Etika Buang Air – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 005 Kitab Bersuci dari Najis - Bidayat-ul-Mujtahid

Bab VI

Etika Buang Air.

 

Kebanyakan etika beristinja’ menurut ‘ulamā’ fikih dipahami sebagai amalan yang sunnah, semuanya diketahui dalam hadits, seperti pergi ke tempat yang jauh ketika hendak buang air besar, tidak berbicara, larangan bersuci (cebok) dengan tangan kanan, tidak menyentuh kemaluan dengan tangan kanan dan amalan lainnya yang dijelaskan dalam hadits.

Para ‘ulamā’ hanya berbeda pendapat dalam satu masalah, yaitu tentang menghadap Qiblat dan membelakanginya bagi orang yang buang air besar dan kecil, dalam hal ini para ‘ulamā’ terbagi kepada tiga pendapat:

  1. Tidka boleh menghadap Qiblat dan membelakanginya ketika buang air besar dan kecil di mana pun ia berada.
  2. Boleh secara mutlak.
  3. Boleh apabila dalam bangunan dan tidak boleh jika di tempat terbuka.

Sebab perbedaan pendapat: Dua hadits shaḥīḥ yang saling bertentangan:

Pertama: Hadits Abū Ayyūb al-Anshārī, Nabi s.a.w. bersabda:

إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَ لَا تَسْتَدْبِرُوْهَا وَ لكِنْ شَرِّقُوْا أَوْ غَرِّبُوْا.

Jika kalian hendak buang air besar, maka janganlah menghadap Qiblat, dan membelakanginya akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat.” (1601).

Kedua: Hadits ‘Abdullāh bin ‘Umar, ia berkata:

اِرْتَقَيْتُ عَلَى ظَهْرِ بَيْتِ أُخْتِيْ حَفْصَةَ فَرَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَاعِدًا لِحَاجَتِهِ عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الشَّامِ مَسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةَ.

Aku pernah naik ke atas rumah saudariku Ḥafshah, lalu aku melihat Rasūlullāh s.a.w. yang sedang duang air sambil duduk di atas dua bata dengan menghadap Syām dan membelakangi Qiblat.” (1612).

Para ‘ulamā’ dalam memahami dua hadits ini menempuh tiga jalan:

Pertama: Menggabungkan.

Kedua: Men-tarjīḥ.

Ketiga: Kembali kepada hukum asal tatkala terjadi kontradiksi (yang dimaksud dengan hukum asal adalah tidak adanya hukum).

‘Ulamā’ yang berusaha untuk menyatukan, mereka memahami hadits Abū Ayyūb al-Anshārī untuk buang air di padang sahara atau tempat yang tidak tertutup, sementara hadits Ibnu ‘Umar untuk tempat yang tertutup, ini adalah madzhab Mālikī.

Lalu kelompok yang menempuh cara tarjīḥ, mereka memperkuat hadits Abū Ayyūb, karena apabila terjadi kontradiksi di antara dua hadits: salah satunya menetapkan hukum sementara yang lain sesuai dengan hukum asal, yaitu tidak adanya hukum, lalu yang terlebih dahulu dari keduanya tidak diketahui, maka yang wajib diamalkan adalah hadits yang menetapkan hukum, karena wajibnya pengamalan telah ditetapkan oleh riwayat yang adil, demikian pula meninggalkannya walaupun melalui jalur yang adil bisa saja terjadi sebelum penetapan, bisa pula setelahnya.

Maka tidak semestinya kita meninggalkan sebuah pengamalan hanya karena dugaan adanya riwayat yang menghapus hukum tersebut, kecuali jika ada keterangan nyata bahwa hadits tersebut datang terakhir, karena dugaan-dugaan yang bisa dijadikan sandaran hukum adalah terbatas (yakni dugaan yang bisa menghapus dan menetapkan hukum), tidak semua dugaan bisa disepakati.

Karena itulah mereka mengatakan bahwa pengamalan tidak wajib karena dugaan, dan yang mewajibkan hanyalah hukum asal yang pasti, tegasnya hukum asal itulah yang menetapkan hukum.

Alur pemikiran seperti ini adalah jalan yang ditempuh oleh Muḥammad bin Ḥazm al-Andalusī, ini adalah cara bagus yang menempuh jalan ahli fikih dan kalām, masalah ini kembali kepada sebuah kaidah sesungguhnya sesuatu yang tetap dengan dalil tidak bisa diganggu gugat hanya karena dugaan.

Sementara kelompok yang memahami masalah ini dengan mengembalikannya kepada hukum asal, pendapat mereka berdasarkan kaidah bahwa keraguan bisa menghilangkan hukum, inilah pendapat Dāūd azh-Zhāhirī, akan tetapi Abū Muḥammad bin Ḥazm menyelisihinya dalam masalah ini walaupun ia adalah salah seorang pengikutnya.

Al-Qādhī berkata: “Inilah beberapa masalah yang ingin kami tetapkan, dugaan kami bahwa semuanya berlaku dalam terapan ushul fikih, semuanya merupakan masalah yang diungkapkan oleh syariat (kebanyakan berhubungan dengan dalil yang diungkapkan syariat, baik secara langsung atau tidak).

Kalau saja anda mengingatkan kami dalam satu masalah tentangnya, maka kami akan menetapkannya dalam buku ini, kebanyakan masalah ini merujuk kepada kitab al-Istidzkār, dan saya sendiri telah mengidzinkan bagi orang yang mendapatkan kesalahan dalam buku ini untuk mengoreksinya, hanya Allah-lah Pemberi pertolongan dan Pemberi taufiq.

Catatan:

  1. 160). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (394), Muslim (264), Abū Dāūd (9), at-Tirmidzī (8), an-Nasā’ī (1/22), Ibnu Mājah (318), Aḥmad (5/416, 417), dan Abū ‘Awānah (1/199).
  2. 161). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (145, 148, 149, 3102), Muslim (266), Abū Dāūd (12), at-Tirmidzī (11), an-Nasā’ī (1/33), Ibnu Mājah (322), dan Aḥmad (5/41, 99).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *