69. إِذَا رَأَيْتَ عَبْدًا أَقَامَهُ اللهُ تَعَالى بِوُجُوْدِ الْأَوْرَادِ وَ أَدَامَهُ عَلَيْهَا مَعَ طُوْلِ الْأَمْدَادَ فَلَا تَسْتَحْقِرَنَّ مَا مَنَحَ مَوْلَاهُ لِأَنَّكَ لَمْ تَرَ عَلَيْهِ سِيْمَا الْعَارِفِيْنَ وَ لَا بَهْجَةَ الْمُحِبِّيْنَ فَلَوْ لَا وَارِدَ مَا كَانَ وِرْدٌ.
Jangan kau pandang sebelah mata seorang hamba yang telah ditetapkan, dilanggengkan, dan ditolong Allah dalam melaksanakan berbagai wirid, hanya karena kau tidak melihat dalam dirinya tanda orang-orang ‘ārif atau kegenitan kaum pencinta Tuhan. Sebab, kalau tidak ada limpahan karunia dari Allah, tentu wirid dari orang itu tidak akan pernah ada.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
“Ditolong” ialah dipalingkan dari kesibukan-kesibukan yang membuat hamba tersebut lupa melakukan wirid. Adapun makna “dilanggengkan” di sini adalah dibuat terus melaksanakan wirid itu sepanjang zaman. Ini adalah sifat para zāhid dan ‘ābid.
“Tanda orang-orang ‘ārif” ialah karakter orang-orang ‘ārif yang meninggalkan ikhtiar dan tidak memedulikan nasib dan keinginan diri mereka, serta selalu hadir di hadapan Allah. Adapun maksud “kegenitan para pencinta Tuhan” ialah bukti-bukti dan pengaruh cinta yang tampak pada diri orang-orang yang mencintai Allah (muḥibbīn). Jika sudah tertanam dalam hati, pengaruh cinta kepada Allah akan tampak pada seluruh anggota tubuh. Misalnya adalah dengan sering berzikir mengingat-Nya, segera melaksanakan perintah-Nya, dan mengabaikan selain-Nya. Ia selalu berusaha untuk melayani-Nya, menikmati munajat kepada-Nya, dan lebih mengutamakan-Nya daripada selain-Nya.
Ibnu ‘Athā’illāh melarang untuk meremehkan orang semacam itu (yakni yang istiqāmah melakukan wirid, namun tidak terlihat pada dirinya tanda-tanda kaum ‘ārif dan pencinta Tuhan). Alasannya, kalau tidak ada limpahan karunia dari Allah, tentu orang itu tidak akan melakukan wirid dan istiqamah dalam berwirid.
“Wirid” bermakna segala amal ibadah yang dihasilkan dari upaya mujāhadah seorang hamba, baik itu berupa shalat, puasa, dzikir, maupun ibadah lainnya. Dengan demikian, jika kau meremehkan orang seperti itu, itu artinya, kau sudah berlaku tidak sopan terhadapnya.
Kesimpulannya, hamba-hamba Allah yang khusus (khawwāsh) terbagi menjadi dua golongan: muqarrabūn dan abrār. Muqarrabūn adalah orang-orang yang tidak mempedulikan nasib dan keinginan diri mereka, serta lebih mengedepankan pelaksanaan hak-hak Allah sebagai bentuk penghambaan (‘ubūdiyyah) kepada-Nya dalam rangka mencari ridha-Nya. Mereka adalah kaum ‘ārif sekaligus muḥibbīn (pencinta Allah). Sementara itu, abrār ialah orang-orang yang dalam ibadah mereka masih memedulikan nasib dan keinginan diri. Mereka melaksanakan ibadah kepada Allah karena ingin mendapat surga dan selamat dari neraka. Sekalipun demikian, Allah tetap memberikan pertolongan-Nya kepada kedua golongan ini sesuai maqām mereka masing-masing.
70. قَوْمٌ أَقَامَهُمُ الْحَقُّ لِخِدْمَتِهِ وَ قَوْمٌ اِخْتَصَّهُمْ بِمَحَبَّتِهِ كُلًّا نُمِدُّ هؤُلَاءِ وَ هؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ وَ مَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُوْرًا.
Ada orang-orang yang Allah tetapkan untuk melayani-Nya. Ada pula orang-orang yang Allah pilih untuk mencintai-Nya. “Kepada tiap-tiap golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidaklah terbatas.” (al-Isrā’ [17]: 20).
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang melayani-Nya” adalah orang-orang yang menaati Allah secara lahir. Mereka adalah para zāhid dan ‘ābid yang layak menempati surga-Nya. sementara itu, yang dimaksud dengan “orang-orang yang mencintai-Nya” adalah para muḥibbīn dan ‘ārif yang didekati-Nya dan masuk ke hadirat-Nya. Kedua kelompok ini sama-sama ingin melayani dan mendekatkan diri kepada Allah. Bedanya, kelompok pertama lebih banyak dengan anggota tubuh, sedangkan kelompok kedua lebih banyak dengan hati.
Pengelompokan ini merupakan kehendak Allah. Oleh karena itu, terlarang bagi hamba yang memahami hal ini untuk meremehkan atau memandang rendah salah satu kelompok tersebut.
Abū Yazīd berkata: “Allah melongok ke dalam hati para wali-Nya. Di antara mereka, ada yang belum layak mengemban makrifat, maka Allah akan menyibukkan mereka dengan ibadah.”