Hati Senang

Fihi Ma Fihi | Pasal 4 : Kami Muliakan Anak Keturunan Adam (2/3)

Fihi Ma Fihi Jalaluddin Rumi Penerjemah: 'Isa 'Ali Al-'Akub Penerbit : FORUM, Yogyakarta

(lanjutan)

tumpukan kertas lusuh, tak akan kubiarkan alat ini tak beroperasi. Bukankah yang demikian itu sangat menyedihkan dan menggelikan? Ketika seseorang bisa menggantung tumpukan kertas lusuh dengan paku yang terbuat dari kayu atau besi yang sangat murah, apakah masuk akal kalau dia malah menggunakan belati permata yang berharga seratus dinar?

Allah SWT telah mematok kalian dengan harga yang sangat tinggi ketika berfirman:

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. al-Taubah: 111)

Nilai kalian itu lebih tinggi daripada dua alam semesta. Lalu apa yang bisa aku perbuat kalau kalian saja tak mengerti kadar kalian sendiri?!1 Janganlah kau jual dirimu dengan harga yang murah, padahal kamu sangat indah di mata Tuhan!2

Allah SWT berfirman: “Sungguh Aku telah membeli kalian, waktu kalian, nafas kalian, harta kalian, dan hidup kalian. Kalau semua itu kau peruntukkan bagi-Ku, dan kau berikan pada-Ku, maka harganya setara dengan surga yang abadi. Inilah nilai kalian di hadapan-Ku.

Tapi kalau kamu jual dirimu pada neraka Jahannam, itu artinya kamu sudah berbuat zalim pada dirimu sendiri, seperti lelaki yang menancapkan belati berharga seratus dinar pada dinding rumahnya untuk menggantung periuk atau tumpukan kertas lusuh tadi.

Kita kembali ke awal. Bisa saja kamu menunjukkan justifikasimu dengan berkata: “Tapi aku mengabdikan seluruh kemampuanku untuk melaksanakan perkara-perkara yang luhur dan mulia. Aku belajar ilmu hukum (fiqih), filsafat, logika, astronomi. kedokteran, dan lain-lain.”

Tapi kamu melakukan semua itu untuk dirimu sendiri. Kamu belajar hukum agar tak seorang pun bisa mencuri roti dari tanganmu, atau menelanjangimu, atau bahkan membunuhmu. Ringkasnya kamu melakukannya agar kamu merasa aman. Kamu belajar astronomi dan seluk-beluk bintang dan pengaruhnya terhadap bumi, baik ringan maupun berat, yang menandakan keamanan atau bahaya, semua ini berkaitan dengan keadaanmu dan untuk melayani tujuanmu sendiri. Entah ramalan bintang sedang baik atau buruk, selalu bertalian dengan nasibmu, dan seterusnya semua karena demi dirimu sendiri.

Ketika kalian renungkan hal ini baik-baik, akan kalian dapati bahwa asal segala sesuatu adalah diri kalian sendiri, dan segala sesuatu yang lain tadi adalah cabang dari diri kalian. Jika cabang itu memiliki banyak perincian, keajaiban, dan bentuk-bentuk luar biasa yang tak berujung, maka renungkanlah apa yang kalian miliki karena kalian adalah asal dari segala sesuatu itu.

Ketika cabang-cabang itu mengalami ketimpangan, kemerosotan, kebahagiaan, dan ketidakberuntungan, renungkanlah dirimu yang menjadi asal dari semua itu; apa saja yang membuat dunia spiritual (roh) kalian mengalami semua hal itu. Roh seseorang memiliki karakteristik seperti itu, dan akan melahirkan hal-hal seperti itu juga. Karena memang pada dasarnya seorang manusia sudah seharusnya seperti ini.

Sebenarnya (jiwa) kalian itu memiliki makanan yang lain di samping makanan (materi berupa) tidur dan makan. Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Aku bermalam di sisi Tuhanku. Ia memberiku makanan dan minuman.”

Di dunia yang rendah ini, kau telah melupakan makanan lain itu karena sibuk dengan makanan materi. Siang malam kamu beri makan tubuhmu. Sekarang tubuhmu seperti seekor kuda dan dunia yang rendah ini menjadi kandangnya. Makanan kuda tentu tak akan menjadi makanan penunggangnya. Karena sang penunggang memiliki cara tidur, makan, dan kebahagiaan yang berbeda. Karena sifat hewan dan binatang mengalahkan jiwamu, maka tinggallah dirimu beserta kuda di kandangnya. Kau tak memiliki satu tempat pun di barisan raja-raja dan pimpinan negeri keabadian. Hatimu di sana, tetapi tubuhmu telah mengalahkanmu, kamu tunduk pada aturannya dan masih menjadi tawanan abadinya.

(bersambung)

Catatan:

  1. 1. Bait ini diambil dari akhir bab ke tujuh dari kitab Hadiqat al-Haqiqah (Kebun Hakikat) karya seorang sufi besar bernama Sanai al-Ghaznawi.
  2. 2. Sepertinya ini adalah potongan bait karya Rumi yang terdapat dalam Al-Diwan al-Kabir.

Laman Terkait

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.