Berbagai hal yang Harus Ditinggalkan dalam Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Bab VII

Berbagai hal yang Harus Ditinggalkan dalam Shalat

 

Kaum muslimin bersepakat bahwa larangan-larangan yang ada di dalam shalat bisa berupa ucapan atau perbuatan.

Yang termasuk perbuatan adalah segala macam perbuatan mubah yang bukan termasuk amalan shalat, kecuali membunuh kalajengking dan ular saat dalam shalat, mereka berbeda pendapat dalam masalah tersebut karena adanya atsar yang kontradiksi dengan qiyas, dan setahu kami mereka bersepakat bolehnya melakukan perbuatan ringan.

Yang termasuk perkataan adalah segala perkataan yang tidak termasuk amalan shalat, para ‘ulamā’ pun sepakat bahwa perkataan bisa membatalkan shalat, dengan dalil firman Allah s.w.t.:

وَ قُوْمُوْا للهِ قَانِتِيْنَ.

Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu‘.” (Qs. al-Baqarah [2]: 238).

Demikian pula berdasarkan sabda Nabi s.a.w.:

إِنَّ اللهَ يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ وَ إنَّ اللهَ جَلَّ وَ عَزَّ قَدْ أَحْدَثَ مِنْ أَمْرِهِ أَنْ لَا تَكَلَّمُوْا فِي الصَّلَاةِ.

Sesungguhnya Allah mengeluarkan perintah sekehendak-Nya, dan sesungguhnya Allah telah mengeluarkan perintah-Nya janganlah kalian berbicara dalam shalat.” (2421).

*Missing (2432).

*Missing (2443).

Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam dua hal:

Pertama, hukum orang yang berbicara karena lupa.

Kedua, jika seseorang sengaja berbicara untuk memperbaiki orang lain.

  1. Al-Auzā‘ī mengeluarkan pendapat syadzdz-nya, dia berkata: “Barang siapa berbicara dalam shalat untuk menyelamatkan jiwa atau untuk urusan besar, maka ia boleh meneruskan shalatnya.”
  2. Yang masyhur dari madzhab Imām Mālik adalah sesungguhnya berbicara secara sengaja karena ingin memperbaiki orang lain tidak membatalkan shalat.
  3. Imām Syāfi‘ī berpendapat bahwa berbicara bisa membatalkan shalat kecuali jika lupa.
  4. Abū Ḥanīfah berkata: “Berbicara itu bisa membatalkan shalat bagaimana pun bentuknya.”

Sebab perbedaan pendapat: Adanya kontradiksi antara hadits-hadits di atas. Hal itu karena hadits-hadits terdahulu menunjukkan haramnya bicara secara umum, sementara hadits Abū Hurairah yang masyhur menjelaskan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) انْصَرَفَ مِنْ اثْنَتَيْنِ فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ: أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ (ص) أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ؟ فَقَالُوْا: نَعَمْ، فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) فَصَلَّى رَكَعَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.

Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. menyelesaikan shalat setelah dua rakaat, lalu Dzul-Yadain berkata kepada beliau: “Apakah shalat diqashar atau engkau lupa wahai Rasūlullāh?” beliau balik bertanya: “Apakah benar apa yang dikatakan oleh Dzul-Yadain?” lalu mereka menjawab: “Benar”, lalu Rasūlullāh s.a.w. berdiri, melakukan dua shalat yang lainnya kemudian salam.” (2454).

Zhahir hadits menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. berbincang-bincang bersama mereka, lalu mereka melanjutkan dan tidak memutuskan shalat.

‘Ulamā’ yang mengambil zhahir hadits, mereka berpendapat bahwa perkataan ini khusus untuk memperbaiki shalat, hal ini dikecualikan dari keumuman, inilah madzhab Mālik bin Anas.

Adapun ‘ulamā’ yang berpendapat bahwa dalil di atas tidak menunjukkan mereka berbicara secara sengaja dalam shalat, sebaliknya mereka berbicara karena dugaan bahwa Nabi s.a.w. mengqashar shalat, demikian pula Nabi s.a.w. berbicara karena dugaan bahwa shalat telah berakhir, tidak pula bahwa para sahabat berbicara setelah Nabi bersabda:

مَا قَصَّرْتُ الصَّلَاةَ وَ مَا نَسِيْتُ.

Aku tidak mengqashar shalat, tidak pula lupa.”

Mereka berargumentasi bahwa ma‘na yang terkandung dalam hadits adalah membolehkan berbicara tanpa sengaja.

Walhasil sebab perbedaan pendapat antara Syāfi‘ī dan Mālik dalam pengecualian dari keumuman adalah perbedaan mereka dalam memahami hadits, padahal Syāfi‘ī pun memegang kaidah umum, yaitu sabda Nabi s.a.w.:

رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَ النِّسْيَانُ.

Diampuni dari umatku segala hal yang dilakukan tanpa sengaja dan lupa.” (2465).

Adapun Abū Ḥanīfah memahami hadits-hadits larangan secara umum, dan berpandangan bahwa hadits tersebut menghapus hadits Dzul-Yadain.

Catatan:

  1. 242). Ḥasan. HR. Abū Dāūd (924), an-Nasā’ī (3/19), Aḥmad (1/435, 463), al-Ḥumaidī (94), ‘Abd-ur-Razzāq (3594), ath-Thayālisī (245), ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (10121, 10122, 10123), dan al-Baihaqī (2/248).
  2. 243). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (1200, 4534), Muslim (539), Abū Dāūd (949), at-Tirmidzī (405) (2986), dan Aḥmad (4/368).
  3. 244). ). Shaḥīḥ. HR. Muslim (537), Abū Dāūd (930), Aḥmad (5/447, 448), ath-Thayālisī (1105), ad-Dārimī (1/422), Ibn-ul-Jarūd dalam al-Muntaqā (212), ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (19/401, 402), dan al-Baihaqī (1/198) (2/249, 250, 360).
  4. 245). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (714, 1228, 715), Muslim (573), Abū Dāūd (1008, 1011), at-Tirmidzī (399), dan an-Nasā’ī (3/22).
  5. 246). Shaḥīḥ. HR. Ibnu Mājah (2045) dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Ḥibbān (7219/Iḥsān), al-Ḥākim (2/198) dan disetujui oleh adz-Dzahabī, dan diriwayatkan oleh ad-Dāruquthnī (4/170), ath-Thabrānī dalam ash-Shaghīr (765), al-Baihaqī (7/356) semuanya dari Ibnu ‘Abbās, dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam al-Irwā’ (82), lihat kitab Talkhīsh-ul-Ḥabīr (1/281).