dan makna Islām. Tidaklah benar kalau kita sibuk dengan sesuatu yang tidak diperintahkan. Diam bagi orang bodoh adalah keselamatan dan berbicara bagi orang ‘ālim merupakan karunia dari Allah. Bukankah pertanyaan yang diajukan kepada seorang hamba di dalam kubur berkisar tentang masalah ushūl (pokok-pokok agama), bukan tentang furū’ (cabang)?! Pertanyaan yang muncul adalah: Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa nabimu? Jadi bukan tentang: Apa ‘amal yang kaulakukan? Atau: bagaimana caramu melakukan shalat? Nanti di hari kiamat yang pertama kali ditanya juga tentang īmān kemudian baru tentang ‘amal. Lalu ‘amal tersebut diberi pahala sesuai dengan kadar kekuatan ushūl (masalah pokok), yaitu niat.
Hati disebut qalbu karena cepat berbolak-balik. Nabi s.a.w. bersabda: “Hati (qalbu) seperti bulu di atas tanah lapang.” Nabi s.a.w. memberitahukan sebagian dari kekuasaan dan kelembutan Allah terhadap hamba-Nya yang lemah dengan meneguhkan hatinya di atas īmān serta dengan mengokohkannya di atas kebenaran lewat kecepatannya dalam berbolak-balik agar ia mendapat petunjuk dengan daya dan kekuatan-Nya. Orang berakal adalah orang yang tidak mengaitkan perbuatan hati kepada dirinya kecuali hanya sebatas apa yang sesuai dengan pengabdiannya serta ia tidak melakukan sesuatu yang sia-sia. Orang yang bangunan tauḥīd, fondasi īmān, dan tanah makrifatnya hancur, maka siapa lagi selain-Nya yang bisa membangunnya?
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Islām menggabungkan antara ‘ilmu dan ‘amal. Dalilnya adalah jawaban Rasūlullāh s.a.w. ketika beliau ditanya oleh Jibrīl: “Apa itu Islām?” Keduanya sepakat bahwa: Islām adalah ‘ilmu dan ‘amal. Lalu beliau menjawab pertanyaan Jibrīl tentang īmān. Keduanya sepakat bahwa īmān adalah ‘ilmu atau pengetahuan dan tempatnya adalah hati. Kalangan khusus dari kaum berīmān memungut banyak pengertian tersembunyi dari hadits-hadits Rasūlullāh s.a.w. yang tidak diketahui oleh kalangan awam. Sebab, mereka terḥijāb oleh diri mereka sehingga tidak bisa menjangkau berbagai hakikat karena penglihatan mereka tertuju kepada ‘amal. Allah memberi perintah agar manusia diajak bicara sesuai dengan kapasitas akal mereka. Dia berfirman:
وَ قُل لَّهُمْ فِي أَنفُسِهِمْ قَوْلاً بَلِيغًا
“Katakan pada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (an-Nisā’ 4:63)
Adapun jawaban nabi tentang iḥsān, maka ia dikaitkan dengan penyaksian Allah semata. Entah hamba yang menyaksikan Tuhan dengan hatinya atau ia yang menyaksikan dengan hatinya bahwa Tuhan melihatnya. Pada hadits ini terdapat banyak pengertian yang tidak bisa ditangkap oleh orang awam. Hanya saja, di sini bukan tempat yang tepat untuk menjelaskannya.
Rasūlullāh s.a.w. menegaskan bahwa kedudukan orang mu’min berbeda-beda bergantung pada posisi mereka. Sebab, beliau mengaitkan iḥsān dengan proses “melihat”. Sumber dari proses “melihat” adalah fu’ād. Allah s.w.t. berfirman:
مَا كَذَّبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى
“Fu’ād beliau tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.”
Kata fu’ād adalah turunan dari kata Fā’idah (manfaat). Sebab, ia melihat berbagai manfaat dari cintanya. Fu’ād meraih manfaat dari proses melihat, dan hatinya merasa nikmat dengan pengetahuan yang ada. Selama fu’ād tidak bisa melihat, hati tidak bisa mengambil manfaat dari pengetahuan yang ada. Tidakkah engkau perhatikan bagaimana orang buta, pengetahuannya tidak memberikan manfaat sedikit pun padanya di saat kesaksian dibutuhkan karena ia tidak mampu melihat. Pengetahuannya sebenarnya tetap merupakan pengetahuan. Namun, kesaksiannya tertolak karena ia buta meskipun ia termasuk orang yang adil. Ini merupakan petunjuk bagi orang yang Allah berikan pemahaman dalam hal agama. Allah s.w.t. berfirman: “Agar kalian menjadi saksi bagi manusia.” (al-Ḥajj 22: 78) Bagaimana mungkin akan bersaksi orang yang mengetahui sesuatu tetapi ia tidak melihatnya. Dalam kisah Yūsuf dan saudara-saudaranya disebutkan bahwa mereka berkata: “Kami hanya bersaksi atas apa yang kami ketahui. Dan sekali-kali kami tidak bisa menjaga apa yang ghaib.” (Yūsuf 12: 81). Mereka tidak melihat piala raja di karung saudara mereka dan ia diletakkan oleh teman Yūsuf atas perintah Yūsuf. Jadi, ia tidak mencurinya. Allah s.w.t. telah memuliakan kita dengan al-Qur’ān sebagai lautan-Nya yang paling agung. Dia mengisinya dengan permata ma‘na-ma‘na yang halus. Dia jadikan al-Qur’ān sebagai khazanah yang menyimpan berbagai hal yang indah. Karena itu, beruntunglah orang yang Allah muliakan dengan hikmah dan dengan penjelasan yang dikandungnya. Sebagian ahli makrifat berkata: “Hati yang paling dalam disebut fu’ād karena di dalamnya ada alf wādin (seribu lembah).” Jika ia merupakan fu’ād milik ahli makrifat, maka lembah-lembahnya mengalirkan cahaya yang berasal dari kebaikan dan kelembutan Allah s.w.t.
Istilah fu’ād lebih halus daripada istilah qalb, hati. Pengertian keduanya sangat dekat sedekat nama ar-Raḥmān dan ar-Raḥīm. Yang menjaga hati adalah ar-Raḥmān. Sebab, hati merupakan sumber īmān. Seorang mu’min menyandarkan kebenaran īmānnya kepada Allah yang bersifat ar-Raḥmān. Allah s.w.t. berfirman:
قُلْ هُوَ الرَّحْمنُ آمَنَّا بِهِ وَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا
“Katakan: Dia adalah ar-Raḥmān. Kami berīmān pada-Nya dan kepada-Nya pula kami bersandar.” (al-Mulk 67 : 29).
Sementara yang menjaga fu’ād adalah Allah yang bersifat ar-Raḥīm. Allah s.w.t. berfirman:
وَ رَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ
“Raḥmat-Ku meliputi segala sesuatu. Kami akan menuliskannya bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-A’rāf 7: 156)
كَذلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ
“Juga supaya Kami teguhkan fu’ād-mu dengannya.” (al-Furqān 25: 32)
Allah s.w.t. memberi gambaran bagaimana Dia meneguhkan hati seorang hamba. Dia berfirman dalam kisah Asḥāb-ul-Kahfi:
وَ رَبَطْنَا عَلى قُلُوْبِهِمْ إِذْ قَامُوْا
“Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri.” (al-Kahfi 18: 14). Dan dalam kisah ibu Nabi Mūsā a.s.:
لَوْ لاَ أَنْ رَّبَطْنَا عَلى قَلْبِهَا
“Seandainya tidak Kami teguhkan hatinya.” (al-Qashash 28: 10).
Menurut para ahli tafsir, peneguhan hati tersebut adalah dengan cahaya tauḥīd. Sebab, hati bersifat mengetahui. Dan orang yang mengetahui membutuhkan peneguhan sehingga menjadi tenteram dengan mengingat Allah. (lihat ayat ar-Ra’d: 28). Adapun fu’ād, ia melihat dan menyaksikan secara langsung sehingga berada dalam kehampaan dan tidak membutuhkan peneguhan, tetapi membutuhkan bantuan lewat petunjuk. Allah berfirman:
وَ أَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوْسى فَارِغًا إِنْ كَادَتْ لَتُبْدِيْ بِهِ
“Hati ibu Mūsā menjadi hampa. Hampir saja ia mengungkapkan rahasia tentang Mūsā.” (al-Qashash: 10).
Dia menggambarkan fu’ād dengan kehampaan sekaligus melebihkannya atas hati. Sebab, hati membutuhkan peneguhan. Juga fu’ād melihat dan menyaksikan secara langsung, sementara hati mengetahui. Tentu saja informasi dan pengetahuan tidak seperti melihat secara langsung.