5
Cahaya-cahaya yang telah kujelaskan di awal buku ini, seperti cahaya Islām, cahaya īmān, cahaya ma‘rifat, dan cahaya tauḥīd, meskipun namanya berbeda-beda, tetapi kesemuanya bukanlah cahaya yang berlawanan. Setiap cahaya melahirkan manfaat tertentu yang tidak dihasilkan oleh cahaya lain sesuai dengan kadar tingkatannya.
Cahaya Islām melahirkan rasa takut dan harap.
Cahaya tauḥīd melahirkan rasa takut dan harap.
Cahaya īmān melahirkan rasa takut dan harap.
Cahaya ma‘rifat juga melahirkan rasa takut dan harap.
Selain itu, muncul pula berbagai kondisi yang bersumber dari hati dan terlahir dari cahaya bāthin. Misalnya, rasa syukur, sabar, cinta, malu, jujur, setia, dan seterusnya. Dengan taufīq Allah, aku akan berusaha menerangkan masalah ini sebagai berikut:
Ketahuilah bahwa cahaya Islām melahirkan rasa takut terhadap kesudahan hidup dan rasa harap untuk mendapat balasan yang baik. Allah s.w.t. berfirman:
“Maka janganlah kalian mati kecuali dalam kondisi Muslim.” (1211).
Dalam kisah Yūsuf a.s. disebutkan:
“Wafatkan aku dalam keadaan Muslim dan masukkan aku ke dalam golongan orang shāliḥ.” (1222).
Sedangkan cahaya īmān melahirkan rasa takut terhadap datangnya berbagai keburukan dan rasa harap akan datangnya berbagai kebaikan setiap saat.
Cahaya makrifat melahirkan rasa takut terhadap apa yang berlalu dan rasa harap terhadap apa telah berlalu.
Dan, cahaya tauḥīd melahirkan rasa takut terhadap berbagai hakikat dan rasa harap terhadap berbagai hakikat. Rasa takut dari cahaya ini mengacu kepada penyaksian Tuhan. Yaitu, takut kepada Allah s.w.t. tanpa takut kepada selain-Nya, dan berharap kepada-Nya tanpa pernah berharap kepada selain-Nya. Semua kondisi yang kusebutkan itu memang demikian adanya.
Berbagai cahaya di atas ibarat gunung,
Islām adalah gunung yang berada di shadr.
Īmān adalah gunung yang bertempat di hati (qalbu).
Ma‘rifat adalah gunung yang terletak di fu’ād.
Dan tauḥīd adalah gunung yang bersemayam di lubb.
Di puncak setiap gunung tersebut bertengger seekor burung.
Burung yang terdapat di gunung shadr berupa al-nafs al-ammārah bi-s-sū’ (jiwa yang memerintahkan keburukan).
Burung yang hinggap di gunung hati (qalbu) berupa al-nafs al-mulhamah (jiwa yang mendapat ilham).
Burung yang terdapat di gunung fu’ād berupa al-nafs al-lawwāmah (jiwa yang mencela diri).
Burung yang terdapat di gunung lubb berupa al-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang).
Nafs yang memerintahkan kepada keburukan terbang di lembah-lembah kemusyrikan, keraguan, kemunāfiqan, dan sejenisnya.
Namun, Allah mengasihi para kekasih-Nya sehingga mereka dijaga dari keburukannya.
Allah s.w.t. berfirman:
“Sesungguhnya jiwa ini selalu memerintahkan kepada keburukan kecuali yang dikasihi oleh Tuhanku.” (1233).
Lalu nafs yang diberi ilham kadang kala terbang di lembah-lembah ketaqwāan dan kadang kala pula terbang di lembah kefasikan.
Allah s.w.t. berfirman:
“Allah mengilhamkan kepada jiwa ini jalan kefasikan dan jalan ketakwaannya.” (1244).
Burung yang terdapat di gunung makrifat , yaitu nafs yang suka mencela diri, terbang di lembah-lembah yang tinggi dan mulia, menatap berbagai kemuliaan Allah, serta kadang kala bangga dengan berbagai karunia Allah.
Namun ia juga terbang di lembah kehinaan, kerendahan hati, dan kadang kala merasa kecil dan papa.
Meskipun demikian, ia selalu mencela diri.
Allah berfirman:
“Aku bersumpah demi jiwa yang selalu mencela diri.” (1255)
Sementara burung yang terdapat di gunung lubb, yakni nafs yang tenang, terbang di lembah-lembah rida, malu dengan mengakui tauḥīd, dan merasakan manisnya mengingat Allah.
Allah menjauhkannya dari segala jenis pertentangan.
Allah berfirman:
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu.” (1266)
“Maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga yang penuh nikmat.” (1277)
Istilah nafs mencakup semua pengertian di atas sebagaimana ketika kami menerangkan pengertian hati.
Ia seperti bunyi firman Allah s.w.t. :
“Tanyakanlah kepada negeri tersebut.” (1288)
Tentu maksudnya penduduk negeri.
Allah juga berfirman:
“Mengapa tidak ada negeri yang berīmān.” (1299)
Maksudnya juga penduduk negeri.
Demikian pula dengan hati. Ia berupa segumpal daging. Tetapi maksudnya adalah apa yang ada di dalamnya.
Hal yang sama berlaku pada nafs. Yang dimaksud dengan nafs di sini adalah api dan cahaya ada di dalam tubuh. Nafs merupakan ism jins.
Substansi sebagiannya lebih baik daripada yang lain.
Dan sebagian lagi lebih buruk, lebih zhalim, dan lebih fasik daripada yang lain.
Itulah yang disebut dengan nafs al-ammārah (yang memerintahkan keburukan).
Nafs menjadi baik dengan cahaya lahiriah Islām.
Ia bertambah baik dengan benarnya mujāhadah lewat adanya taufīq dari Allah s.w.t.
Rasūlullāh s.a.w. pernah memanjatkan doa:
“Kami berlindung kepada Allah dari jahatnya nafs kami.”
Rasūlullāh s.a.w. meminta perlindungan semacam itu padahal Allah telah mengistimewakan beliau dengan berbagai jenis keistimewaan dan kesucian dalam hal nafs dan niat.
Beliau bersabda:
“Tadinya pada diriku ada setan, namun kemudian Allah s.w.t. membantuku untuk melawannya sehingga aku selamat.” (13010).
Substansi nafs berupa angin hangat seperti uap.
Ia gelap dan berinteraksi secara buruk.
Pada dasarnya ruh dari nafs mengandung unsur cahaya.
Dengan taufīq dari Allah, ia bertambah baik disertai interaksi yang bagus dan ketundukan yang benar.
Ia hanya bertambah baik manakala seorang hamba menentang hawa nafsunya, berpaling darinya, serta memaksanya berada dalam kondisi haus dan lapar.
Nafs al-lawwāmah (yang mencela diri) lebih dekat kepada kebenaran.
Namun ia sering kali tertipu.
Hal itu hanya diketahui oleh para ahli ma‘rifat yang cerdas.
Nafs al-muthma‘innah (yang tenang) adalah nafs yang telah Allah bersihkan dari noda kegelapan sehingga ia menjadi bercahaya.
Ia berjalan dengan taat kepada Allah, tunduk secara total, dan patuh kepada-Nya.
Ia adalah nafs milik orang shiddīq (jujur) yang telah Allah isi baik lahir maupun bāthinnya.
Semua cahaya di atas kuserupakan dengan gunung, sebab cahaya Islām yang terdapat di shadr seorang muslim begitu kokoh, tidak bisa digeser oleh siapa pun selama Allah menjaganya.
Tidak ada yang bisa melenyapkan cahaya Islām dari shadrnya.
Bisa jadi seorang muslim tidak istiqāmah dalam ketaatan. Namun demikian, ia masih tetap berpegang pada tali buhul yang kuat.
Hanya saja, ia tidak selamat dari bisikan nafs.
Cahaya īmān lebih agung, lebih kuat, dan lebih kokoh daripada cahaya Islām.
Sebab, diri ini memiliki kekuasaan dan tugas untuk memelihara Islām dan melaksanakan syarī‘atnya.
Ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menjaga hati.
Yang meneguhkannya adalah cahaya Allah s.w.t.
Allah berfirman:
“Allah meneguhkan orang-orang beriman dengan ucapan yang teguh, baik di dalam kehidupan dunia maupun akhirat.” (13111).
Ketika memuji umat ini, Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Īmān yang terdapat di hati mereka seperti gunung yang kokoh.”
Ia merupakan tempat ‘ilmu yang bermanfaat. Cahaya dan sinar ma‘rifat lebih tinggi karena ia merupakan tempat untuk “melihat”.
Melihat lebih kuat daripada sekadar menerima informasi atau berita. Sebab, berita tidak seperti melihat secara langsung.(13212).
Selanjutnya, cahaya tauḥīd merupakan gunung yang paling agung. Ia seperti gunung yang utama.