22
Sikap tidak bersandar pada makhlūq, menjaga diri dari harta mereka, meminta hajat kepada Allah, serta bertawakkal kepada-Nya merupakan timbangan milik kaum zuhud yang fakir kepada Allah.
Allah berfirman: “Tegakkanlah timbangan tersebut dengan adil.” (ar-Raḥmān [55]: 9). Oleh karena itu, Allah akan menampakkan orang jujur dengan kejujurannya dan orang bohong dengan kebohongannya. Dengan kebijakan dan limpahan karunia-Nya, akan Allah uji kaum fakir yang tidak jujur dengan menampakkan keinginan yang mereka sembunyikan, dengan menyingkap syahwat yang mereka tutupi, serta dengan membuka kecintaan terhadap para penguasa dunia yang mereka sembunyikan. Mereka menghinakan diri di hadapan para hamba dunia dengan membenarkan semua keinginan mereka, berdiri di pintu-pintu rumah mereka, serta mengekor pada mereka.
Di antara mereka ada yang berhias seperti calon pengantin, karena mereka akan bertemu dengan para hamba dunia itu. Mereka sibuk memperbagus penampilan mereka untuk mendapat simpati dengan melalaikan aspek rūḥiyah. Allah pun akan membuka aib mereka dan menyingkap kondisi mereka yang sebenarnya. Kedudukan mereka sebagai hamba Allah berganti menjadi syaikh-al-amīr (guru sang penguasa), syaikh-ul-wazīr (guru sang menteri), dan imām-us-sulthān (imamnya raja).
Mereka adalah para pendusta atas nama Allah. Mereka adalah sosok-sosok yang memalingkan manusia dari berteman dengan para wali-Nya. Masyarakat awam melihat mereka seperti orang-orang yang mempunyai kedudukan khusus di sisi Allah. Mereka menjadi penghalang bagi ahli hakikat yang sebenarnya. Mereka laksana awan bagi matahari. Mereka memukul dendangnya, menyebarkan panjinya, memakai baju yang dihias, serta mengenakan mahkota kepalsuan.
Mereka mengaku ber‘ilmu padahal tidak tahu. Mereka mengklaim dekat dengan al-Qur’ān padahal tidak pernah memeliharanya. Mereka juga mengaku sebagai pengemban sunnah Nabi padahal tak mengindahkan dan tak memahaminya. Lidah mereka penuh dengan pengakuan dusta, hati mereka kosong tanpa makna, mata mereka tertuju pada kenikmatan dunia, tangan mereka terjulur pada manusia, serta leher-leher mereka condong pada pangkat dan jabatan.
Allah berfirman: “Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (al-Aḥzāb [33]: 8). “Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang-orang munāfiq jika dikehendaki-Nya atau menerima tobat mereka. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Aḥzāb [33]: 24).
Jika orang yang jujur dan benar saja ditanya apalagi pendusta yang cuma mengaku-ngaku. Mereka merasa berat untuk melakukan ‘amal shāliḥ serta enggan mengabdi pada Allah Yang Maha Besar dan Mulia. Bukankah mereka mendengar firman Allah yang berbunyi: “Katakan (wahai Muḥammad): “Ber‘amallah kalian! Maka Allah, Rasūl-Nya, serta orang-orang berīmān akan melihat ‘amal kalian. Dan kalian akan dikembalikan pada Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu Allah akan memberitahukan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” (at-Taubah [9]: 105).
Secara lahiriah mereka berpakaian seperti pakaian orang-orang yang benar dan bertutur kata seperti tutur katanya orang-orang yang ‘ārif. Namun, mereka bersikap layaknya sikap orang-orang yang dusta dan berpaling dari Allah. Juga bertingkah layaknya tingkah laku orang-orang yang munāfiq. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāhi.