Di antara tanda berniat baik adalah tak gentar oleh kendala dan tantangan, tak ciut hati karena salah melangkah, dan tak menyerah walau dalam keadaan yang begitu susah.
Jika ikhlas ialah rahasia, bagaimanakah kita bisa mengenalinya? Bagaimanakah ciri-cirinya? Syekh al-Anqurī menguaknya dalam salah satu bab pada kitab Munyat al-Wā‘izhīn wa Ghunyat al-Mutta‘izhzhīn.
7
[Syekh ‘Abd al-Ḥamīd al-Anqurī (abad 8 H)]
Diriwayatkan dari seorang, ahli hikmah: Sesungguhnya perumpamaan orang yang beramal karena riyā’ dan sum‘ah adalah seperti orang yang pergi ke pasar, namun memenuhi saku bajunya dengan kerikil. Orang-orang mengatakan: kerikil itu tak dapat memenuhi kebutuhan orang itu. Ia tidak mendapatkan manfaat apa-apa selain ocehan dari orang lain. Jika ia ingin membeli sesuatu, maka ia tidak bisa membelinya dengan kerikil. Demikian pula halnya dengan amalan yang dilakukan karena riyā’ dan sum‘ah; tidak ada manfaat amalnya, kecuali sanjungan dari manusia, dan tidak ada pahala sedikit pun baginya di akhirat nanti. Ini ditegaskan dalam firman Allah: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” Allah akan menggugurkan pahala amalan-amalan mereka yang bukan karena mengharapkan rida Allah. Lalu Allah jadikan amalan-amalan itu seperti debu yang beterbangan.
Seorang ahli hikmah pernah ditanya: “Siapakah orang yang ikhlas itu?” Jawabnya: Orang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan amal kebaikannya sebagaimana ia menutupi amal keburukannya.
‘Alī ibn Abī Thālib berkata: “Ada empat tanda orang yang riyā’ dalam beramal, yaitu malas beramal jika sendirian, rajin beramal jika banyak orang, semakin rajin beramal jika mendapat pujian, dan semakin malas beramal jika mendapat celaan.”
Seorang ahli hikmah berpendapat: orang yang beramal hendaknya meniru adab beramal yang dipraktekkan penggembala kambing. Jika si penggembala melakukan shalat di samping gembalaannya, maka shalatnya tak akan pernah dipuji oleh kambing-kambingnya. Demikian pula orang beramal, hendaknya ia tidak pernah memerhatikan pandangan manusia terhadap amalnya. Sebaliknya, ia harus mampu beramal secara konsisten, baik di kala ramai mampu sepi – beramal tanpa mengharapkan pujian manusia.
Seseorang bertanya kepada Syaqīq ibn Ibrāhīm: “Manusia menyebutku orang saleh. Tetapi, bagaimana caranya saya tahu bahwa saya ini orang saleh atau bukan?”
Syaqīq menjawab: “Pertama, tampakkanlah amalan yang kamu rahasiakan di hadapan orang-orang saleh. Jika mereka meridainya, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika mereka tidak meridainya, kamu belum tergolong orang saleh. Kedua, palingkan dunia dari hatimu. Jika kamu sanggup berpaling dari kehidupan dunia, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika kamu tidak sanggup, kamu belum termasuk orang saleh. Ketiga, palingkanlah kematian dari jiwamu. Jika kamu berani mengharapkan kematian, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika kamu belum berani menghadapi kematian, kamu belum termasuk orang saleh. Jika tiga hal ini telah berkumpul dalam dirimu, rendahkanlah dirimu kepada Allah agar amalanmu tidak ternodai oleh sifat riyā’ dan tetaplah istiqamah dengan amalanmu.”
Ḥāmid al-Laffāf berkata: “Jika Allah menghendaki seseorang celaka, maka Allah akan menyiksanya dengan tiga tanda. Pertama, Allah memberikan ilmu kepadanya, tetapi Allah tidak menganugerahkan kemampuan untuk mengamalkan ilmu itu. Kedua, orang itu senang bergaul dengan orang-orang saleh, tetapi ia sendiri enggan mengetahui kewajiban-kewajiban orang saleh. Ketiga, Allah membukakan pintu ketaatan baginya, tetapi ia tidak dapat ikhlas beramal.”
Berkaitan dengan perkataan itu, seorang fakih berkata: “Itu terjadi karena orang itu menyimpan niat dan tujuan yang buruk. Seandainya niatnya baik, maka Allah akan menganugerahinya manfaat ilmu dan keikhlasan beramal.”
Dalam syair disebutkan:
Riyā’ dapat mengikis pahala amal yang seseorang lakukan
Jika kamu beramal dengan riya’, tak akan ada pahala yang kamu dapatkan.
Bisyr ibn al-Ḥārits al-Ḥāfī berkata: “Seseorang tak akan pernah merasakan manisnya ketaatan jika amalannya ingin diketahui orang.”
Seorang ahli hikmah menuturkan: “Siapa menganggap dirinya telah menguasai tiga hal, tanpa menghilangkan tiga hal lainnya, ketahuilah bahwa setan telah memperdayainya. Pertama, orang yang mengaku dirinya telah merasakan manisnya ketaatan, tetapi ia tidak dapat menghilangkan rasa cinta dunia. Kedua, orang yang mengaku dirinya telah rida dengan Penciptanya, tetapi ia tidak dapat mengelak dari kekesalan terhadap dirinya. Ketiga, orang yang mengaku telah mampu beramal dengan ikhlas, tetapi ia masih senang dengan pujian orang lain.”
Al-Ḥusayn berkata: “Orang yang memperlihatkan amal kepada orang lain, pahala amalannya akan terhalang. Sedangkan orang yang beramal hanya untuk-Nya, ia akan dibebaskan dari riyā’”
Orang yang beramal sepatutnya memerhatikan hal berikut ini sehingga amalannya menjadi baik dan kerja kerasnya tidak sia-sia.
Pertama, ilmu, agar amalan yang dilakukannya mempunyai dalil yang jelas.
Kedua, tawakal, sehingga ibadah membuat dirinya tenang dan berputus asa dari makhluk.
Ketiga, sabar, agar amalannya dapat dilakukan dengan sempurna.
Keempat, ikhlas, agar ia dapat meraih pahala dan derajat yang tinggi.
Dzu al-Nūn al-Mishrī pernah ditanya: “Apa ciri seseorang telah mencapai derajat khawas?” Ia menjawab: “Cirinya ada empat.
Pertama, orang tersebut telah mampu menghilangkan waktu istirahatnya untuk diisi dengan amalan.
Kedua, ia berani bersedekah meski harta yang dimilikinya hanya sedikit.
Ketiga, ia nyaman tinggal di rumah yang sesak.
Keempat, baginya pujian dan celaan sama saja.”