Fihi Ma Fihi | Pasal 3 : Matilah Kalian Sebelum Kalian Mati (2/2)

Fihi Ma Fihi
Jalaluddin Rumi
Penerjemah: 'Isa 'Ali Al-'Akub
Penerbit : FORUM, Yogyakarta

(lanjutan)

.., melainkan kekhusyukan yang sempurna. Sebuah kondisi di mana bentuk apa pun tidak dapat masuk ke dalamnya, tidak ada tempat bagi mereka di sana, bahkan Jibril-yang merupakan wujud suci-sekalipun tak dapat masuk ke dalamnya.

Dikisahkan bahwa pada suatu hari para sahabat ayahku melihat ayahku (Bahauddin, semoga Allah menyucikan jiwa beliau) sedang berada dalam kekhusyukan yang sempurna. Kebetulan saat itu telah masuk waktu salat, sehingga beberapa murid memanggil ayahku: “Waktu salat telah tiba.” Ayahku tidak menghiraukan suara yang memanggil, sehingga mereka membiarkannya dan menunaikan salat tanpa ayahku. Akan tetapi, ada dua murid yang mengikuti apa yang dilakukan ayahku dan tidak ikut menunaikan salat.

Adalah Khwajagi, salah satu murid yang melaksanakan salat, ditunjukkan ke dalam mata hatinya sehingga ia bisa melihat dengan jelas bahwa punggung semua orang yang salat berjemaah di belakang imam menghadap Ka’bah (salat dengan membelakangi Ka’bah), sementara ayahku dan dua murid yang mengikutinya justru menghadap Ka’bah. Hal itu dikarenakan ayahku telah menghilangkan kekitaan serta keakuannya dan menjadi fana. Wujud mereka bertiga telah ‘mati’ dan telah meneguk cahaya Tuhan; “Matilah kalian sebelum kalian mati,” mereka telah menyatu dengan cahaya Allah. Semua orang yang memalingkan wajahnya dari cahaya Allah dan menghadapkan wajahnya ke tembok, maka mereka menghadapkan punggungnya kepada kiblat, karena cahaya Allah adalah kiblat yang sebenarnya. Cahaya Allah adalah roh dari kiblat.

Siapa saja yang menghadap Ka’bah, ketahuilah bahwa nabi Muhammad telah menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dunia. Jika Ka’bah adalah kiblat dunia, maka yang lebih utama adalah ketika Ka’bah menjadi kiblat bagi seseorang.

Nabi Muhammad Saw. pernah menegur seorang sahabat dan berkata: “Aku memanggilmu, mengapa kamu tak datang?” Sahabat itu menjawab: “Aku sedang khusyuk salat.” Nabi bertanya lagi: “Kamu betul, tetapi bukankah aku memanggilmu untuk salat?” Sahabat itu menjawab: “Aku pasrah.”

Maulana Rumi berkata: “Ada baiknya kamu untuk selalu merasa tidak mampu setiap saat, dan menganggap dirimu tidak mampu meski sebenarnya kamu mampu, seperti saat kamu benar benar tidak mampu. Hal itu karena di atas kemampuanmu, ada kemampuan yang lebih besar, dan kamu akan selalu takluk oleh Allah dalam kondisi apapun.

Dalam hal ini kamu tidak terbagi menjadi dua, terkadang mampu dan terkadang tidak mampu. Kamu melihat ada kemampuan dalam dirimu, tapi selalu menganggap dirimu tidak mampu, tidak memiliki tangan dan kaki, lemah tak berdaya. Apa yang bisa dilakukan oleh orang yang lemah ini, saat ia melihat singa-singa, seluruh harimau, semua buaya lemah dan gemetaran di hadapan Allah? Segenap langit dan bumi tunduk dan takluk pada hukum-Nya. Dia adalah Raja Yang Agung. Cahaya-Nya tidak seperti sinar bulan dan matahari, yang mana benda masih dapat tegak berdiri di bawah sinar bulan dan matahari itu. Akan tetapi, saat cahaya-Nya terpancar tanpa ada selubung, tidak akan ada lagi langit, tidak pula bumi, tidak ada matahari, tidak juga bulan, tidak ada lagi yang tersisa selain Sang Raja.


Hikayat

Seorang raja berkata pada darwis: “Ketika nanti kamu telah sampai pada tingkat tajali1 dan berada dekat di sisi Allah SWT, ingatlah kepadaku!” Darwish itu menjawab: “Ketika aku sampai ke hadirat Allah SWT, dan cahaya matahari keindahan-Nya memancar kepadaku, aku tidak akan lagi mengingat siapa diriku. Lalu bagaimana aku akan mengingatmu?” Ketika Allah telah memilih seorang hamba dan menjadikannya lebur secara sempurna bersama diri-Nya, maka setiap orang yang memegang kakinya dan memohon bantuan kepadanya, Allah yang akan mendengar keinginan mereka. Meski orang agung yang berada di sisi Allah itu tidak ingat siapa yang meminta bantuan kepadanya, Dia akan tetap memberikan apa yang mereka inginkan.

Konon ada seorang raja yang memiliki hamba yang sangat khusus. Ketika hamba ini sedang berjalan menuju istana kerajaan, orang-orang yang mempunyai keinginan menitipkan sebuah qishash2 dan beberapa buah buku kepadanya, dengan harapan ia akan membacakannya di hadapan sang raja. Hamba itu kemudian memasukkan qishash dan beberapa buah buku itu ke dalam tasnya. Ketika ia telah tiba di hadapan baginda raja, ia tak mampu menahan cahaya keindahan yang terpancar dari sang pemilik kerajaan, ia pun jatuh dan tak sadarkan diri tepat di depan sang raja.

Baginda,dengan maksud bergurau, memasukkan tangannya ke dalam saku dan tas hambanya yang khusus itu, seraya berkata: “Apa yang dimiliki oleh hamba yang kagum kepadaku dan melebur ke dalam keindahanku ini.” Raja memungut qishash dan buku yang dititipkan oleh rakyat kepadanya. Setelah selesai membaca semuanya, sang raja kemudian memerintahkan untuk mengabulkan semua harapan dan keinginan yang tercatat dalam tulisan itu dengan menulis di atasnya, lalu raja mengembalikan ke dalam tas hambanya yang khusus itu. Demikianlah, “sang raja” mengabulkan segala harapan dan keinginan semua orang tanpa perlu dituturkan oleh hambanya tersebut, dan tanpa ada satu keinginan pun yang ditolak. Bahkan mereka mendapatkan yang diinginkan berlipat ganda dan jauh lebih banyak dari yang mereka harapkan. Sementara para hamba lainnya yang sadar, dan mampu menyampaikan qishash rakyat di hadapan baginda raja, jarang dan bahkan sedikit sekali yang dikabulkan, mungkin hanya satu dari seratus harapan dan impian yang mereka sampaikan.[]

Catatan:

  1. Langkah ketiga dalam tahapan metode pembersihan hati: Takhalli (membersihkan hati dari keterikatan dengan dunia), Tahalli (mengisi hati yang telah kosong dari keterikatan dunia dengan hanya Allah), dan Tajalli (lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak dapat dilukiskan)
  2. Lembaran-lembaran yang berisi berbagai harapan para rakyat tentang keinginan-keinginan mereka yang hendak diberikan kepada sang raja