Bacaan Ketika Ruku‘ dan Sujud – Rukun-rukun Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah keenam: Bacaan Ketika Rukū‘ dan Sujūd.

 

Jumhur ‘ulamā’ sepakat bahwa membaca al-Qur’ān ketika rukū‘ dan sujūd adalah dilarang. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits dari ‘Alī:

نَهَانِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا وَ سَاجِدًا.

Rasūlullāh s.a.w. melarang aku membaca al-Qur’ān ketika rukū‘ dan sujūd.” (2731).

Ath-Thabarī berpendapat bahwa hadits di atas shaḥīḥ. Dan penilaian ini dipegang oleh para ‘ulamā’ berbagai negeri.

Akan tetapi, sebagian tābi‘īn membolehkan membaca al-Qur’ān saat itu. Pendapat ini dipegang oleh Imām al-Bukhārī karena ia menilai hadits di atas tidak shaḥīḥ.

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat, apakah dalam rukū‘ dan sujūd itu terdapat bacaan khusus atau tidak?

  1. Imām Mālik berpendapat tidak ada bacaan khusus.
  2. Syāfi‘ī, Abū Ḥanīfah, Aḥmad, dan sekolompok fuqahā’ lainnya berpendapat, ketika rukū‘dalam shalat, membaca (سُبحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ) sebanyak tiga kali, dan di dalam sujūd, membaca (سُبحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى.), juga tiga kali. Pendapat ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Āmir.
  3. Ats-Tsaurī berkata: “Aku lebih suka jika seorang imam membaca tasbīḥ sebanyak tiga kali, sehingga ma’mūm bisa mengejar sebanyak tiga kali.”

 

Sebab perbedaan pendapat: Adanya pertentangan antara hadits Ibnu ‘Abbās dan hadits ‘Uqbah bin ‘Āmir.

Dalam hadits Ibnu ‘Abbās disebutkan:

أَلَا إِنِّيْ نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا، فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ، وَ أَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِيْهِ فِي الدُّعَاءِ، فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ.

Ingatlah sesungguhnya aku dilarang membaca al-Qur’ān ketika rukū‘ dan sujūd, adapun ketika rukū‘ agungkanlah nama Allah, dan ketika sujūd bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, maka itu lebih pantas dikabulkan.” (2742).

Dan dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Āmir dikatakan:

لَمَّا نَزَلَتْ فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: اجْعَلُوْهَا فِيْ رُكُوْعِكُمْ فَلَمَّا نَزَلَتْ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى قَالَ: اجْعَلُوْهَا فِيْ سُجُوْدِكُمْ.

Tatkala turun ayat fasabbiḥ bismi rabbik-al-‘azhīm, Rasūlullāh bersabda: Jadikanlah ayat itu untuk (bacaan) rukū‘-mu. Tatkala turun ayat sabbiḥ-isma rabbik-al-a‘lā, beliau bersabda: “Jadikanlah ayat itu (untuk bacaan) sujūdmu”.” (2753).

Para fuqahā’ berbeda pendapat mengenai doa dalam rukū‘ menyusul kesepakatan mereka dalam hal kebolehan memuji Allah.

Imām Mālik berpendapat bahwa doa tersebut makruh, alasannya adalah riwayat ‘Alī sebagai berikut:

أَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ، وَ أَمَّا السَّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِيْهِ فِي الدُّعَاء.

Maka ketika rukū‘ agungkanlah nama Allah, dan ketika sujūd, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.” (2764).

Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa doa dalam rukū‘ dibolehkan. Alasan mereka adalah hadits-hadits yang menjelaskan bahwa beliau s.a.w. berdoa ketika rukū‘ dan sujūd, pendapat di atas dipegang juga oleh al-Bukhārī yang menguatkan alasannya dengan hadits berikut ini:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ فِيْ رُكُوْعِهِ وَ سُجُوْدِهِ سُبْحَانَكَ اللهُمَّ رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ اللهُمَّ اغْفِرْ لِيْ.

“Nabi s.a.w. ketika rukū‘ dan sujūd membaca: “Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku”.” (2775).

Abū Ḥanīfah berpendapat tidak boleh berdoa dalam shalat dengan selain bacaan al-Qur’ān, sedangkan Imām Mālik dan Syāfi‘ī membolehkannya.

Yang menjadi sebab perbedaan pendapat, adalah sekitar masalah doa, apakah termasuk perkataan manusia atau tidak?

Catatan:

  1. 273). Shaḥīḥ. HR. Muslim (480), Abū Dāūd (4044, 4045), at-Tirmidzī (464), an-Nasā’ī (2/189) (8/191) (8/204), ‘Abd-ur-Razzāq (2833), Abū ‘Awānah (2/170), dan al-Baihaqī (2/87).
  2. 274). Shaḥīḥ. HR. Muslim (479), Abū Dāūd (876), an-Nasā’ī (2/188, 190), Aḥmad (1/219), al-Ḥumaidī (489), Abū ‘Awānah (2/170), dan al-Baihaqī (876).
  3. 275). Dha‘īf, Abū Dāūd (867), Ibnu Mājah (8870), Aḥmad (4/155), ad-Dārimī (1/299) dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (601, 670), al-Ḥākim (1/225) (2/477) dan disetujui oleh adz-Dzahabī, dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īf Abī Dāūd (152), al-Irwā’ (334), dan al-Misykah (879).
  4. 276). Telah dijelaskan takhrīj-nya.
  5. 277). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (718), (4968), Muslim (484), Abū Dāūd (877), an-Nasā’ī (2/219, 220), Ibnu Mājah (889), Aḥmad (6/43).