Masalah kedua: Bacaan takbir.
- Imām Mālik berpendapt bahwa bacaan takbir yang dianggap memenuhi syarat adalah Allāhu Akbar.
- Imām Syāfi‘ī berpendapat bahwa lafazh Allāhu Akbar atau Wallāhu Akbar sudah dianggap cukup.
- Imām Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa melafazhkan takbir dibolehkan dengan mengucapkan kata-kata yang sama ma‘nanya: Allāh-ul-A‘zham, Allāh-ul-Ajall, dan lainnya.
Sebab perbedaan pendapat: Apakah lafazh yang digunakan untuk pembukaan shalat itu mengucapkan suatu lafazh atau cukup pengertiannya saja?
Madzhab Mālikiyyah dan Syāfi‘iyyah memperkuat pendapatnya dengan sabda Nabi s.a.w.:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُوْرُ، وَ تَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَ تَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.
“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkan pembukanya adalah takbir, dan penutupnya adalah salam.” (2551).
Mereka berpendapat bahwa alif lām dalam hadits menunjukkan pembatasan. Pengertian membatasi di sini adalah bahwa hukum hanya dipergunakan untuk sesuatu yang tersurat dan tidak berlaku untuk yang lainnya.
Meski demikian, Abū Ḥanīfah menyelisihi mereka, karena pemahaman seperti ini termasuk dalīl khithāb (atau disebut mafhūm mukhālafah). Artinya, memberikan hukum untuk yang tidak disebutkan dengan perkara yang dinyatakan, dan dalīl khithāb bagi Abū Ḥanīfah tidak diamalkan.
Masalah ketiga: Membaca doa iftitāḥ.
Sebagian fuqahā’ berpendapat bahwa membaca iftitāḥ adalah wajib. Ya‘ni, menurut Syāfi‘ī membaca lafazh (taujīh) berikut ini setelah takbir.
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضَ.
“Aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi.”
Sedang menurut Imām Abū Ḥanīfah, dengan kata-kata subḥānallāh (tasbīḥ). Dan menurut Imām Abū Yūsuf, murid Abū Ḥanīfah, menyatukan taujīh dan tasbīḥ secara bersamaan.
Adapun Imām Mālik berpendapat bahwa iftitāḥ dalam shalat tidak wajib dan tidak sunnah.
Sebab perbedaan pendapat: Adanya kontradiksi antara hadits taujīh dengan ‘amal penduduk Madīnah menurut Mālik. Atau, adanya perbedaan dalam menentukan ke-shahih-an hadits yang menjelaskannya.
Al-Qādhī (Ibnu Rusyd) berkata: Dalam kitab Shaḥīḥ-ul-Bukhārī dan Muslim diriwayatkan satu hadits dari Abū Hurairah:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) كَانَ يَسْكُتُ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَ الْقِرَاءَةِ إِسْكَاتَةً، قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ بِأَبِيْ وَ أُمِّيْ: إِسكَاتُكَ بَيْنَ التَكْبِيْرِ وَ الْقِرَاءَةِ مَا تَقُوْلُ؟ قَالَ أُقُوْلُ: اللهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَ بَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ، اللهُمَّ نَقِّنِيْ مِن الْخَطَايَا، كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَ الثَّلْجِ وَ الْبَرَدِ.
“Rasūlullāh s.a.w. diam di antara takbir dan bacaan (al-Qur’ān) sejenak. Abū Hurairah berkata: Lalu aku bertanya: “Wahai Rasūlullāh s.a.w.! Demi ayah dan ibuku, apa yang engkau baca di dalam diammu antara takbir dan qirā’ah?” Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “(Aku membaca) ya Allah, jauhkanlah antara aku dengan kesalahanku seperti Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah bersihkanlah kesalahan-kesalahan dengan air, es (salju) dan embun”.”
Sebagian fuqahā’ berpendapat bahwa semakin sering diam di dalam shalat adalah lebih baik. Di antaranya ketika setelah takbīrat-ul-iḥrām, setelah membaca al-Fātiḥah, setelah membaca ayat-ayat al-Qur’ān sebelum rukū‘.
Di antara ‘ulamā’ yang berpendapat demikian adalah Imām Syāfi‘ī, Abū Tsaur, dan al-Khuzā‘ī.
Sementara Mālik dan Abū Ḥanīfah, termasuk para pengikut keduanya, menolak pendapat di atas.
Sebab perbedaan pendapat: Adanya hadits Abū Hurairah yang mereka persoalkan ke-shaḥīḥ-annya yaitu hadits Abū Hurairah, dia berkata:
كَانَتْ لَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ سَكَتَاتٌ فِيْ صَلَاتِهِ، حِيْنَ يُكَبِّرُ وَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ، وَ حِيْنَ يَقْرَأُ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَ إِذَا فَرَغَ مِنَ الْقِرَاءَةِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ.
“Di dalam shalat yang dilakukan Rasūlullāh s.a.w., terdapat waktu untuk diam, ya‘ni saat takbir dan pembukaan shalat, kalau membaca al-Fātiḥah, dan ketika usai membaca ayat-ayat al-Qur’ān sebelum rukū‘.” (2562).
Catatan:
- 255). Dha‘īf, bagian pertama diriwayatkan Abū Dāūd (837), Aḥmad (3/406, 407), ath-Thayālisī (1287), dan al-Baihaqī (2/68, 347) dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īfu Abī Dāūd.
- 256). Ini adalah hadits Samurah bin Jundub, bukan hadits Abū Hurairah, hadits Samurah diriwayatkan oleh Abū Dāūd (779, 780), at-Tirmidzī (251), Ibnu Mājah (844), dan Aḥmad (5/70) dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īf-ut-Tirmidziī.