Belajar Suluk dari al-Qur’an – Tarekat dalam Timbangan Syariat

TAREKAT dalam Timbangan SYARIAT
Jawaban atas Kritik Salafi Wahabi

Penulis: Nur Hidayat Muhammad
 
Penerbit: Muara Progresif

BELAJAR SULŪK DARI AL-QUR’ĀN

 

Di antara syubhat atau kritik yang dialamatkan kepada pelaku tarekat atau sulūk adalah, mengapa mereka tidak mencukupkan diri dengan sulūk lewat al-Qur’ān dan as-Sunnah, dan justru harus dalam bimbingan mursyid yang hanya seorang manusia?

Menurut kami, syubhat atau kritik tersebut menunjukkan jahilnya mereka memahami ma‘na sulūk dan tarbiyyah dalam dunia tarekat. Dan kritik seperti ini sebenarnya sudah terjawab dalam (Pembahasan) sebelumnya tentang kenapa kita membutuhkan pembimbing sebagaimana penjelasan Ibnu Khaldūn al-Mālikī dan Ibnu ‘Abbād ar-Randī di atas.

Mufti Kerajaan Mesir, Syaikh Dr. ‘Alī Jum‘ah, kala menjawab pertanyaan seperti di atas berkata, bahwa ucapan seperti itu secara tekstual adalah rahmat (baik), tapi di dalamnya menyimpan adzab. Bukankah kita belajar memahami rukun, sunnat, makruh dan batalnya shalat dan lain-lain tidak lewat membaca al-Qur’ān dan as-Sunnah? Akan tetapi, kita berlajar semua itu dari ilmu yang disebut dengan ilmu fiqh. Ilmu fiqh disusun oleh mujtahid dan fuqahā’ yang mempunyai otoritas dan kemampuan menggali hukum-hukum agama dari sumbernya langsung, yakni al-Qur’ān dan as-Sunnah.

Begitu juga banyak masalah yang tidak disebutkan dalam al-Qur’ān maupun as-Sunnah, maka hal itu wajib dipelajari di hadapan guru secara langsung dan tidak cukup hanya dengan membaca kitab saja, sebagaimana ilmu tajwīd dan praktiknya. Bahkan istilah-istilah secara khusus, seperti mad lāzim yang panjangnya adalah enam (6) harakat, maka siapa yang menjadikan mad lāzim? Mana dalil ketetapan tersebut sehingga manusia harus menggunakan dan mempraktikkannya? Bukankah yang mampu mengajarkan semua itu adalah ‘ulamā’ yang mahir di bidang tajwīd?! Begitu juga tashawwuf yang disusun mulai masa Imām Junaid al-Baghdādī dari qurun keempat sampai sekarang. (591).

Syaikh Aḥmad Zarrūq berkata: “Mengambil ilmu dan amal dari para syaikh lebih sempurna daripada belajar tanpa mereka.” Kemudian beliau menyitir firman Allah:

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِيْ صُدُوْرِ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ.

Sebenarnya al-Qur’ān adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada (shadr/shudūr = hati tahap pertama – yang menghadap kepada makhluk – SH.) orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. al-‘Ankabūt: 49).

وَ اتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ.

Dan ikutilah jalannya orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqmān: 15).

Para sahabat juga menggapai ilmu dan amal dari Rasūlullāh s.a.w. dan beliau dari Jibrīl. Dan kemudian para tābi‘īn mengambil keduanya dari para sahabat. (602).

Dengan begitu, sulūk dalam tarekat adalah refleksi dari menjalankan perintah dan akhlāq al-Qur’ān dan as-Sunnah dengan sungguh-sungguh dan ikhlash. Dan itu bukan menyelisih atau berpaling dari kedua sumber Islam tersebut. Ketahuilah ini.

Catatan:

  1. 59). Dr. ‘Alī Jum‘ah, op.cit. hal. 328-331.
  2. 60). Aḥmad Zarrūq, Qawā‘id-ut-Tashawwuf (Beirut: Darul Jamil, tth), hal. 49.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *