Pernah seorang Salafī Wahhābī berkata kepada kami, bahwa dzikir dengan suara keras haditsnya dha‘īf semua. Dan saat itu kami membicarakan tentang mujāhadah dzikir yang diadakan di pesantren tempat kami nyantri di Grobogan. Kami hanya berfikir, betapa beraninya dia dan tidak ilmiah dalam mencetuskan sebuah hukum.
Berdzikir dengan berjamā‘ah atau dengan keras terdapat dasar haditsnya semua. Dan di sini kami ingin memaparkan hukum dzikir keras dan berjamā‘ah menurut ‘ulamā’ Islam dengan didampinginya ayat-ayat al-Qur’ān dan hadits-hadits Nabi yang cukup.
Di antara syubhat mereka yang melarang keras adalah berdasar dalil al-Qur’ān berikut ini:
وَ اذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَ خِيْفَةً وَ دُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَ الْآصَالِ وَ لَا تَكُنْ مِّنَ الْغَافِلِيْنَ
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”. (QS. al-A‘rāf: 205).
Dan juga ayat:
ادْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَ خُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”. (QS. al-A‘rāf: 55).
Dengan kedua ayat di atas mereka memahami bahwasanya dzikir dengan suara keras adalah terlarang dan haram.
Dan berikut ini adalah penjelasan tentang ayat di atas:
وَ لَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَ لَا تُخَافِتْ بِهَا وَ ابْتَغِ بَيْنَ ذلِكَ سَبِيْلًا.
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara keduanya”. (QS. al-Isrā’: 110).
Dan pasca Rasūlullāh s.a.w. hijrah ke Madīnah, membaca al-Qur’ān dengan keras diperbolehkan dengan bebas. (HR. Bukhārī Muslim). Dikutip dari Tafsīr Ibni Katsīr juz V, hal. 129 (Maktabah Syamilah).
Dan alasan atau ta’wīl di atas dapat dilihat dalam kitab al-Ḥāwī lil-Fatāwā karya al-Ḥāfizh as-Suyūthī, penulis kitab hadits besar al-Jāmi‘-ul-Kabīr dan al-Jāmi‘-ush-Shaghīr. (711).
Sedangkan pada ayat kedua (surat al-A‘rāf ayat 55) yang secara tekstual melarang doa dengan keras, maka sebagaimana dikatakan al-Ḥāfizh as-Suyūthī dalam al-Ḥāwī lil-Fatāwā bahwa maksud dari ayat tersebut adalah dzikir dengan keras yang melewati batas atau membuat-buat doa yang tidak ada dasarnya dari syarī‘at. Atau yang dimaksudkan adalah anjuran bahwa saat berdoa sebaiknya dengan suara lirih. Dan dari semua itu menjadi jelas bahwasanya tidak ada larangan haram berdzikir dengan keras. (722).
Adapun dalil yang memperbolehkan dzikir dengan keras adalah:
أَنَا عِنْدَ ظَنَّ عَبْدِيْ بِيْ وَ أَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ وَ إِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ.
“Aku adalah menurut penyangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Dan Aku akan bersamanya ketika dia berdzikir kepada-Ku, jika dia berdzikir kepada-Ku dalam hatinya (sendirian), maka Aku akan menyebutnya dalam hati-Ku (Sendiri), dan jika dia berdzikir kepada-Ku di tengah kolompok manusia, maka Aku akan menyebutnya di tengah kelompok yang lebih baik dari kelompok tersebut.” (HR. Bukhārī).
Dzikir di tengah jamā‘ah maksudnya adalah bersuara keras.
مَا مِنْ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلَّا حَفَّتْ بِهِمِ الْمَلَائِكَةُ وَ غَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَ نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِيْنَةُ وَ ذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ.
“Tidak ada satu kaum yang berdzikir kepada Allah kecuali kaum tersebut akan dikelilingi malaikat dan dinaungi dengan rahmat dan diturunkan kedamaian kepada mereka serta Allah akan menyebut mereka di depan makhluk yang bersama dengan-Nya.” (HR. Muslim dan Tirmidzī).
جَاءَنِيْ جِبْرِيْلُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ مُرْ أَصْحَابَكَ فَلْيَرْفَعُوْا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ. وَ فِيْ رِوَايَةٍ بِالتَّكْبِيْرِ.
“Malaikat Jibrīl telah datang kepadaku dan mengatakan: “Perintahkanlah sahabatmu untuk mengeraskan suaranya saat bertalbiyah.”
Sebagian riwayat dengan takbīr. Baik talbiyah atau takbīr, semua termasuk dzikir.
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا: وَ مَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ.
“Jika kalian melewati kebun surga, maka ambillah rumput di sana.” Kemudian para sahabat bertanya: “Wahai Rasūlullāh, apakah kebun surga tersebut?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ḥalaqah dzikir”.” (HR. Baihaqī).
إِنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ (ص).
“Sungguh mengeraskan suara dalam berdzikir saat orang-orang selesai melaksanakan shalat maktubah sudah ada di zaman Nabi Muḥammad s.a.w.” (HR. Aḥmad, Bukhārī dan Muslim).
Imām as-Suyūthī dalam risalahnya, Natījat-ul-Fikri fil-Jahri fidz-Dzikr, yang tercatat dalam kitabnya al-Ḥāwī lil-Fatāwā, menyebutkan ada 25 hadits, baik shaḥīḥ, ḥasan atau dha‘īf yang menerangkan tentang sunnahnya melakukan halaqah dzikir (mujāhadah bersama) dan berdzikir dengan suara keras. Meskipun terdapat juga hadits Nabi s.a.w. yang menerangkan tentang baiknya melakukan dzikir tidak dengan suara keras.
Sedangkan dalil berdzikir dengan suara bersama-sama, selain sebagian dari hadits di atas, adalah sabda Rasūlullāh s.a.w. berikut:
إِنَّ للهِ مَلَائِكَةً يَطُوْفُوْنَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُوْنَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوْا قَوْمًا يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَنَادُوْا هَلُمُّوْا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ: فَيَحُفُّوْنَهُمْ بَأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَ هُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُوْلُ عِبَادِيْ قَالُوْا يَقُوْلُوْنَ يُسَبِّحُوْنَكَ وَ يُكَبِّرُوْنَكَ وَ يَحْمَدُوْنَكَ وَ يُمَجِّدُوْنَكَ.
“Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang berputar di jalan-jalan untuk mencari ahli dzikir. Maka tatkala mereka menemukan kaum yang berdzikir kepada Allah, para malaikat tersebut berseru: “Sampaikan hajat kalian semuanya”. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Maka kemudian malaikat mengepung mereka dengan sayap-sayapnya sampai ke langit dunia.” Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Kemudian Rabb mereka bertanya, dan Dia adalah Dzāt Yang Maha Mengetahui daripada mereka: “Apa yang hamba-hambaKu ucapkan?” Malaikat menjawab: “Mereka semuanya mengucapkan tasbih, takbir, tahmid dan mengagungkan Engkau.” (HR. Bukhārī dan Muslim).