Bacaan Tasyahhud – Rukun-rukun Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah ketujuh: Tasyahhud.

 

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang Kewajiban membaca tasyahhud dan kalimat tasyahhud yang terbaik.

  1. Imām Mālik dan Abū Ḥanīfah, yang diikuti pula oleh sekelompok fuqahā’ menganggap bahwa tasyahhud itu tidak wajib.
  2. Imām Syāfi‘ī, Aḥmad, dan Dāūd menyatakan bahwa tasyahhud itu wājib.

 

Sebab perbedaan pendapat: Adanya pertentangan antara zhahir hadits dengan qiyas. Karena dalam qiyas diharuskan adanya persamaan antara tasyahhud dengan bagian shalat lainnya yang tidak wajib. Di mana para ‘ulamā’ sepakat bahwa yang wajib itu adalah al-Qur’ān. Sementara tasyahhud tidak termasuk al-Qur’ān. Dengan demikian tidak wajib.

Dalam hadits Ibnu ‘Abbās disebutkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّوْرَةَ مِنَ الْقُرْآنِ.

Rasūlullāh s.a.w. pernah mengajarkan tasyahhud kepada kami, seperti halnya beliau mengajarkan satu surah al-Qur’ān kepada kami.” (2781).

Hadits di atas menunjukkan akan wajibnya tasyahhud. Di kalangan fuqahā’, ada kaidah dasar yang menjelaskan bahwa perkataan dan perbuatan Nabi s.a.w. dalam shalat harus diartikan wajib, sampai ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.

Dan kaidah dasar bagi ‘ulamā’ lain justru sebaliknya. Kewajiban dalam shalat, baik yang disepakati atau yang dijelaskan, mesti berdasarkan nash yang jelas, sebagaimana anda saksikan bahwa kedua kaidah dasar tersebut saling bertentangan.

Adapun tasyahhud yang terbaik:

Imām Mālik lebih cenderung memilih tasyahhud ‘Umar bin Khaththāb yang pernah dianjurkan kepada khalayak di atas mimbar, yaitu:

التَّحِيَّاتُ للهِ، الزَّاكِيَاتُ للهِ، الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ للهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ.

Penghormatan hanya untuk Allah, kesucian hanya milik Allah, kebaikan hanya miliki Allah, shalawat hanya milik Allah, salam semoga tercurahkan kepadamu wahai Nabi, demikian pula rahmat dan keberkahan-Nya, salam semoga tercurahkan kepada kami, dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih, aku bersaksi tidak ada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muḥammad adalah hamba dan utusan-Nya.” (2792).

Abū Ḥanīfah dan yang lainnya, ya‘ni ‘ulamā’ Kūfah, lebih memilih tasyahhud ‘Abdullāh bin Mas‘ūd. Menurut Ibnu ‘Abd-il-Barr, tasyahhud tersebut dipegang oleh Imām Aḥmad dan mayoritas ahli hadits. Sebab, tasyahhud tersebut diriwayatkan secara shaḥīḥ dari Rasūlullāh s.a.w.:

التَّحِيَّاتُ للهِ، الصَّلَوَاتُ وَ الطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ.

Penghormatan untuk Allah, shalawat hanya milik Allah dan kebaikan hanya milik Allah, salam semoga tercurahkan kepadamu wahai Nabi, demikian pula rahmat dan keberkahan-Nya, salam semoga tercurahkan kepada kami, dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih, aku bersaksi tidak ada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muḥammad adalah hamba dan utusan-Nya.” (2803).

Imām Syāfi‘ī dan pengikutnya menggunakan tasyahhud ‘Abdullāh bin ‘Abbās yang diriwayatkan dari Nabi s.a.w., Ibnu ‘Abbās berkata: “Rasūlullāh s.a.w. pernah mengajarkan kepada kami sebuah tasyahhud sebagaimana beliau mengajarkan surah al-Qur’ān kepada kami. Lalu beliau menyebutkan:

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ للهِ، سَلَامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ، سَلَامٌ عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ، وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُه اللهِ

Penghormatan yang penuh dengan keberkahan, dan shalawat yang baik hanya milik Allah, salam semoga tercurahkan kepadamu wahai Nabi, rahmat dan keberkahan-Nya, shalawat semoga tercurahkan kepada kami, dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih, aku bersaksi tidak ada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan Muḥammad adalah utusan-Nya.” (2814).

 

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan dalam menentukan hadits yang terkuat. ‘Ulamā’ akan lebih memilih satu di antara ketiga hadits yang mereka anggap paling kuat.

Banyak dari kalangan ‘ulamā’ fiqih dalam hal ini berpendapat bahwa semua tasyahhud itu boleh dipilih salah satunya, seperti halnya adzan dan takbir dalam shalat jenazah, shalat ‘Īd, dan perbuatan lainnya, yang riwayatnya mutawātir, inilah yang benar, wallāhu a‘lam.

Imām Syāfi‘ī mensyaratkan bacaan shalawat Nabi dalam tasyahhud, bahkan merupakan kewajiban. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

Hai orang-orang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. al-Aḥzāb [33]: 56).

Syāfi‘ī juga berpendapat bahwa penyampaian salām termasuk ke dalam shalawat.

Sedang jumhur ‘ulamā’ berpendapat bahwa salām di atas adalah salām yang diucapkan setelah membaca shalawat Nabi.

Kelompok ahli Zhāhir berpendapat bahwa orang yang mengucapkan tasyahhud harus memohon agar dilindungi dari empat hal sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadits, yaitu: siksa kubur, neraka Jahannam, fitnah Dajjāl, serta fitnah kehidupan dan kematian. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits, bahwa Rasūlullāh s.a.w. memohon perlindungan dari semuanya di akhir tasyahhud-nya, dan dalam sebagian riwayatnya diungkapkan:

إِذَا فَرَغَ أَحَدَكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيْرِ فَلْيَتَعَوَّذْ مِنْ أَرْبَعٍ.

Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahhud maka berlindunglah dari empat hal.” (2825) (HR. Muslim).

Catatan:

  1. 278). Shaḥīḥ. HR. Muslim (403), an-Nasā’ī (3/41), Ibnu Majah (900), Aḥmad (1/292), Abū ‘Awānah (2/152), ath-Thabrani (10996), dan al-Baihaqī (2/377).
  2. 279). Shaḥīḥ mauqūf akan tetapi memiliki hukum marfū‘. HR. Mālik dalam al-Muwaththa’ (200), Syāfi‘ī (275), ‘Abd-ur-Razzāq (2067), al-Ḥākim (1/266), dan al-Baihaqī (2/144).
  3. 280). Telah dijelaskan takhrīj-nya
  4. 281). Shaḥīḥ. HR. Muslim (588), Abū Dāūd (983), an-Nasā’ī (3/58), Ibnu Majah (909), Aḥmad (2/237), ad-Dārimī (1/310), Abū ‘Awānah (2/235), dan al-Baihaqī (2/154).
  5. 282). Shaḥīḥ. HR. Muslim (588), Abū Dāūd (983), an-Nasā’ī (3/58), Ibnu Majah (909), Aḥmad (2/237), ad-Dārimī (1/310), Abū ‘Awānah (2/235), dan al-Baihaqī (2/154).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *