Batasan Waktu Darurat – Waktu-waktu Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah kedua: Batasan waktu darurat.

 

Para ‘ulamā’ sepakat bahwa waktu-waktu darurat ini diberikan kepada empat orang:

  1. Wanita haidh yang suci di waktu-waktu tersebut atau haidh akan tetapi belum melakukan shalat.
  2. Musāfir yang mengingat shalat di waktu-waktu tersebut sementara dia sudah menetap, atau orang yang muqim, lalu dia mengingat shalat dalam perjalanan.
  3. Anak kecil yang baligh di waktu-waktu tersebut.
  4. Orang kafir yang masuk Islam.

Mereka berbeda pendapat tentang orang yang pingsan:

  1. Imām Mālik dan Syāfi‘ī berkata: “Ia sama dengan wanita haidh di waktu-waktu tersebut, karena dia tidak bisa mengqadhā’ shalat yang telah berlalu.”
  2. Abū Ḥanīfah berpendapat dia bisa mengqadhā’ shalat selama kurang dari lima waktu shalat, kapan saja dia sadar maka ia pun wajib mengqadha’nya.
  3. ‘Ulamā’ yang lainnya berpendapat jika dia sadar di waktu-waktu darurat maka dia wajib mengqadhā’nya saat itu, adapun jika tidak sadar maka tidak ada kewajiban qadhā’ baginya, masalah orang pingsan akan dibahas kembali nanti.

Para ‘ulamā’ sepakat bahwa jika seorang wanita suci di waktu tersebut, maka ia hanya wajib menunaikan shalat di mana dia sedang suci di waktu tersebut.

Menurut Mālik, jika dia telah suci sementara waktu masih tersisa untuk menunaikan satu rakaat, maka ia hanya wajib menunaikan shalat ‘Ashar, lalu jika tersisa untuk lima rakaat maka ia wajib menunaikan shalat Zhuhur dan ‘Ashar, atau hanya ditambah dengan satu takbīr menurut pendapat yang kedua.

Demikian pula menurut Mālik bagi orang yang lupa dalam perjalanan, lalu dia muqim pada waktu-waktu tersebut, atau orang yang muqīm lalu melakukan perjalanan.

Demikian pula orang-orang kafir yang masuk Islam saat itu (maksudnya, mereka wajib menunaikan shalat), dan demikian pula anak kecil yang baligh saat itu.

Perbedaan antara Mālik yang menjadikan ukuran satu rakaat sebagai batasan akhir, dan Syāfi‘ī dengan takbīr adalah sabda Nabi s.a.w.:

مَنْ أَدْرَكَ رَكَعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ.

Barang siapa mendapatkan satu rakaat ‘Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka dia telah mendapatkan ‘Ashar.” (1941).

Menurut Mālik hadits ini termasuk memberikan penegasan kepada yang lebih banyak dengan yang sedikit.

Sementara Syāfi‘ī berpendapat bahwa ayat ini termasuk memberikan penegasan kepada yang lebih sedikit dengan yang lebih banyak, Imām Syāfi‘ī memperkuat pendapatnya dengan sebuah hadits:

مَنْ أَدْرَكَ سَجْدَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ.

Barang siapa mendapatkan satu sujud saja dari shalat ‘Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka dia telah mendapatkan ‘Ashar.” (1952).

Jika kata “sujud” dipahami sebagai bagian dari rakaat, maka analisa ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa dengan mendapatkan takbīr saja maka seseorang telah mendapatkan shalat ‘Ashar.

Adapun Mālik memahami bahwa wanita haidh menunggu di waktu tersebut setelah selesai masa sucinya, demikian pula anak kecil yang beranjak baligh.

Adapun orang kafir yang baru masuk Islam, dia menunggu lebih kurang dari menunggunya wanita yang suci dari haidh, dalam masalah ini ada perbedaan pendapat.

Orang pingsan dalam madzhab Mālik persis seperti wanita haidh, sementara menurut ‘Abd-ul-Mālik seperti orang kafir yang masuk Islam.

Mālik berpendapat, jika seorang wanita haidh di waktu tersebut dan belum melakukan shalat, maka kewajiban qadhā’ gugur dari dirinya, sementara Syāfi‘ī berpendapat wajib.

Pada dasarnya qadhā’ wajib bagi orang yang berpandangan bahwa shalat diwajibkan hanya dengan masuknya waktu, maksudnya, jika ia haidh sementara waktu telah masuk dan tidak mungkin melakukan shalat saat itu, maka sebenarnya kewajiban shalat telah tetap pada dirinya, kecuali jika dikatakan bahwa shalat wajib wajib dengan akhir waktu, ini adalah madzhab Abū Ḥanīfah, dan bukan madzhab Mālik, artinya pendapat tadi mesti dalam pandangan Abū Ḥanīfah (berjalan pada dasar-dasar Abū Ḥanīfah, bukan pada dasar-dasar Mālik).

Catatan:

  1. 194). Telah dijelaskan takhrīj-nya.
  2. 195). Shaḥīḥ. HR. Muslim (609), an-Nasā’ī (1/273), Ibnu Mājah (700), Aḥmad (6/78), Abū ‘Awānah (1/372), al-Baihaqī (1/378) semuanya dari ‘Ā’isyah, dalam masalah ini pun ada riwayat dari Abū Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī (531), dan an-Nasā’ī (1/273, 257).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *