Fihi Ma Fihi | Pasal 2 : Manusia Adalah Astrolab Allah (1/2)

Fihi Ma Fihi
Jalaluddin Rumi
Penerjemah: 'Isa 'Ali Al-'Akub
Penerbit : FORUM, Yogyakarta

SESEORANG berkata: “Maulana tidak mengucap sepatah kata pun.” Maulana Rumi berkata: “Baiklah, pikiranku yang membawa orang itu kepadaku. Tetapi pikiranku tidak bisa mengatakan: “Bagaimana kabarmu? Atau bagaimana kabar semua yang ada bersamamu?” Pikiran tanpa kata-kata ini yang telah membawa orang itu kemari. Jika hakikat dalam diriku membawanya kemari dan dapat membawa dirinya ke tempat yang lain, lalu apa hebatnya kata-kata itu?”

Kata-kata adalah bayangan dan cabang dari hakikat; jika bayangan bisa menarik sebuah benda, maka tentu hakikat akan jauh lebih bisa. Kata-kata adalah media. Yang sesungguhnya membawa manusia kepada orang lain adalah unsur harmoni (keserasian) nya, dan bukan kata-kata. Bahkan ketika seseorang telah melihat seratus ribu mukjizat, fakta, dan karomah, sementara tidak ada unsur harmoni yang mengikatnya dengan nabi atau wali yang menunjukkan kejadian luar biasanya itu, maka semua itu tidak akan ada gunanya sama sekali. Unsur harmoni itulah yang membuat seorang manusia merasa bersemangat, bingung, dan sekaligus tidak tenang. Seandainya di dalam jerami tidak ada amber, maka jerami itu tidak akan pernah tertarik pada amber. Keserasian ini sangatlah samar dan tak terlihat oleh mata.

Pemikiran tentang sesuatulah yang membawa orang tersebut datang kepada sesuatu yang dipikirkannya. Memikirkan taman akan membawa seseorang menuju taman, dan memikirkan toko akan mengantarkan orang itu ke toko. Tetapi di antara pemikiran-pemikiran ini terdapat sesuatu yang palsu dan sulit dibedakan. Bukankah kamu pernah mendatangi suatu tempat, tetapi kemudian kamu menyesal karena telah mendatanginya dan berkata: “Aku pikir ini tempatnya, tapi ternyata bukan”?

Pemikiran ini laksana sebuah kemah yang di dalamnya terdapat seseorang yang sedang bersembunyi. Ketika pemikiran menghilang dari pandangan dan hanya hakikat tanpa selubung pemikiran yang tampak, maka akan terjadi kebingungan yang luar biasa. Jika hal itu terjadi, tidak akan ada lagi penyesalan. Ketika muncul hakikat yang menarikmu, maka tidak akan ada hal lain lagi selain hakikat itu. Hakikat itu sendirilah yang menarikmu: “Pada hari dinampakkan segala rahasia (QS. al-Thariq: 9]. “Lantas apa gunanya berbicara?

Sesungguhnya sesuatu yang menarik hanya ada satu, tetapi muncul dalam bentuk yang bermacam-macam. Tidakkah kamu sadar bahwa manusia dikuasai oleh ratusan keinginan yang berbeda- beda? Seseorang berkata: “Aku ingin tutamaj (semacam bihun), aku ingin burik (perkedel daging dengan saus)1, aku ingin halwa, aku ingin kue kering, aku ingin buah, aku ingin kacang-kacangan.” Manusia menghitung semua hal ini dan menamainya satu persatu, akan tetapi asal dari semua yang disebutkan tadi hanya ada satu, yaitu lapar. Jika orang itu telah memenuhi isi perutnya dengan salah satu makanan tersebut, maka ia berkata: “Tak ada lagi yang dibutuhkan dari makanan-makanan itu.”

Jadi, dapat dipahami bahwa sesuatu yang menarik diri manusia bukanlah berjumlah sepuluh atau seratus, melainkan hanya ada satu: “Dan tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi fitnah [QS. al-Muddatsir: 31]. Bagi manusia, bilangan itu adalah fitnah (cobaan). Ada yang berkata: “Orang itu hanya satu, dan mereka ada seratus,” atau dengan kata lain mereka berkata: “Wali hanya ada saru sementara manusia biasa ada banyak, seratus ribu.” Ini adalah fitnah yang besar. Pandangan dan pemikiran yang membuat mereka menganggap manusia itu ada banyak dan wali hanya ada satu itulah fitnah yang besar.

“Dan tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi fitnah.” Jika sudah demikian, lalu seratus yang mana? Lima puluh yang mana? Dan enam puluh yang mana? Beberapa orang tanpa tangan dan kaki, tanpa akal dan jiwa, bergetar bagaikan jimat ajaib dan air raksa. Mengenai mereka, kamu berkata bahwa mereka berjumlah enam puluh, seratus, atau seribu. Sementara tentang wali itu, kamu berkata bahwa dia hanya ada satu. Sejatinya, jumlah mereka yang banyak itulah yang satu, dan wali itulah yang berjumlah seribu, seratus ribu, dan ratusan ribu.

Sedikit jika dihitung, dan banyak ketika diikat.2Seorang raja memberikan kepada satu tentaranya seporsi makanan untuk seratus tentara. Tentara lainnya mengeluh. Baginda raja berkata di dalam hatinya: “Akan tiba waktunya aku akan beritahukan pada kalian alasannya, dan kalian akan mengerti mengapa hal ini harus kulakukan.” Ketika perang besar terjadi, semua tentaranya melarikan diri hingga tersisa satu tentara itu sendirian. Raja berkata: “Inilah tujuanku memberimu porsi makanan untuk seratus tentara.”

Seorang manusia harus membersihkan sifat tamyiznya dari berbagai macam kepentingan, dan hendaknya mencari teman di jalan Allah, sebab agama seseorang bisa diketahui lewat teman yang dikenalnya. Selain itu jika seseorang menghabiskan usianya untuk bersahabat dengan mereka yang sifat tamyiznya kurang, maka sifat tamyiz yang dimilikinya juga akan melemah, dan akhirnya sahabat sejatinya itu akan berlalu tanpa kita sadari. Kamu melayani tubuh yang tidak memiliki sifat tamyiz.

Tamyiz adalah sifat yang selalu tersembunyi dalam jiwa manusia. Tidakkah kamu melihat bahwa orang gila juga memiliki tangan dan kaki tetapi kekurangan sifat tamyiz? Tamyiz, sekali lagi, adalah esensi murni yang terdapat dalam dirimu, sementara kamu asyik memberi makan dan minuman pada tubuh yang tak ber-tamyiz siang dan malam. Bahkan kamu berpendapat bahwa tubuh berdiri di atas sifat ini, padahal justru tamyiz inilah yang berdiri di atas tubuh.

Bagaimana bisa kamu mencurahkan seluruh kemampuanmu untuk menjaga tubuh ini sementara kamu sepenuhnya melalaikan esensi yang murni? Pada hakikatnya, tubuh ini bergantung pada esensi itu, tetapi esensi tidak bergantung pada tubuh. Cahaya yang terpancar dari jendela-jendela mata, telinga, dan lainnya. Seandainya jendela- jendela ini tidak ada, maka cahaya itu akan tetap terpancar melalui jendela-jendela yang lain.

Misalnya kamu meletakkan sebuah lentera di hadapan matahari sembari berkata: “Aku dapat melihat matahari dengan lentera ini.” Hal ini tentu tidak mungkin, bahkan jika misalnya kamu tidak meletakkan lentera itu di depannya, matahari tetap akan memancarkan sinarnya kepadamu. Lantas apa gunannya sebuah lentera?

Kita seharusnya tidak pernah berputus asa kepada Allah, karena harapan adalah permulaan bagi jalan keselamatan. Jika kamu tidak dapat melintas di jalan itu, maka usahakanlah paling tidak untuk berada di garis start jalan itu. Jangan pernah katakan “Jalanku sungguh berliku, aku telah melakukan banyak kesalahan.” Teguhlah di jalan istiqamah! Maka tidak akan ada lagi kesalahan-kesalahan lainnya.

(bersambung)

Catatan:

  1. Salah satu jenis makanan yang terkenal di sekitar lingkungan Maulana Rumi pada masanya.
  2. Kalimat ini adalah potongan dari bait puisi yang digubah oleh Abu at-Tayyib al-Mutanabbi, dengan versi yang lengkap sebagai berikut:

    Aku akan mencari hakikat diriku dengan jalan dan bantuan para masayikh

    Seolah-olah mereka tak berjenggot, karena saking lamanya mencium

    Berat untuk kehilangan mereka, tapi ringan untuk memanggil mereka

    Begitu banyak ketika diikat, tetapi sedikit saat dihitung