Cobaan Orang Mukmin – Kitab-ush-Shidq (2/3)

JALAN CINTA MENUJU ALLAH
 
Dari naskah ath-Tharīqu ilā Allāh atau Kitāb ash-Shidq
 
Oleh: Abū Sa‘īd al-Kharrāz
Penerbit: Pustaka Shufi

Rangkaian Pos: Maqam-maqam Orang Yang Benar - Kitab-ush-Shidq

Dan coba renungkan pula ujian besar yang diterima oleh Nabi Musa a.s., padahal beliau mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah s.w.t. Pertama, ketika beliau akan dilahirkan, betapa banyak wanita hamil dan bayi yang baru dilahirkan dibunuh Fir‘aun untuk mencari Musa. Ujian dan bencana tersebut menimpa makhluk yang lain. Kemudian dalam firman-Nya yang lain, Allah s.w.t. menginformasikan tentang Nabi Musa a.s.:

فَأَصْبَحَ فِي الْمَدِيْنَةِ خَائِفًا يَتَرَقَّبُ.

Musa menjadi ketakutan tinggal di kota itu, menanti-nanti dengan cemas.” (al-Qashash: 18)

Menanti dengan cemas, maksudnya adalah menunggu dengan saksama akan akibat dari pembunuhan yang telah beliau lakukan dengan perasaan sangat takut. Selain itu, ada pula firman Allah s.w.t.:

إِنَّ الْمَلأَ يَأْتَمِرُوْنَ بِكَ لِيَقْتُلُوْكَ فَاخْرُجْ إِنِّيْ لَكَ مِنَ النَّاصِحِيْنَ. فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ قَالَ رَبِّ نَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ.

Sesungguhnya raja dan para pembesar negeri ini sedang mengadakan perundingan untuk membunuhmu. Karena itu, larilah! Aku memberimu nasehat dengan jujur. Lalu Musa pun menyingkir dari kota itu, dengan perasaan takut dan penuh rasa khawatir. Beliau berdoa: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari intaian orang-orang zalim tersebut.” (al-Qashash: 20-21).

Sesudah itu, hendaklah kamu renungkan kembali, wahai murid yang terkasih! Bukankah seseorang yang memohon kemuliaan dari Allah s.w.t. seharusnya tidak banyak berbicara tentang masalah takdir yang telah ditentukan Tuhan kepadanya. Dia harus menerimanya dengan hati yang tenang dan ridha, tidak peduli takdir apapun yang menimpanya. Bukankah kamu pun tahu bahwa Nabi Musa a.s. belum bisa mengawini istrinya, kecuali setelah menggembala kambing dan berbakti kepada ayah dari calon istrinya selama sepuluh tahun. Sesudah itu, kemudian Allah s.w.t. mengutusnya menjadi Nabi, berbicara dengannya. Serta mengaruniainya banyak mukjizat. Hal ini sebagaimana yang terlihat dalam firman Allah kepada Musa dan Harun:

لاَ تَخَافَا إِنَّنِيْ مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَ أَرى

Jangan kalian berdua merasa takut, sesungguhnya Aku bersama kalian. Aku Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (Thaha: 46)

Jika Allah berfirman pada keduanya: “Janganlah kalian berdua merasa takut!” apakah mereka berdua merasa takut?! Bukankah Allah s.w.t. telah melengkapi diri mereka dengan mukjizat berupa sebilah tongkat? Keduanya telah menunjukkan tongkat mukjizat tersebut untuk melenyapkan tipu daya para ahli sihir Fir‘aun, dan bahkan dalam suatu peristiwa lain dapat menghancurkan bala tentera Fir‘aun di Laut Merah, sehingga keduanya keluar sebagai pemenang atas musuh-musuh Allah yang ditenggelamkan oleh mereka.

Demikian pula dengan cerita Nabi Yusuf a.s. kala beliau diberitahukan dalam firman-Nya: “Bahwa beliau akan dibuang ke dalam sumur tua, kemudian dijual dengan harga yang murah hanya beberapa dirham saja, dan beliau adalah seorang yang sangat dibenci saudara-saudaranya sendiri. Musibah dan bencana terus menimpa Nabi Yusuf sesudah itu, sampai beliau difitnah melakukan sesuatu yang tidak senonoh dengan istri tuannya sendiri, lalu kemudian ditahan dalam penjara sekian tahun lamanya.

Kemudian, coba kamu perhatikan betapa Allah s.w.t. telah mengangkat derajat Nabi Yusuf a.s. jauh di atas saudara-saudaranya, sampai kemudian Allah mendatangkan mereka semua tunduk terhadap Nabi Yusuf. Dan Allah s.w.t. telah menunjukkan kekuasaan-Nya dengan mengangkat Nabi Yusuf menjadi seorang bendaharawan negeri tersebut.

Demikian pula dengan kisah para nabi yang lain yang disebutkan oleh Allah s.w.t. dalam al-Qur’an yang mulia. Semuanya merupakan tauladan buat umat manusia, semoga dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada kita, juga dari apa yang telah diberitakan kepada kita dari para ulama yang mempunyai perjalanan yang lurus dan yang menumpahkan segala perhatiannya di jalan yang diridhai oleh Allah s.w.t.

Sebagai contoh, ambil saja pribadi Sayyidina ‘Umar Ibn al-Khaththab r.a. Di mana diriwayatkan bahwa ke mana saja beliau menuju, maka Setan lari menjauhinya. Dan dalam riwayat yang lain dikatakan bahwasanya Setan akan lari, karena tidak sanggup melihat dahi Sayidina ‘Umar. Padahal sebelumnya, beliau selalu berada di hadapan berhala Lata dan ‘Uzza untuk mengadakan upacara yang diridhai oleh Setan sebelum masuk Islam.

Renungkanlah pribadi ‘Umar Ibn al-Khaththab itu, betapa beliau bisa mengganti kondisinya, sehingga menjadi seorang yang amat ikhlas kepada Allah s.w.t. dan seorang yang benar dalam agamanya, padahal sebelum itu beliau merupakan musuh utama dan orang yang amat keras menentang Islam. Sebab pernah diriwayatkan dari Tsabit al-Bunani r.a. bahwasanya beliau menanggung kesukaran mempelajari Al-Qur’an selama dua puluh tahun, kemudian beliau merasakan kenikmatannya selama dua puluh tahun juga.

Menurut sebagian ahli hikmah bahwa sesungguhnya ada sebagian orang yang menanggung pahit-getir kesabaran secara terus-menerus, sehingga lama-kelamaan ia merasakannya bagaikan madu. Dan menurut sebagian yang lain, setiap ada kesenangan, niscaya sebelumnya ada penderitaan. Barang siapa yang berani menempuh penderitaan, niscaya akan berakhir dengan kesenangan. Barang siapa yang takut menanggung penderitaan, dan tidak berani menghadapinya, niscaya ia akan abadi dalam penderitaannya.

Tanya: “Jika demikian, untuk mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah s.w.t. berarti harus menerima cobaan dan ujian?”

Jawab: “Betul, memang demikianlah semestinya. Setiap hamba yang telah sampai ke tingkat yang tinggi di sisi Allah s.w.t., yang biasa disebut ahl al-ma‘rifah, mesti merasakan semua syarat-syarat tersebut. Dalam sebuah hadis sahih pernah dikatakan bahwasanya Nabi Muhammad s.a.w. pernah ditanya: “Siapakah orang yang paling berat menanggung ujian?” Beliau menjawab: “Adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang seumpama mereka dan yang seumpama mereka.”

Bahkan pernah dikatakan bahwa setiap orang itu akan diuji dengan aneka bencana menurut kadar keagamaannya. Jika imannya teguh, niscaya ujiannya lebih berat. Dan sebaliknya, jika imannya lemah, maka ujiannya pun akan ringan. Buktinya, pada mulanya, para nabi, diberikan kemuliaan risalah oleh Allah s.w.t, setelah itu digembirakan dengan kenabian, kemudian diuji dengan aneka bencana dan musibah. Meski demikian, mereka tetap mampu menanggung segala bencana yang mereka terima sesuai dengan kadar kemuliaan dan kehormatan yang dianugerahkan Allah kepada mereka, sampai akhirnya mereka merasa tuntas dengan segala macam bencana tersebut dan menjadi terbiasa. Mereka terus bersabar demi Allah s.w.t. sampai akhirnya keluar sebagai pemenang.

Demikian pula halnya dengan orang-orang yang beriman. Mereka senantiasa mengejar berbagai pahala yang dijanjikan Allah kepada mereka dan merasa takut akan dosa yang diancamkan-Nya, sehingga mereka pun bersabar menanggung segala rintangan guna memenuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh keikhlasan dan kebenaran. Oleh karena itu, Allah s.w.t. menyukuri mereka dan memperlihatkan kelebihannya kepada orang ramai dan menjadikannya sebagai ulama-ulama yang diikuti oleh orang banyak dengan senantiasa dipenuhi rasa keyakinan.

Perlu diketahui pula bahwa orang-orang yang beriman tergolong dua bagian. Pertama, Allah memuliakannya dengan menganugerahinya nikmat, karunia, dan pemberian, sehingga dia akan senantiasa merasa takut apabila kembali kepada-Nya, suka berbuat kebajikan, dan gampang mengerjakan ketaatan. Dan biasanya, Allah s.w.t. akan memberinya banyak kelebihan.

Apabila karunia Allah s.w.t. tersebut telah berkesan di hatinya, dan ia pun telah merasakan kenikmatan beramal saleh, ketika itu barulah Allah s.w.t. akan menimpakan bermacam musibah dan bencana kepadanya. Ia akan diuji dengan kesempitan, penderitaan, dan kekerasan serta akan dicabut daripadanya segala kelezatan dan kenikmatan hidup yang biasa diterimanya sehingga lenyaplah semangatnya untuk berbakti. Akhirnya, segala bentuk ketaatan menjadi berat ditanggungnya, setelah sebelumnya terasa ringan. Dia merasakan kepahitan sesudah kemanisan, ia merasakan kemalasan sesudah semangat dan mendapati kekeruhan sesudah kejernihan. Semua itu disebabkan karena terlalu banyaknya bencana dan terlalu beratnya ujian yang dihadapinya, sehingga menjadikannya terbenam dalam kondisi tidak tenteram.

Jika sekiranya ia menahan diri dan bersabar menanggung segala ujian tersebut, niscaya ia akan mencapai tingkat ketenangan dan kedewasaan, sehingga Allah s.w.t. akan menggandakan pahala segala kebajikannya, baik yang lahir maupun yang batin, sebagaimana yang diriwayatkan dari hadis Rasulullah s.a.w.:

إِنَّ لِكُلِّ شِرَةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّةٍ فَقَدْ نَجَا وَ إِنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ هَلَكَ

Sesungguhnya setiap kesulitan ada akhirnya. Barangsiapa yang akhir kesulitannya membawanya pada perjalanan Nabi, niscaya ia akan selamat. Namun barang siapa yang akhir kesulitannya mengajaknya pada bi‘dah yang menyesatkan, niscaya ia akan menjadi binasa.

Dengan demikian, bisa dipahami jika Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. pernah berkata: “Sungguh berbahagia sekali orang yang meninggal di saat belum adanya rasul yang diutus, di awal permulaan Islam dan kesulitannya.” Selain itu pernah pula diriwayatkan dalam sebuah hadis: “Bahwasanya Allah s.w.t. memerintahkan kepada Jibril a.s.: Hai Jibril! Cabutlah manisnya ketaatan dari hati hamba-Ku. Jika ia merasa kesal atas kehilangannya, maka hendaklah engkau mengembalikannya lagi serta tambahkanlah. Kalau tidak, maka engkau meninggalkannya.”

Dalam riwayat lain dikatakan: “Sesungguhnya Allah s.w.t. telah berfirman: “Jika seorang alim merasa cenderung akan dunia, maka Aku akan mencabut kemanisan munajatnya kepada-Ku dan lubuk hatinya, dan akan Kubiarkan ia terombang-ambing dalam pelukan dunia.” Juga dikatakan dalam riwayat lain: “Jika seorang hamba merasa cenderung akan dunia, setelah mempunyai ilmu dan makrifat serta terbuka matahatinya, niscaya Allah s.w.t. akan memerintahkan Jibril a.s. untuk mencabut manisnya munajat kepada Allah dari lubuk hatinya. Dan si alim tersebut akan diberikan kenikmatan dunia sebagaimana yang dituntutnya dengan tiada henti hingga menyibukkannya daripada mengingat Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *