Cinta Rasul – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

1

Cinta Rasūl

Mencintai dengan Meneladani.

Ketahuilah, engkau baru akan mengdapat kedudukan mulia dan tinggi di sisi Allah s.w.t. jika mengikuti sunnah Nabi s.a.w. Sebaliknya, engkau akan diremehkan dan jauh dari Allah jika tidak mengikuti Nabi s.a.w. Allah berfirman: “Katakan (wahai Muhammad): “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Āli ‘Imrān [3]: 31).

Mengikuti Nabi s.a.w. (itbā‘, mutāba‘ah) terwujud dalam dua aspek: lahiriah dan bāthiniah. Aspek lahiriah berupa shalat, puasa, haji, zakat, jihād di jalan Allah, serta berbagai ibadah lainnya. Sementara aspek bāthiniah berupa keyakinan akan adanya pertemuan dengan Allah dalam shalat, disertai kekhusyū‘an dan perenungan terhadap bacaan-bacaannya. Apabila engkau tengah melakukan ‘amal ketaatan seperti shalat dan membaca al-Qur’ān, namun pada saat itu engkau tidak bisa merasakan kehadiran Allah, tidak memiliki rasa takut, tidak berpikir, dan tidak bisa merenungi, berarti penyakit bāthin telah menghinggapi dirimu, entah itu kesombongan, ‘ujub, atau sejenisnya.

Allah berfirman: “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar.” (al-A‘rāf [7]: 146). Orang seperti itu tak ubahnya laksana orang yang sedang terserang penyakit demam. Baginya, semua makanan di mulutnya terasa pahit. Ia sama sekali tidak merasakan nikmatnya makanan – yang mengundang selera dan lezat sekalipun – akibat rasa pahit di mulutnya. Orang seperti tadi takkan bisa merasakan nikmatnya taat kepada Allah.

Lewat lisan Ibrāhīm a.s., Allah juga berfirman: “Siapa yang mengikutiku, sesungguhnya ia termasuk golonganku.” (Ibrāhīm [14]: 36). Artinya, siapa yang tak mengikuti jejak Nabi s.a.w., maka tidak termasuk golongannya. Allah juga menceritakan kisah Nabi Nūḥ a.s. yang berseru: “Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku.” (Hūd [11]: 45). Namun Allah kemudian menjawab: “Hai Nūḥ, dia bukanlah termasuk keluargamu. Sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik.” (Hūd [11]: 46.

Sikap mengikuti menyebabkan seseorang seolah-olah menjadi bagian dari orang yang diikutinya walaupun ia orang asing atau tak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Misalnya adalah Salmān al-Fārisī yang oleh Rasūlullāh s.a.w. dinyatakan: “Salmān termasuk keluarga bagi kami.” Tentu saja Salmān berasal dari Persia dan bukan keturunan Quraisy. Bahkan, ia bekas budak yang diperjualbelikan di pasar. Namun, karena mengikuti Nabi s.a.w., ia lalu dianggap bagian dari keluarga beliau. Demikianlah Nabi s.a.w. mengajari umatnya; sebuah isyārat bahwa ‘amal shāliḥ akan mengangkat pelakunya pada derajat yang tinggi lagi mulia.

Sebagaimana sikap patuh dan taat mengikat jalinan hubungan, sikap membangkang juga menyebabkan putusnya hubungan seperti yang terjadi pada anak Nabi Nūḥ a.s. Juga seperti yang terjadi pada istri Nabi Nūḥ dan Nabi Lūth sebagaimana dikisahkan Allah: “Allah membuat istri Nūḥ dan istri Lūth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan kedua hamba-Ku yang saleh tetapi keduanya telah mengkhianati suami mereka, maka kedua suaminya tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah dan dikatakan kepada keduanya: “Masuklah kalian berdua ke dalam neraka bersama yang lainnya.” (at-Taḥrīm [66]: 10).

Kunci segala kebaikan adalah mengikuti Nabi s.a.w. Ikutilah beliau dengan selalu merasa cukup terhadap segala karunia Allah, bersikap zuhud terhadap milik orang, tidak rakus pada dunia, serta meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak berguna. Siapa yang Allah bukakan pintu baginya untuk mengikuti Nabi s.a.w., itu pertanda bahwa ia telah dicintai-Nya: “Katakan (wahai Muḥammad): “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.” (Āli ‘Imrān [3]: 31). Bila engkau ingin mendapatkan seluruh kebaikan, berdoalah: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar bisa mengikuti Rasūlullāh s.a.w. dalam ucapan maupun tindakan.”

Siapa yang memimpikan hal tersebut, hendaknya ia tidak menzhalimi para hamba Allah – dalam hal kehormatan ataupun nasab mereka. Dengan demikian, ia akan bisa bergegas menuju Allah. Namun sebaliknya, ia akan terhalang dan terhijab dari Allah bila melakukan kezhaliman. Ibaratnya seperti orang yang berhutang, ia akan ditahan karena ada orang yang menuntut haknya.

Bayangkan andai engkau disenangi seorang raja dan berada dekat dengannya. Lalu tiba-tiba seseorang datang menagih hutang – walaupun sedikit – padamu di hadapan raja tadi, memojokkanmu, membuka aibmu, mencelamu, serta merendahkan kehormatanmu di hadapannya.

Lalu bagaimana jika pada hari kiamat engkau datang, sementara ada ratusan ribu orang meminta berbagai macam hutang padamu. Entah yang uangnya pernah diambil, kehormatannya pernah dirusak, dipukul, dicaci, dan dimaki, serta lain sebagainya. Bagaimana kira-kira rasanya ketika engkau berdiri di hadapan Sang Raja Diraja, di hadapan Nabi s.a.w., dan disaksikan oleh semua makhlūq?

Nabi s.a.w. bersabda: “Tahukah engkau orang yang rugi?” Para sahabat menjawab: “Orang yang rugi adalah yang tak punya uang dan harta.” Nabi s.a.w. menyanggah: “Orang yang rugi adalah orang yang pada hari kiamat datang membawa shalat, puasa, dan zakat, tapi ia pernah mencaci, merusak kehormataan, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang. Sehingga sebagai gantinya, amal kebaikannya diberikan kepada orang-orang teraniaya itu. Apabila amal kebaikannya telah habis sebelum beban kewajibannya terbayar, dosa-dosa mereka diambil dan diberikan padanya sehingga ia dilempar ke neraka.” (H.R. Muslim dan at-Tirmidzī).

Mencintai dengan Bershalawat.

Siapa yang merasa ajalnya telah dekat lalu ia ingin menebus hak-hak Allah s.w.t. yang pernah ia lalaikan, serta ingin melakukan ‘amal-‘amal shāliḥ, maka hendaknya ia bannyak membaca dzikir yang bersifat komprehensif. Sebab, jika hal itu dikerjakan, umur yang pendek pun akan menjadi panjang. Misalnya dengan membaca.

سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَ بِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَ رِضَا نَفْسِهِ وَ زِنَةَ عَرْشِهِ وَ مِدَادَ كَلِمَاتِهِ

Mahasuci Allah Yang Maha Agung disertai pujian pada-Nya sejumlah bilangan makhluk-Nya, sesuai dengan ridha dari-Nya, seberat ‘Arasy-Nya, dan sebanyak tinta (bagi) kata-kataNya.

Juwairiyah bint al-Ḥārits r.a. meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. suatu ketika pergi dari sisinya kemudian kembali lagi setelah waktu dhuḥā. Sementara itu Juwairiyah tetap dalam posisi duduk. Melihat hal tersebut, Nabi pun bertanya: “Engkau masih tetap dalam kondisi seperti yang aku tinggalkan?” “Ya”, jawabnya. Nabi s.a.w. kemudian berkata: “Setelah pergi tadi, aku membaca empat kalimat sebanyak tiga kali. Seandainya ia ditimbang dengan apa yang engkau baca sejak hari ini pasti akan sama nilainya, yaitu: Subḥānallāhu wa bi ḥamdihi, ‘adada khalqihi, wa ridhā nafsihi, wa zinata ‘arsyihi, wa midāda kalimātih.” (H.R. Muslim dan Abū Dāūd).

 

“Siapa yang bershalawat atasku sekali, Allah akan bershalawat padanya sepuluh kali.”H.R. Muslim dan Abū Dāūd

 

Orang yang tak kuasa memperbanyak berpuasa dan melakukan shalat malam juga hendaknya menyibukkan diri dengan bershalawat atas Rasūlullāh s.a.w. Seandainya sepanjang hidup engkau melakukan seluruh ‘amal ketaatan, lalu Allah memberikan satu shalawat saja atasmu, tentu satu shalawat tersebut lebih berat dari semua ‘amal ketaatan yang engkau lakukan selama hidup. Sebab, engkau bershalawat sesuai dengan kapasitas kemampuanmu, sementara Allah bershalawat sesuai dengan rubūbiyyah (sifat ketuhanan)-Nya. Ini baru satu shalawat. Lalu, bagaimana jika Allah bershalawat untukmu sebanyak sepuluh kali atas setiap bershalawat satu kali atas Rasūl s.a.w. seperti yang diterangkan dalam hadits beliau? Menurut Abū Hurairah r.a., Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Siapa yang bershalawat atasku sekali, Allah akan bershalawat padanya sepuluh kali.” (H.R. Muslim dan Abū Dāūd).

Betapa indahnya hidup ini jika engkau isi dengan taat kepada Allah. Yaitu, dengan cara berdzikir pada Allah dan sibuk bershalawat atas Rasūlullāh s.a.w. di setiap waktu disertai oleh qalbu yang ikhlas, jiwa yang bening, niat yang baik, dan perasaan cinta pada Rasūlullāh s.a.w. Allah memerintahkan kita untuk bershalawat atas Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi s.a.w. Wahai orang-orang yang beriman, ucapkanlah shalawat dan salam atasnya.” (al-Aḥzāb [33]: 56).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *