Hati Senang

Fihi Ma Fihi | Pasal 4 : Kami Muliakan Anak Keturunan Adam (3/3)

Fihi Ma Fihi Jalaluddin Rumi Penerjemah: 'Isa 'Ali Al-'Akub Penerbit : FORUM, Yogyakarta

(lanjutan)

Sama halnya pada saat Majnun hendak mengunjungi rumah Laila. Ketika Majnun masih sadar, ia mengemudikan untanya menuju rumah Laila. Tetapi saat ia terbenam dalam fantasinya tentang Laila dan melupakan diri dan untanya, unta itu menelusuri jalan kembali ke desa di mana anak unta itu disimpan. Saat Majnun bangun dari imajinasinya, ia menemukan dirinya telah mundur dua hari perjalanan. Selama tiga bulan ia menelusuri jalan ini, justru ia semakin jauh dengan tujuannya. Akhirnya ia berkata “Unta ini bencana buatku!,” ia lalu turun dari unta itu dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.

Untaku ingin kembali, sementara aku ingin terus maju. Sungguh aku dan ia sangatlah berbeda.

Guru kami berkata: Sayyid Burhanuddin pernah didatangi seseorang dan berkata: “Aku mendengar seseorang telah memujimu. Burhanuddin menjawab: “Tunggulah sampai aku bertemu dengan orang itu untuk melihat apakah ia cukup mengenalku sehingga bisa memujiku. Kalau ia hanya mengenalku lewat perkataan orang-orang, berarti ia tak mengenalku. Sebab kata-kata, huruf-huruf dan suara-suara itu tidak abadi. Dua bibir dan mulut ini juga tidak abadi. Semua ini tidaklah penting. Tapi kalau ia mengenalku lewat perbuatan-perbuatanku, dan mengetahui wujudku, maka aku tahu bahwa dia bisa memujiku, dan bahwa pujian itu benar-benar untukku.

Ini seperti cerita yang mengisahkan tentang seorang raja yang menitipkan anaknya pada sekelompok ilmuwan. Anak itu kemudian diajari ilmu astronomi, geografi, dan lain-lain, sampai ia menjadi seorang guru yang sempurna meski pada awalnya ia adalah anak yang dungu dan pandir. Suatu hari sang raja mengenggaman sesuatu tangannya dan menguji anaknya.

“Kemarilah, coba katakan apa yang ada dalam genggamanku ini?”

“Barang yang ayah genggam itu berbentuk bulat, berwarna kuning, dan berlubang, “jawab Pangeran.

Raja menimpali: “Kamu telah tunjukkan tanda-tanda yang benar, sekarang pastikan benda apa itu?,”

Pangeran menjawab: “Seharusnya itu adalah ayakan,”

Raja berkata: “Sungguh, kamu sudah menunjukkan banyak data yang detil, tapi semua itu jadi membingungkan. Dengan ilmu dan semangat belajarmu yang begitu kuat, bagaimana kamu bisa melupakan satu hal bahwa ayakan tidak akan muat berada di dalam genggaman?”

Seperti itulah gambaran para ilmuwan di zaman kita ini yang membelah sebutir rambut keilmuan, padahal mereka sudah mengetahui bahwa puncak pengetahuan adalah hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan pengetahuan itu sendiri dan mereka sudah sangat memahami hal itu.

Sementara itu, ada satu hal yang sangat penting dan berada sangat dekat dengan manusia ketimbang hal-hal lain yang tidak diketahui oleh ilmuwan ini, yaitu jiwa manusia. la tidak mengetahui jiwanya sendiri. la menghukumi segala sesuatu dengan halal dan haram sembari berkata: “Ini boleh dan itu tidak boleh. Ini halal dan itu haram.” Namun, ia justru tidak tahu apakah dirinya sendiri halal atau haram, boleh atau tidak boleh, suci atau tidak suci.

Sekarang, sifat-sifat seperti berlubang, berwarna kuning, berukir, dan bulat hanyalah sifat-sifat buatan semata. Ketika sebuah barang diletakkan di atas api, tidak akan ada yang tersisa darinya; barang itu akan menjadi abu halus dan tidak lagi memiliki sifat-sifat tadi. Tanda-tanda yang diberikan oleh para ilmuwan berupa ilmu-ilmu, perbuatan, dan perkataan, sama dengan sifat-sifat tersebut, ia tidak berkaitan dengan inti sesuatu meski tanda-tanda yang lainnya menghilang. Demikianlah tanda dari segala sesuatu. Sang pangeran membincangkan dan menjelaskan semua tanda, kemudian akhirnya menyimpulkan bahwa barang yang digenggam raja adalah sebuah ayakan, tanpa mengetahui apa inti atau asal dari barang itu sendiri.

Aku adalah seekor burung. Aku adalah seekor bulbul. Aku adalah seekor beo. Kalau mereka berkata padaku: “Tunjukkan jenis suara yang lain selain suaramu,” niscaya aku tidak akan bisa melakukannya. Jika lidahku memang sudah demikian, maka aku tak bisa berbicara dengan suara lain. Hal ini berbeda dengan mereka yang bukan burung yang bisa mempelajari suara-suara burung, bahkan mereka adalah musuh-musuh burung dan pemburu burung itu. Mereka bernyanyi dan bersiul dengan nada lain untuk mengelabui burung agar dirinya dianggap sebagai burung. Kalau mereka disuruh untuk mengeluarkan suara yang lain, mereka akan melakukannya karena suara itu hanya dibuat oleh mereka, meski sesungguhnya suara itu bukan milik mereka. Seperti para cendekiawan, mereka bisa membunyikan suara yang lain karena mereka telah belajar untuk mencuri suara-suara itu, dan untuk memamerkan nada itu di setiap rumah.

(bersambung)

Laman Terkait

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.